Artikel ini ditulis ketika aku teringat pada almarhumah nenek. Beliau meninggalkan kami tiga tahun yang lalu di usianya yang ke-60. Beliau pergi tanpa pertanda, sehat wal afiat dan tidak bergejala sakit. Ketika nenek mangkat, keluarga besar berkumpul untuk mengantarnya ke peristirahatan terakhir. Tidak terhitung para tetangga dan kerabat jauh yang turut membantu selama prosesi.
Aku tidak terlalu dekat dengan nenek karena kami tinggal di kota yang berbeda. Momen dimana aku bertemu nenek adalah saat lebaran dan liburan sekolah. Kebetulan aku mengajar di sekolah sehingga mendapat jatah libur yang hampir sama dengan anak-anak sekolah.
Nenek dikenal sebagai orang yang baik, sekalipun jarang keluar rumah karena memang tidak terbiasa sejak ia kecil. Nenek tinggal bersama kakek dan dua orang anaknya yang sudah berkeluarga dan memiliki keturunan. Keseharian nenek adalah bermain bersama cucu-cucunya dan mengurus kakek yang terpaut usia 15 tahun lebih tua dari usia nenek.
Kebutuhan sehari-hari untuk nenek dan kakek terpenuhi berkat uang pensiun yang masih diterima kakek setiap bulannya. Namun, nenek tetap tidak memiliki tabungan karena uang pensiun kakek sebagian besar digunakan untuk keperluan cucu-cucunya yang hendak masuk sekolah. Baik nenek maupun kakek tidak pernah membahas masalah uang ketika anak-anaknya berkumpul. Beliau menunjukkan bahwa keduanya masih mampu menolong anak dan cucunya, apabila suatu hari membutuhkan bantuan dalam bentuk uang.
Ketika nenek tiada, kakek yang paling terpukul dan merasa kehilangan yang teramat. Setiap pagi nenek selalu menyiapkan sarapan untuk mereka berdua, lalu keduanya menyantap hidangan sembari duduk di bawah sinar mentari pagi. Kehilangan yang dirasakan kakek rupanya muncul dalam bentuk gangguan fisik. Kakek mulai sering sakit-sakitan dan pingsan di tengah malam. Beberapa kali anaknya yang tinggal serumah memergoki kakek sedang ngelindur, memanggil nenek dalam keadaan terpejam dan tubuh yang menggigil.
Kepergian nenek tak lama disusul dengan kakek. Beliau pergi selang 1 tahun setelah haul nenek, menyisakan penyesalan batin di hati anak-anaknya yang merasa belum sempat membalas kebajikan mereka. Salah satunya Ibuku, beliau menceritakan kebaikan kakek dan nenek semasa ia kecil, bagaimana orangtuanya dulu membesarkan dan mendidik Ibu. Kemudian penyesalannya karena merasa belum dapat membahagiakan orangtuanya di masa senja mereka.
"Ibu menyesal karena Mbahmu masih harus dipusingkan dengan urusan sekolah cucunya."
Ibu membuka percakapan denganku ketika kami selesai acara yasinan dan kembali ke kamar.
"Seharusnya itu tanggungjawab pamanmu, tetapi karena mereka masih tinggal dengan Mbah, mau bagaimanapun pasti kepikiran juga."
Aku mengingat tipikal kakekku yang seringkali terlalu memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak lagi menjadi kewajibannya. Berbanding terbalik dengan sifat nenek yang terlihat cuek dari luar, padahal murah hati ketika ada yang datang padanya dan meminta pertolongan.
"Ibu sedih, belum bisa memberikan penghidupan yang layak buat mereka."
Ibuku terisak lagi, mungkin di benaknya saat ini sedang penuh dengan banyak hal yang tidak mampu diutarakan dengan kata-kata.
"Tapi, setidaknya sekarang mereka sudah tenang. Tidak lagi perlu memikirkan kebutuhan cucunya ..."
Mungkin cara pandang Ibu dan kakek-nenekku berbeda. Mereka tidak menganggap cucunya sebagai beban, dan akan mengusahakan apapun yang mereka bisa untuk membahagiakan cucunya. Sedangkan kenyataan yang dihadapi Ibuku saat ini adalah membiayai kedua adikku sekolah di kota industri yang berurusan dengan pundi-pundi uang.
Aku hanya bisa termenung melihat Ibuku yang belum dapat menerima kepergian orangtuanya. Setelah tangisnya mereda, Ibu mulai bercerita kembali.
"Dulu, Mbahmu ingin agar Ibu kuliah..."
Ibu menyeka sisa air mata yang jatuh ke pipinya dan melanjutkan cerita.
"Tapi Ibu gak mau memberatkan mereka dengan biaya kuliah yang mahal. Jadi pendidikan Ibu hanya sampai Diploma-1, lalu Ibu mulai bekerja di perusahaan. Dari total 4 anaknya Mbah, hanya satu orang yang kuliahnya selesai."
"Berarti Mbah ingin semua anaknya kuliah, ya? Tetapi anak-anaknya yang justru keberatan?"
"Iya, rata-rata mereka tidak selesai kuliah karena kesibukan pekerjaan. Hanya tantemu yang dapat menyelesaikan pendidikan S-1, walaupun akhirnya ia jadi ibu rumah tangga."
"Terus kata Mbah gimana?"
"Ya, Mbah gak mempermasalahkan itu sih. Menurut mereka, yang penting kewajiban sebagai orangtua telah ditunaikan. Begitu lulus, mau jadi apa ya itu dikembalikan pada anaknya."
Aku mengangguk-angguk. Pola parenting semacam ini sudah jarang ditemui di tengah tren berkuliah. Setiap orangtua ingin agar anaknya menjadi "orang sukses" ketika sudah mendapat gelar sarjana. Tetapi kakek-nenekku lagi-lagi berpikir dengan cara yang berbeda dari orang kebanyakan. Mereka hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia, apapun pilihan hidup setiap anaknya.
"Menurut Ibu, sayang banget sih. Walaupun Mbah gak merisaukan pilihan tantemu."
"Kenapa sayang, Bu?"
"Biaya kuliah tante itu dibayarkan oleh Mbah sampai ia wisuda. Apalagi tantemu memilih kampus swasta ternama dan mengambil jurusan hukum. Menurutmu, berapa kira-kira besaran per-semester yang harus dikeluarkan Mbah?"
Aku menelan ludah. Angkanya sudah pasti sangat fantastis, melebihi gaji honorerku dalam setahun!
"Tapi, darimana Mbah dapat uang sebanyak itu? Uang pensiun per-bulan saja, secara hitungan kasar hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dua orang."
"Demi menyekolahkan tantemu, nenek rela menjual sebagian perhiasannya. Kakek juga berkorban menukar sebidang tanahnya agar tantemu bisa mengikuti wisuda."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata benar kata pepatah, orangtua mungkin bisa mengurus anak-anak mereka dengan baik, tetapi satu anak belum tentu dapat merawat kedua orangtuanya dengan benar.
"Sudah berkorban banyak pun, tantemu sering bolos kuliah. Kadang main bersama teman-temannya, kadang jalan bersama pacarnya. Ibu kalau ingat itu, rasanya ingin mengadu pada nenek. Tapi, nenek tidak mau tahu apa yang dilakukan tantemu di luar sana. Tugas nenek hanya menyekolahkan anaknya sampai sukses, walaupun butuh waktu 6 tahun bagi tantemu untuk mendapat gelar sarjananya."
Mata Ibu mulai berkaca-kaca lagi.
"Sekarang, tantemu entah kemana. Sibuk dengan perhelatan sosialitanya di tengah keadaan duka seperti ini."
Memang, aku hanya melihat tante sekilas di acara yasinan tadi. Setelahnya tante seperti terburu-buru, katanya ada urusan mendadak. Tidak ada yang dapat menahan tante dari kesibukannya, sekalipun itu rasa dukacita terhadap orangtuanya.
"Makanya Ibu menyesal sekali karena jarang menengok kakek-nenekmu di sini."
Ibu sudah kembali terisak. Mungkin rasa sesal itu memburunya di dalam hati, sebagai anak yang tinggal jauh dari rumah orangtuanya.
"Seandainya waktu bisa diputar, Ibu mau bilang apa pada nenek dan kakek?"
Ibu terhenyak dari sedihnya dan menatapku dengan tatapan kosong. Sepertinya Ibu sedang menerawang jauh ke dalam benaknya, mencari sisa-sisa penyesalan dan memori indah bersama orangtuanya.
"Jika masih ada kakek dan nenekmu di sini ..."
Ibu terdiam lama sekali, seperti ada yang tersangkut di tenggorokannya.
"Ibu cuma mau bilang, terima kasih dan maaf. Terima kasih untuk setiap pengorbanannya, dan maaf, Ibu belum sempat membalas dengan memberi mereka kebahagiaan."
Aku tertegun. Kalimat Ibu sederhana, namun menyentuh sanubariku. Aku mengingat kembali wajah-wajah sendu di acara pengajian tadi. Setiap orang sepertinya dapat merasakan kesedihan yang sama dalamnya dengan rasa kehilangan di hati Ibuku.
Jika aku berkesempatan untuk menemui kakek dan nenek di penghujung nafasnya yang terakhir, aku akan bertanya. "Berapa harga 1 kebajikan bagi mereka?"
Bahkan Ibuku sendiri merasa tidak akan pernah bisa membalas cinta dan kasih dari orangtuanya.
*****
Bagikan konten ini jika dirasa bermanfaat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H