Aku mengangguk-angguk. Pola parenting semacam ini sudah jarang ditemui di tengah tren berkuliah. Setiap orangtua ingin agar anaknya menjadi "orang sukses" ketika sudah mendapat gelar sarjana. Tetapi kakek-nenekku lagi-lagi berpikir dengan cara yang berbeda dari orang kebanyakan. Mereka hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia, apapun pilihan hidup setiap anaknya.
"Menurut Ibu, sayang banget sih. Walaupun Mbah gak merisaukan pilihan tantemu."
"Kenapa sayang, Bu?"
"Biaya kuliah tante itu dibayarkan oleh Mbah sampai ia wisuda. Apalagi tantemu memilih kampus swasta ternama dan mengambil jurusan hukum. Menurutmu, berapa kira-kira besaran per-semester yang harus dikeluarkan Mbah?"
Aku menelan ludah. Angkanya sudah pasti sangat fantastis, melebihi gaji honorerku dalam setahun!
"Tapi, darimana Mbah dapat uang sebanyak itu? Uang pensiun per-bulan saja, secara hitungan kasar hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dua orang."
"Demi menyekolahkan tantemu, nenek rela menjual sebagian perhiasannya. Kakek juga berkorban menukar sebidang tanahnya agar tantemu bisa mengikuti wisuda."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata benar kata pepatah, orangtua mungkin bisa mengurus anak-anak mereka dengan baik, tetapi satu anak belum tentu dapat merawat kedua orangtuanya dengan benar.
"Sudah berkorban banyak pun, tantemu sering bolos kuliah. Kadang main bersama teman-temannya, kadang jalan bersama pacarnya. Ibu kalau ingat itu, rasanya ingin mengadu pada nenek. Tapi, nenek tidak mau tahu apa yang dilakukan tantemu di luar sana. Tugas nenek hanya menyekolahkan anaknya sampai sukses, walaupun butuh waktu 6 tahun bagi tantemu untuk mendapat gelar sarjananya."
Mata Ibu mulai berkaca-kaca lagi.
"Sekarang, tantemu entah kemana. Sibuk dengan perhelatan sosialitanya di tengah keadaan duka seperti ini."