Ibuku terisak lagi, mungkin di benaknya saat ini sedang penuh dengan banyak hal yang tidak mampu diutarakan dengan kata-kata.
"Tapi, setidaknya sekarang mereka sudah tenang. Tidak lagi perlu memikirkan kebutuhan cucunya ..."
Mungkin cara pandang Ibu dan kakek-nenekku berbeda. Mereka tidak menganggap cucunya sebagai beban, dan akan mengusahakan apapun yang mereka bisa untuk membahagiakan cucunya. Sedangkan kenyataan yang dihadapi Ibuku saat ini adalah membiayai kedua adikku sekolah di kota industri yang berurusan dengan pundi-pundi uang.
Aku hanya bisa termenung melihat Ibuku yang belum dapat menerima kepergian orangtuanya. Setelah tangisnya mereda, Ibu mulai bercerita kembali.
"Dulu, Mbahmu ingin agar Ibu kuliah..."
Ibu menyeka sisa air mata yang jatuh ke pipinya dan melanjutkan cerita.
"Tapi Ibu gak mau memberatkan mereka dengan biaya kuliah yang mahal. Jadi pendidikan Ibu hanya sampai Diploma-1, lalu Ibu mulai bekerja di perusahaan. Dari total 4 anaknya Mbah, hanya satu orang yang kuliahnya selesai."
"Berarti Mbah ingin semua anaknya kuliah, ya? Tetapi anak-anaknya yang justru keberatan?"
"Iya, rata-rata mereka tidak selesai kuliah karena kesibukan pekerjaan. Hanya tantemu yang dapat menyelesaikan pendidikan S-1, walaupun akhirnya ia jadi ibu rumah tangga."
"Terus kata Mbah gimana?"
"Ya, Mbah gak mempermasalahkan itu sih. Menurut mereka, yang penting kewajiban sebagai orangtua telah ditunaikan. Begitu lulus, mau jadi apa ya itu dikembalikan pada anaknya."