"Raa, lo mau tinggal di lantai berapa?" Tanya Issam.
 "Oh, gue ngikut lo aja deh," jawab gue, bingung.
 Akhirnya, kami memilih tinggal di lantai 4 dari 7 lantai, dan kamar kami bersebelahan, karena itu adalah salah satu syarat dari mama.
 Susah rasanya beradaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda. Berbulan-bulan berlalu sebagai mahasiswa di Korea, dan akhirnya musim dingin tiba yang bikin gue shock banget. Ternyata musim dingin sedingin ini, ya? Gue kedinginan setengah mati. Kebetulan, hari ini gue ada mata kuliah yang sama dengan Issam, yaitu Bahasa Korea.
 "Raa, nih pake hot pack."
 "E-eh nggak, nggak usah. Lo aja yang pake, gue nggak kedinginan kok, haha," jawab gue canggung.
 "Nggak kedinginan gimana? Ngomong aja sampe geter gitu." Jawab Issam sambil senyum. Entah kenapa, belakangan ini dia selalu tersenyum lebar. Aneh... Tapi ganteng banget.
 "Hehe, thanks."
 Selama kuliah di Korea, gue sering dibantu oleh Issam---lebih tepatnya, gue sering merepotkan dia. Gue menjalani perkuliahan dengan perasaan yang campur aduk. Kadang dibuat salting sama dia, kadang dibuat pusing sama tugas kuliah. Tapi, bagaimana pun, akhirnya gue dan Issam lulus dari universitas itu. Namun, hubungan kami tetap seperti dulu, hanya sebatas 'teman' bagi Issam, meskipun bagi gue, dia tetap sosok yang membuat gue merasakan 'butterfly effect'.
 Rencana gue setelah kuliah adalah kembali ke Indonesia dan jadi animator di perusahaan teman gue. Sedangkan Issam melanjutkan pekerjaannya sebagai dokter di Korea Selatan. Empat bulan berlalu, gue sudah merasa nyaman di tempat kerja gue dengan penghasilan yang cukup.
 "Raa, gue tau lo suka sama Issam kan?" Celetuk Maya, teman gue yang dulu sempat naksir Issam.