Ada sebuah negeri. Sebutlah namanya Orimage. Di negeri ini, kehidupan berlangsung sebagaimana mestinya. Bunga mekar, pohon berbuah, ayam bertelur, kambing melahirkan, ulat menjadi kepompong, kucing mengejar tikus, elang berputar-putar di angkasa menjaga kawasannya, tak pernah ada yang bisa mendekatinya. Lalu, apa menariknya dengan negeri ini? Tentu saja menarik. Karena, di negeri ini, semua yang hidup bisa berbicara.Tidak ada yang tau keberadaan negeri ini. Kecuali satu orang saja, yaitu aku. Maka, biarkan aku ceritakan sedikit kisah dari negeri ini.
Kisah ini terjadi delapan tahun yang lalu. Di pagi yang ke sekian di Orimage. Terlihat seekor burung pipit terbang menari-nari di atas sana. Saking senangnya, dia bernyanyi dengan suara yang keras dan terus berputar-putar. Tiba-tiba, dia terbang meluncur ke bawah, tak lain karena melihat sahabatnya, seekor tupai bernama Tupi, sedang sarapan di salah satu dahan pohon di bawahnya.
“Selamat pagi Tupi!”, sapa pipit tersebut dengan riang.
“Selamat pagi Pipo”, jawab Tupi.
“Bukankah ini pagi yang indah sobat?”
“Kurasa begitu”
“Tentu saja. Lihatlah, matahari terlihat cerah, langit berwarna biru, daun masih berwarna hijau, dan angin sepoi-sepoi menggelitik sayapku! Indah sekali bukan?!”, celoteh Pipo.
“Kau terlihat bahagia sekali Pipo, apakah terjadi sesuatu?”, tanya Tupi.
“Hahahaha, tentu saja aku bahagia. Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan mencari makanan untuk anak-anakku”
“Maksudmu, mereka...?”
“Ya, semalam anak-anakku telah menetas, dua ekor jantan dan satu ekor betina. Ketiganya menetas dengan selamat. Sekarang istriku sedang menjaga mereka.”
“Wah, selamat sobat! Aku ikut bahagia”, seru Tupi.
“Terima kasih, baiklah aku harus pergi, mulai sekarang aku harus bekerja lebih keras”
“Sama-sama, selamat bekerja”
Pipo melanjutkan terbang mencari makanan. Sementara itu, di pohon tempat mereka tinggal, induk pipit, Popo, sedang mengajari anak-anaknya cara berjalan. Mereka tertatih-tatih berusaha meniru ibunya.
“Mama, apakah begini sudah benar?”, tanya salah seekor anak pipit.
“Sudah sayang, kau hanya perlu berjalan sedikit lebih tegak lagi agar tidak goyah”, jawab ibunya.
“Mama mama, aku sudah bisa berjalan, bolehkah aku belajar terbang?”, tanya anak pipit yang lainnya.
“Tentu saja boleh”
“Horeee!!”, teriak ketiga anak pipit bersamaan.
“Tapi tidak hari ini, besok saat matahari terbit kita memulainya”, lanjut Popo.
“Baik Mama”
Mereka terus bercengkerama dan bermain-main sembari menunggu Pipo pulang. Namun, yang ditunggu tak kunjung pulang. Anak-anak mulai resah, terutama si anak betina. Dia terus-menerus menanyai ibunya tentang mengapa ayahnya tak pulang-pulang.
“Mama, dimana papa, mengapa belum kembali?”
“Tenang saja, papa sedang mencari makanan untuk kita”
“Tapi kenapa lama sekali?”
“Mungkin papa kemalaman. Insya Allah, besok sebelum matahari terbenam papa sudah kembali”
“Benarkah?”
“Benar, sekarang lebih baik kau tidur”
“Baik Mama, aku akan mendoakan papa sebelum tidur”, sahut anak pipit kemudian berlari menuju kamarnya.
Ketiga anak pipit itu beranjak naik ke ranjang masing-masing dan segera tertidur. Sementara induk pipit tidak bisa tidur. Dia merasa resah semalaman dan terus memikirkan keadaan suaminya. Akhirnya, setelah terjaga selama lima jam, dia pun tertidur.
Keesokan harinya, seusai sarapan, Popo mengajari anak-anaknya terbang. Mereka belajar dengan cepat. Popo mengajak mereka terbang ke sekitar rumahnya dan mengunjungi tetangga-tetangga mereka. Tak terasa, hari sudah menjelang malam. Matahari hampir terbenam seluruhnya, namun Pipo belum juga kembali. Anak-anak pipit mulai menangis. Mereka khawatir dengan ayah mereka. Untungnya, Popo pintar menanganinya. Dia berhasil menenangkan anak-anaknya dan menutupi keresahannya sendiri.
Tetapi, doa anak-anak pipit belum terkabulkan, kegembiraan belum juga sampai ke keluarga pipit tersebut. Keesokan harinya Pipo belum juga pulang, begitu juga esok dan esoknya lagi. Hingga, setelah enam hari tidak ada kabar, Popo memutuskan mencari suaminya. Maka, dia mengumpulkan anak-anaknya.
“Anak-anakku, hari ini mama mau mencari papa”, kata Popo.
“Tapi Mama, aku juga mau mencari papa”, seru anak pipit betina.
“Tidak boleh, kalian harus tetap di rumah, mama akan meminta tolong Om Tupi menjaga kalian”, jawab Popo tak bisa dibantah.
Popo segera pergi ke rumah Tupi yang hanya berjarak tiga pohon dari rumahnya.
Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Pipo?. Enam hari yang lalu, setelah menyapa Tupi yang sedang sarapan, Pipo yang kesenangan mencari makanan ke hutan yang ada di sekeliling negeri. Dia melalui jalur yang tidak biasanya dia lewati. Dia terus terbang sambil bersenandung. Sesekali dia hinggap dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mencari buah atau biji-bijian yang bisa dimakan.
Tanpa Pipo sadari, dia telah terbang terlalu jauh sampai ke ujung hutan. Lama-kelamaan pepohonan semakin sedikit. Pipo mulai merasa ganjil menatap sekitarnya. Sampai, di suatu daerah, pepohonan benar-benar hilang. Dia telah tiba di sebuah sabana yang tidak terlalu luas. Hari sudah hampir malam, dia telah terbang seharian. Karena lelah, dia beristirahat di sebuah batu yang cukup besar. Tiba-tiba, sebuah tembakan terdengar dan Pipo telah terperangkap dalam sebuah jaring. Ternyata, ada seorang anak perempuan yang berumur tujuh tahun berada di sana. Dia tidak pernah melihat burung pipit terbang di sekitar sabana itu. Anak perempuan itu segera meraih Pipo dan melepaskan jaringnya. Tiba-tiba, dia terkejut karena pipit itu berteriak.
“Jangan makan aku, kumohon jangan makan aku!”, rengek Pipo`
“Waw, kau bisa berbicara?”, tanya anak perempuan itu.
“Tentu saja”, jawab Pipo`
“Tenang, aku tidak akan memakanmu, tapi bagaimana kau bisa sampai ke sini?”
“Aku tersesat, rumahku di Orimage jauh di sana”, jawab Pipo sambil menunjuk ke hutan lebat, “tapi, ngomong-ngomong, kau jenis hewan apa, aku tidak pernah melihat jenismu”, lanjut Pipo.
“Hei, aku bukan hewan, aku adalah manusia!”, seru anak perempuan itu.
“Manusia? Manusia yang konon katanya sangat hebat itu? Jadi seperti ini rupa manusia”, seru Pipo takjub.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kau membantuku?”, lanjut Pipo.
“Membantu bagaimana?”
“Aku tidak bisa terbang. Sayapku terkilir karena jaring yang kau tembak tadi”
“Ah maafkan aku, aku tidak bermaksud begitu”
“Hmm, baiklah, tapi kau harus mengantarkanku pulang”, seru Pipo.
“Mengantarmu pulang? Tapi itu daerah terlarang bagi kami”
“Tidak perlu khawatir, aku kenal dengan semua penduduk Orimage”
“Ori.., Ori apa?”, tanya anak perempuan itu.
“Orimage, itu nama negeriku”
“Negeri?! Kau bilang hutan seperti itu negeri?”
“Tentu saja, hutan itu bagian dari negeri kami, terletak di sekeliling negeri, menjadi benteng, membuat negeri kami aman dan tersembunyi dari luar sana”, jelas Pipo.
“Benarkah? Aku baru tau bahwa ada negeri di balik hutan ini. Kalau begitu aku akan mengantarmu”
“Terima kasih”, seru Pipo riang.
“Kalau begitu, besok kita mulai perjalanannya, malam ini kita bermalam dulu disini”
“Oke”
Maka malam itu, Pipo bermalam bersama anak perempuan tujuh tahun tersebut. Namun, keduanya tidak bisa tidur. Pipo terus memikirkan istri dan anak-anaknya. Sementara si anak sibuk memikirkan petualangannya besok. Alhasil, mereka tidak tidur dan malah berbincang-bincang. Mereka berbicara panjang lebar mengenai Orimage. Awalnya, anak perempuan tujuh tahun itu tidak percaya dengan perkataan Pipo. Pikirnya, tidak mungkin ada negeri di balik hutan itu. Tidak mungkin ada peradaban binatang disana. Tapi, bukankah itu sama tidak masuk akalnya dengan pipit yang bisa berbicara? Maka, mau tidak mau dia percaya dengan hal tersebut. Bahkan dia semakin bersemangat untuk pergi ke Orimage.
Keesokan harinya, mereka memulai perjalanan memasuki hutan. Itu perjalanan yang berat bagi anak perempuan berumur tujuh tahun. Mereka beberapa kali bertemu dengan hewan-hewan yang dikenal buas seperti harimau, ular, dan singa. Anak perempuan itu semula takut, tapi ternyata hewan-hewan itu ramah kepadanya.
Selama di perjalanan, anak perempuan itu mengumpulkan beberapa dedaunan langka, sekaligus mencari obat yang bisa menyembuhkan sayap Pipo. Lambat laun sayap Pipo mulai sembuh dan dapat digerakkan. Tepat di fajar hari keenam, mereka telah keluar dari hutan dan tiba di pinggir negeri. Anak perempuan itu seketika terpana melihat pemandangan di depannya. Sangat indah. Pohon-pohon dihuni oleh berbagai hewan, mulai dari burung, tupai, musang, bahkan ular. Semuanya hidup berdampingan. Sementara di kejauhan, matahari mulai terbit. Atap-atap rumah yang berasal dari kulit-kulit buah memantulkan sinar matahari, menghasilkan cahaya tipis berwarna-warni di seluruh negeri.
Pipit segera terbang menuju rumahnya dan anak perempuan itu mengikutinya. Sementara itu, di rumah Tupi, Popo baru tiba dan segera mengetuk pintu rumahnya.
Tok tok tok, “Assalamualaikum Tupi”, seru Popo.
“Waalaikumsalam, ada apa nyonya Popo?”, tanya Tupi ramah.
“Aku ingin meminta bantuan darimu”
“Apapun akan kubantu Nyonya”
“Aku akan pergi mencari suamiku, maukah kau menjaga anak-anakku selama aku pergi?”, pinta Popo.
“Tentu saja aku akan menjaga mereka”, jawab Tupi.
Tepat di saat itu, saat Popo bersiap-siap berangkat menuju hutan, saat Tupi mulai beranjak pergi menuju rumah Pipo, akhirnya, doa anak-anak mereka dikabulkan. Popo mendengar suara suaminya.
“Popo..!!”
“Pipo...!!”
Mereka pun berpelukan, Tupi dan anak perempuan yang menyaksikan hal itu menangis terharu. Mereka pun beramai-ramai menuju rumah Pipo dan Popo. Anak-anak pipit bersorak riang melihat papanya. Akhirnya semua berakhir bahagia. Bagaimana dengan anak perempuan itu, apakah dia selamat?, tentu saja. Dia kembali ke sabana ditemani oleh seluruh keluarga Pipo dan sampai dengan selamat. Lalu, darimana aku mengetahui kisah ini? Tentu saja aku tau, karena akulah anak perempuan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H