Mohon tunggu...
Siti Auliatul Aliyah
Siti Auliatul Aliyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Political Science Student

be good, do more good.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Buzzer dalam Propaganda Politik

30 Desember 2021   15:24 Diperbarui: 30 Desember 2021   16:51 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena Buzzer dalam Propaganda Politik

Apa itu buzzer? buzzer adalah akun media sosial yang tidak memiliki identitas yang jelas untuk dipertaruhkan. Buzzer seringkali merupakan sekelompok orang tanpa reputasi yang jelas, biasanya dibelakang mereka terdapat motif ideologis atau ekonomi, dan kemudian menyebarkan informasi atau berita untuk tujuan apolitik. Cara kerja buzzer di media sosial sangat sederhana, ketika ada masalah yang berkaitan dengan suatu pihak dan ramai dibicarakan di media sosial, pihak terkait akan menggunakan akun anonim sebagai buzzer untuk membantahnya. Tujuan penggunaan buzzer adalah untuk membuat orang bingung mana antara pendapat yang benar maupun yang salah, juga membuat orang jatuh ke dalam pemahaman yang salah, bahwa seolah-olah yang paling nyata muncul adalah sesuatu yang paling benar untuk dipertimbangkan sebagai referensi.[1] Bentuk narasi propaganda buzzer tidak hanya berupa teks, melainkan dapat berupa gambar dan meme hingga video yang diunggah sepotong-sepotong demi kepentingan semata. 

 

Buzzer sebagai alat propaganda pemerintah

Fenomena munculnya buzzer dalam dunia politik telah melekat menjadi bagian dari sistem propaganda politik sebuah negara. Menurut Bradshaw & Howard[2] menyebutkan bahwa setiap tahunnya jumlah pengguna media sosial selalu meningkat dan digunakan sebagai alat dalam melancarkan aksi propaganda politik, secara tidak sadar telah terjadi hegemoni cara berpolitik dengan menjatuhkan pihak lawan di media sosial, yang juga dilestarikan oleh pemerintah Indonesia. Dalam teknik propaganda studi komunikasi politik, ada teknik yang disebut dengan name calling atau berfungsi untuk memberi label buruk kepada orang, gagasan, objek maupun tujuan agar orang tersebut menolak tanpa menguji kenyatannya, hal ini sama seperti fungsi buzzer sebagai alat propaganda pemerintah dengan menyampaikan informasi yang objektif, serta dirancang untuk mempengaruhi pihak lawan. Sekarang ini, buzzer sudah di-label-kan pro terhadap pemerintah, sampai-sampai banyak yang menyimpulkan bahwa buzzer juga tahan terhadap jeratan hukum. Terlebih saat Pemilihan Umum 2019, peran buzzer sangat terlihat dengan kamnyanye politik negatif nya, jalan pintas pemerintah dalam mengambil hati rakyat salah satunya melalui peran buzzer ini, walaupun pesan dan gagasan buzzer selalu berisikan tentang hal negatif tetapi buzzer adalah penopang para elite untuk melakukan kampanye dan kegiatan politik lainnya yang harus melibatkan rakyat.[3]

 

Buzzer: ancaman demokrasi di Indonesia

 Maraknya fenomena buzzer di Indonesia menjadi sebuah ancaman bagi demokrasi di Indonesia terlebih apabila ia didalangi oleh pemerintah. Buzzer menjadi alat untuk mengontrol arus opini masyarakat sehingga masyarakat hanya boleh mendengar setiap hal yang keluar dari pihak pemerintah. Padahal apabila kita melirik pada apa yang terjadi pasca reformasi, di Indonesia sendiri sistem politik yang diterapkan yaitu sistem demokrasi.

 Menurut Suprapto, nilai intrinsik demokrasi mencakup partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan politik, kesetaraan derajat tertentu, kebebasan atau kemerdekaan, dan perlindungan martabat manusia, sistem perwakilan, pemerintahan berdasarkan supremasi hukum, dan sistem di mana pemerintah menjamin pemerintah oleh rakyat, yang terakhir adalah pendidikan. Pendidikan dari rakyat meliputi pendidikan umum dan pendidikan politik. [4]Pandangan lain dari Miriam Budiarjo adalah terdapat beberapa nilai demokrasi, yaitu: pertama, penyelesaian sengketa secara damai dan melembaga. Kedua, untuk memastikan bahwa perubahan dilaksanakan secara damai dalam masyarakat yang terus berubah. Ketiga, menyelenggarakan pemilihan ulang secara berkala. Keempat, batasi penggunaan kekerasan seminimal mungkin. Kelima, mengenali dan mempertimbangkan keanekaragaman alam. Keenam, memastikan keadilan ditegakkan. Ketujuh adalah mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi lembaga dan organisasi negara.[5]

 

Sumber Sikap Tidak Percaya Rakyat Kepada Pemerintah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun