Mohon tunggu...
Siti Arrika Agustini
Siti Arrika Agustini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontroversi UU Nomer 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

16 April 2022   00:41 Diperbarui: 12 Juni 2022   17:06 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya Siti Arrika Agustini Mahasiswi UIN KHAS jember di sini saya akan sedikit mengkritisi perihal Undang-undang perkawinan


  UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia dengan tenang tanpa ada gejolak yang berarti. Khususnya di kalangan umat Islam yang mayoritas berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan karena UU tentang perkawinan tersebut, sejalan dan tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama islam.

 Adapun beberapa pihak menyampaikan aspirasinya hal ini terus berdatangan dari berbagai kelompok masyarakat untuk melakukan revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).  Sejumlah upaya melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pun telah dilakukan, karna Dalam sejarah pembuatan UU Perkawinan ini pada 1974 silam terjadi tarik-menarik kepentingan dan nilai sosial yang dikompromikan di parlemen. Hasilnya, banyak pihak merasa UU Perkawinan bernafaskan hukum Islam.

  Kalau menurut saya, sebelum kita maju ke depan untuk mengatakan apakah UU ini perlu direvisi atau tidak, baiknya kita lihat ke belakang, Itu adalah bagian dari kesepakatan, Orang menikah diatur dalam UU, diatur di wilayah Indonesia yang notabene agamanya banyak Suku, agama, budaya yang berbeda-beda. Nah tentu nggak mudah membuat UU itu kan. Akhirnya satu kata kunci di dalam UU itu kemudian disepakati mengenai syarat sahnya perkawinan. Di pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan itu sah bila menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Itu kata kunci yang tepat sekali.

  Kalau kita baca pasal per pasal, misalnya poligami, orang bisa saja bicara dari sudut pandang mana pun. Tapi kalau menurut satu agama tertentu itu adalah sah, hargai itu. Karena ini adalah ranah privat, orang akan bicara keyakinannya. Tidak mudah bicara HAM dan kesetaraan gender. Karena di sana ada norma keyakinan. Sebenarnya kunci itu saja yang kita pegang. Kalau menurut agama dan keyakinan anda tidak sesuai, ya sudah tidak sah, kepercayaan manapun mengaitkan perkawinan dengan tuhan itu jelas adanya di negara ini, maka dari itu tidak bisa semerta-merta orang berbicara uu perkawinan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.

 Kalau dikaitkan dengan agama tertentu, dalam Islam tidak dikenal konsep itu tapi akhirnya diakomodasi. Soal anak luar kawin, tidak dikenal kewajiban ayah biologis untuk membiayainya, tapi hasil pengujian di MK jadi punya kewajiban.

  Jadi kalau pendapat saya, mengubah undang-undang  itu perlu lihat konteksnya dulu. Masalahnya di mana? Masalahnya di undang-undang atau dalam pelaksanaannya? Soal usia perkawinan anak misalnya, itu kan undang-undang Perkawinan bisa dianggap perkawinan anak-anak.

 Saya setuju tapi ada sisi negatifnya, apakah menaikkan usia perkawinan akan menyelesaikan masalah seluruhnya? Belum tentu juga kan

negatif dari bentuk perkawinan anak-anak, tapi pengaturan kebolehan usia muda untuk perkawinan ini perlu dilihat sebagai jalan keluar untuk masalah yang mereka hadapi.

Perlu diingat ada pengaturan bahwa dispensasi usia kawin sebelum batas 19 tahun dan 16 tahun pun melibatkan penilaian pengadilan. Yang penting tidak ada paksaan menikah kepada para mempelai.

 Sebenarnya peran negara sudah ada, tinggal dikuatkan saja lewat lembaga-lembaga yang terkait dalam pelaksanaannya. Misalnya ada Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan.

 Saya akui bahwa selama ini ada pelaksanaan perkawinan yang tidak konsisten dengan UU Perkawinan. Kita ketahui ada penyelundupan hukum soal perkawinan beda agama yang tetap bisa dicatatkan atau masih adanya pemaksaan perkawinan pada usia anak-anak. Oleh karena itu ketegasan sanksi bagi pelanggaran norma UU Perkawinan ini perlu dipertimbangkan. Petugas Kantor Urusan Agama harus lebih bijak dan negara harus memberanstas oknum-oknum yang menjadi dalang di dalamnya.

Mungkin hanya ini pendapat saya mengenai UUD Nomer 1 tahun 1974.  Terimakasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun