Mohon tunggu...
Siti Andriana
Siti Andriana Mohon Tunggu... Guru - Guru / Enterpreneur / Penulis

Dunia Sementara, Akhirat Selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Yatim Piatu

20 Mei 2024   14:00 Diperbarui: 20 Mei 2024   18:20 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berani dan nekat adalah modalku membawa ayah ke rumah sakit. Aku memang punya tabungan untuk persiapan kuliah, tapi Ayah melarangku untuk membukanya. Ada kartu BPJS gratis juga salah satu pegangan pengobatan Ayah. Meskipun Ayah diperlakukan seadanya oleh rumah sakit, aku terus berdoa untuk segera membaik pemulihannya. Aku tahu ini sangat berat dan sesak di ulu hati. Tapi, aku tidak boleh cengeng di depan Ayah. Ayah saja dengan kondisi seperti ini, masih mampu memperhatikan aku. Ayah tahu aku tidak makan nasi beberapa hari ini, karena aku menahan uang untuk membeli beras demi ongkos oplet ke rumah sakit. Aku beli roti kemasan yang kuperhitungkan cukuplah mengganjal lambung. Aku tidak tahu bagaimana bisa Ayah sedetail itu padaku.

Ayah... Ayah. Pikirku lagi. 

Allah uji diri ini dengan banyaknya masalah. Allah ingin melihat usaha tangan dan kaki ini, Seberapa jauh kaki ini sanggup menggaungkan diri dalam usaha dan tawakal, seberapa kuat tangan ini merengkuh dan bersyukur. Semua tanpa saling melupakan kehendak Allah subhanahu wata'ala.

Ayah memang terluka dengan ujian yang sedang ia lalui. Tapi ia tangguh dalam menghadapinya. Ia terlihat baik-baik saja. Ia masih bisa tersenyum dan menyapaku setiap hari aku menjenguknya. Ah... Ayah lagi dan lagi ia membuat aku haru dan harus menjadikan teladan. Sosok periang dan bijaksananya menjadikan aku belajar banyak hal.

Aku masih menikmati murotal Ustad Hanan Attaqi di handphone, tak lama panggilan masuk dari rumah sakit. Kulihat sekarang menunjukkan pukul 22.25 WIB. Ayah menyuruhku pulang hari ini, karena ia merasa lebih baikan dari sebelumnya. Segera ku angkat panggilan tersebut.

"Assalamualaikum dengan keluarga pasien Bapak Sastro di kamar 201 ?"Suara suster ku dengar samar-samar.

"Waalaikumsalam, benar Sus. Saya dengan anaknya. Ada apa Sus ?"Tanyaku memburu dengan pikiran dan hati tak menentu.

"Bapak Sastro mengalami sesak napas li ma menit yang lalu, ini kita sedang penanganan oleh dokter. Jika keluarga berkenan, silakan ke rumah sakit untuk mendampingi pasien. " Jawaban Suster seketika.

"Terima kasih, Sus." Jawabku dengan segera mengemas tas kecil yang akan ku kenakan ke rumah sakit.

Sekarang sudah menunjukkan pukul 22.48 WIB. Jalanan mulai lengang dan transportasi apa yang bisa ku gunakan menuju rumah sakit. Ayah selalu melarangku menaiki transportasi umum di malam hari. Ia rela menjemputku ke tempat kerja dengan motor butut kesayangannya. Hmm... tidak ada pilihan lain selain menaiki sepeda.

Aku mengambil sepeda di teras, ku siapkan perlengkapan ke rumah sakit di ranjang depan sepeda. Sebelum mengunci pintu, aku perhatikan isi rumah dalam kondisi baik dan aman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun