Mohon tunggu...
Siti Andriana
Siti Andriana Mohon Tunggu... Guru - Guru / Enterpreneur / Penulis

Dunia Sementara, Akhirat Selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lubuk Rindu

15 Mei 2024   11:08 Diperbarui: 15 Mei 2024   12:02 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat pukul 14.03 Pesawat mulai meluncur ke Kota kelahiranku, Kalimantan Barat. Langkahku gontai tak berarah. Rasanya aku ingin lari dengan cepat sampai ke rumah. Aku mencari becak untuk masuk dalam gang rumahku. Aku terus terfokus tak ingin mengingat hal lain kecuali ayah dan ibu. Kau tau kenapa? Hatiku merintih hebat saat itu, hatiku hancur dan yang tertinggal hanya kepedihan. Pak becak segera melaju ke halaman rumahku. Taukah engkau apa yang ku dapati di sana?

Bendera putih berdiri di depan tepat berhadapan dengan ujung halamanku yang luas. Kulihat  banyak orang berdatangan seperti keramaian pengungsian bencana. Curah hujan tak lagi mampu kubendung, aku terus berjalan memasuki rumahku. Kulihat ada dua jasad  yang sudah mulai renta di sana, terbujur kaku, pucat pasi tanpa suara. Tangannya terasa dingin dan amat beku untuk kuraih. Ku genggam tangan ayah dan ibu, kupeluk dan mulut ini tak ingin berhenti meraung. Bibi Patinah merangkulku, maman Yadi di sebelahku jua.

"Ayah dan ibu pulang dari sawah kemudian berjalan kaki di bibir jalan raya, kemudian sebuah truk sedang mengebut di tikungan tajam rumah pak Anyar. Ibu terserempet dan bergantungan di ujung bibir jalan, sedangkan badannya sudah hendak jatuh ke jurang. Ayah tak tinggal diam, ia pun menarik tangan ibu dengan kuat. Tapi, Allah berkehendak. Rumput -- rumput di pinggir bibir jalan raya itu amat licin selepas hari hujan. Ayah ikut tergelincir dan mereka terjatuh di sana. Kamu harus kuat Bintang."Paman jelaskan kronologi kejadiannya.

Ya Robb, apa dosaku? Apa salah ayah dan ibuku? Mereka sangat baik menjagaku, merawatku dan mendidikku. Aku seperti mimpi ya Allah. Kuatkan hatiku untuk hadapi semua ini.

Tahap demi tahap prosesi pemakamanpun selesai. Aku diantar pulang maman Yadi dan bik Patinah. Hatiku benar-benar hancur saat itu. Aku pulang ke rumah dengan curah hujan yang tak mau reda di pipi, karena luka ini masih sangat basah untuk segera sembuh. Ku amati kenangan ayah yang rajin membaca buku motivasi dan hal-hal keagamaan di meja dan bangku kesayangannya di samping rumah, sambil ngopi pagi ditemani ibu yang selalu setia pada ayah. Ku lihat mesin jahit di ruang tamu yang selalu ibu habiskan menjahit bajuku bagian ketiaknya yang sering sobek, karena terlalu lasaknya aku waktu masih SD. Ku lihat lemari pakaian ibu, di sana banyak pakaian ibu dan ayah.

Ya Allah !

Setelah 7 hari mendoa kepergian ayah dan ibu. Aku kembali ke Surabaya. Ku titipkan rumah tempat masa kecilku ini pada mereka. Setiap liburan aku akan tetap pulang. Maman Yadi dan bibi Patinah sangat menyayangiku, karena mereka belum memiliki anak sudah hampir 15 tahun dari usia pernikahan mereka tempo dulu.

Aku langkahkan kaki di tempat mencari ilmu di Surabaya. Sahabat-sahabatku di asrama sangat simpati padaku. Tak jarang mereka menjadi tempatku bersandar dalam perjalanan panjang ini. Tiga tahun ku selesaikan SMA di Surabaya. Pihak sekolah mengutusku menjadi mahasiswa undangan di salah satu kampus terbaik di Yogyakarta yaitu Universitas Gajah Mada. Mimpi apa ini, pikirku? Aku selalu berdoa agar ini menjadi celah kebahagiaanku di masa depan.

Aku sebatang kara di negeri orang tanpa siapapun yang ku kenal di sini. Almarhum ayah dan ibu pasti bahagia mendengar kabar aku bisa kuliah di Yogyakarta. Anak yatim piatu adalah sebutan yang pas untukku yang selalu ingin memeluk rindu dengan sempurna. Secerah bintang di langit merindukan bulan dalam hangatnya kerinduan. Aku tak ingin keputusasaan mendarah daging dalam tubuhku. Aku jua takkan menyerah hadapi hiruk pikuknya kehidupan penuh ujian ini.

Allah melihat usahaku dan mendengar doa-doaku. Allah lebih menyayangi ayah dan ibu untuk segera singgah di syurganyA, sedangkan aku harus kuatkan imanku untuk terus bertahan menikmati indahnya skenario Tuhan.

Aku ikhlas dengan takdirku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun