Mohon tunggu...
Siti Andriana
Siti Andriana Mohon Tunggu... Guru - Guru / Enterpreneur / Penulis

Dunia Sementara, Akhirat Selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lubuk Rindu

15 Mei 2024   11:08 Diperbarui: 15 Mei 2024   12:02 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari aku menerima surat dari sekolah, batinku berdebar tak menentu saat itu. Karena selama tiga tahun aku menimba ilmu di sini belum pernah aku mendapatkan sebuah surat berukuran 19 cm x 15 cm itu. Aku mulai membukanya di tempat peraduan langkahku, dimana lagi kalau bukan kamarku.

Perlahan... namun pasti. Kedua kakiku bergetar, mulutku serasa ingin menumpahkan jeritan. Mataku mulai nanar. Jari-jariku mulai tak mampu menopang beban surat yang kuterima. Batinku meronta hebat tanpa pilihan untuk berhenti. Antara sadar dan tidak aku mulai meraung bak anak kecil kehausan meminta air susu pada ibunya.

"Kabar apa ini ?"... (gumamku dalam tangisan)

Teman-teman asrama mulai mengetuk pintu kamarku. Kubuka dan mereka menanyakan tentang kenapa aku menangis? Aku masih dalam tangisan tak percaya. Aku menggerutu tanpa mereka paham apa maksud ucapanku.

"Bagaimana mungkin ayah dan ibuku jatuh ke jurang, yang aku tau tak satupun dari mereka bisa menaiki sepeda motor. Mengayuh sepeda saja tak pernah. Bagaimana bisa jatuh ke jurang? aku bingung dan kesal dengan isi surat ini. Aku pecaya mereka baik-baik aja." Gerutuku sambil mengusap air mata sambil berjalan ke arah pembina asrama untuk meminjam telepon genggamnya.

Setelah diizinkan meminjam telepon genggam, aku langsung menelepon paman Yadi di Selasih.

"Assalamualaikum man Yadi..." sapaku di awal telepon.

"Waalaikumslam Bintang, kapan pulang? sudah denger kabarnya kan?" paman Yadi langsung bertanya tanpa basa-basi menanyakan kabarku.

"iya paman. Bagaimana cerita awalnya? Kenapa bisa terjadi?" serbuan tanya dariku

"Sudah, pulang aja. Ini lebih penting. Nanti sore dikebumikannya."tutup telpon dari man Yadi terburu-buru.

Genting hatiku, dikebumikan diujung telepon menyisakan luka nganga di ulu hati. Apa ini ya Allah... ujian apa ini? tangisku meledak menjadi-jadi sambil mengembalikan telepon genggam pembina asrama dan mengurus izinku untuk pulang saat itu juga. Jam dinding menunjukkan 12.35 WIB, aku segera berwudhu dan melaksanakan dzuhurku. Setelah itu aku mengemas pakaian dalam koper kecil dan membawa peralatan yang kuperkirakan penting selama pulang kampung. Pembina asrama segera mengurus tiket pesawat, aku berpamitan pulang pada mereka. Mereka merangkulku seolah bisa memahami kepedihanku hari itu. Perjalanan menuju pesawat hanya 10 menit, aku bersabar sampai menaiki pesawat. Hatiku meracau tak karuan. Pikiranku hanya fokus untuk sampai di rumah. Doa-doa kulantunkan dalam hati untuk ketenanganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun