Pemerintah daerah, sebagai ujung tombak pemerintahan di tingkat lokal, memiliki peran krusial dalam menentukan arah pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya. Pengambilan keputusan di tingkat pemerintah daerah, tak jarang, sarat dengan dinamika politik yang kompleks. Kepentingan rakyat dan kepentingan politik, terkadang, beradu dalam proses pengambilan keputusan, menghasilkan konsekuensi yang beragam.
Menurut Janis dan Mann (1965), pengambilan keputusan adalah suatu proses yang digunakan individu atau kelompok untuk memilih satu alternatif dari beberapa alternatif yang ada untuk mencapai tujuan tertentu.
March dan Olsen (1989) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai proses yang melibatkan identifikasi masalah, pencarian solusi, evaluasi alternatif, dan pemilihan solusi terbaik. Sedangkan, Lindblom (1979) memandang pengambilan keputusan sebagai proses "muddling through", di mana para pengambil keputusan tidak selalu memiliki informasi yang lengkap dan pasti, dan mereka harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang tersedia dan pertimbangan politik.
Beberapa indikator yang menunjukkan adanya dinamika politik dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah, antara lain:
1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas
Proses pengambilan keputusan tidak dipublikasikan secara jelas kepada publik, dan tidak ada mekanisme yang jelas untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas keputusannya.
2. Terpengaruh oleh kepentingan politik
Keputusan pemerintah daerah lebih didorong oleh kepentingan politik para pemangku kepentingan, seperti partai politik, elit politik lokal, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, daripada kepentingan rakyat.
3. Lemahnya partisipasi masyarakat
Masyarakat tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, dan suara mereka tidak didengar oleh pemerintah.
4. Adanya konflik kepentingan