11 Agustus 2024, di siang hari yang sangat cerah saya pergi makam Ki Gede Sebayu, melewati hamparan sawah hijau membentang sejauh mata memandang. Pemandangan ini sungguh menenangkan, dengan petani yang bekerja di bawah sinar matahari pagi. Suara gemericik air dari irigasi menambah kesan damai, menciptakan ritme kehidupan yang tenang dan stabil. saya melihat banyak masyarakat melakukan aktifitas sekitar aliran irigasi seperti mandi, mencuci pakai dan sebaginya.
Di makam ini saya berbincang bincang bersama juru kunci makam Ki Gede Sebayu yang bernama bapak Nur Amin dan beliau dengan sukarela menjelaskan tentang Ki Gede Sebayu yang dimana makam ini merupakan situs bersejarah dan sakral yang memiliki daya tarik tersendiri. Ki Gede Sebayu merupakan pendiri sekaligus bupati pertama kota Tegal. Makam Ki Gede Sebayu yang dikelilingi oleh tembok putih menjadi ikon penting bagi Desa Danawarih. Makam ini tidak hanya merupakan situs bersejarah, tetapi juga simbol warisan budaya dan spiritual yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat setempat. Ki Gede Sebayu, yang nama aslinya adalah Raden Atmo Arsantika, merupakan tokoh penting dalam sejarah Tegal, sekaligus keturunan dari Sunan Onje, seorang ulama yang memiliki peran besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Saat dewasa, Ki Gede Sebayu sering menjadi panglima perang, namun kemudian menyadari bahwa konflik yang dihadapinya adalah perang saudara. Karena itu, ia memutuskan untuk meninggalkan Ponorogo dan pindah ke arah barat, tiba di Tegal pada tahun 600 M. Di Tegal, Ki Gede Sebayu mulai menyebarkan agama Islam secara bertahap dan bertepatan itu juga diangkat sebagai bupati pertama Tegal. Ia fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan pertanian, dengan bantuan 40 santrinya yang memiliki berbagai keahlian. Salah satu upayanya adalah membangun bendungan di Kali Gung untuk irigasi. Ki Gede Sebayu dikenal luas sebagai pendiri Kota Tegal, sebuah kota yang kini menjadi salah satu pusat ekonomi dan budaya di Jawa Tengah. Setiap harinya, makam ini dikunjungi oleh sekitar 25 hingga 50 orang, yang datang untuk berdoa dan mengenang jasa-jasanya. Kunjungan ini biasanya meningkat pada malam Jumat, ketika orang-orang datang untuk mencari berkah dan ketenangan spiritual. Selain itu, pada hari Rabu Pungkasan, sebuah tradisi keluarga Ki Gede Sebayu yang masih dilestarikan hingga kini.
saya melihat bahwa makam Ki Gede Sebayu bukan hanya tempat peristirahatan terakhir seorang tokoh, tetapi juga menjadi pusat spiritual dan budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Maka dengan keberadaan makam ini desa Danawarih memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata religi dan budaya yang tidak hanya akan menarik wisatawan, tetapi juga memberikan dampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H