Ketua 212 Surakarta, R Djayendra Dewa mengatakan acara tablig akbar di Solo merupakan miniatur 212 di Monas. Mereka datang ke Solo untuk membagun spirit.Â
Spirit apa yang ingin dibangun?
212 lahir karena Ahok. Setelah Ahok dipenjara, harusnya selesai. Tapi, angka itu justru dipatenkan, ingin terus eksis di pusaran politik nasional. Menjadi brand alias merek dagang.Â
Menurut dia, aksi 212 bukan agenda politik, dapat dilihat yang hadir tidak ada atribut partai. Semua hanya menggunakan bendera tauhid dan baju putih.
"Kami melarang peserta menggunakan atribut partai. Kami juga melarang bicara soal kampanye," katanya.
Masih ada yang percaya 212 bukan untuk politik?
Tiga pesan bisa dibaca di balik pendirian posko BPN di Solo. Pertama, untuk memecah suara masyarakat Solo, walau ini meragukan akan berhasil. Solo dikenal sebagai basis PDI Perjuangan. Nyaris semua masyarakat Solo mendukung Jokowi.
Kedua, untuk mengganggu konsentrasi politik secara psikologis. Ini hasilnya juga tergantung pihak lawan, apakah akan bersikap santai atau menganggapnya sesuatu yang serius. Kalau santai, aman. Kalau terlalu serius bisa timbul gesekan.
Bisa gesekan antarpendukung atau gesekan dengan aparat keamanan. Dan, bisa jadi gesekan tersebut yang diharapkan untuk menyempurnakan narasi selalu dizalimi.
Ketiga, ingin membangkitkan kekuatan Islam konservatif di Kota Solo karena di kota ini juga ada kelompok-kelompok muslim bergejolak.
Apa agenda sebenarnya di balik pendirian posko BPN di Solo, apakah skenario terburuk untuk memicu huru-hara kalau jagoannya kalah? Untuk mengatakan pemerintah tidak kompeten menjaga keamanan? Setelah narasi demikian deras dihantamkan pada KPU yang dinilai berat sebelah? Hanya mereka yang tahu.Â