Mohon tunggu...
Nona Kumala
Nona Kumala Mohon Tunggu... Guru - Guru - Penulis

Berharap pada manusia adalah patah hati secara sengaja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sakit

5 Desember 2022   18:33 Diperbarui: 5 Desember 2022   18:36 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kita cerai, Dek!" Suara Bang Freddy membuatku tersentak. Segera kutatap matanya yang menghindar melihatku. Aku berjalan mendekat dan berusaha menggenggam tangannya.

"Ta-tapi kenapa, Bang?" tanyaku pedih. Air mata sudah tak dapat lagi kubendung. Usia pernikahan kami masih muda, baru juga satu tahun.

"Abang sudah bosan dengan kau! Kau gak bisa dandan, apalagi sudah setahun menikah kau belum hamil juga!"

Ia menghempaskan selembar kertas. "Tanda tangani!"

Aku menggeleng kuat, aku ingin mempertahankan pernikahan ini. Dulu, aku menentang orang tuaku demi memilihnya.

"Tanda tangani, Fira! Kalau tidak-"

"Kalau tidak apa, Bang?" potongku cepat.

"Bang Fred, aku mohon! Jangan lakukan ini!" Aku kembali ingin menggenggam tangannya, tetapi dengan kasar ia menepiskan, membuat hatiku semakin hancur.

Bang Freddy menggeleng, lalu melenggang pergi meninggalkanku yang kian tersedu.

***

Sebulan sudah kami resmi bercerai, tetapi aku masih tak bisa melupakannya. Masih mencintainya, meski ia sudah menyakiti. Aku sering membayangkannya ada di sampingku dan kami bercanda bahagia.

Kini rumah seperti tidak berpenghuni, tak ada kebersihan maupun kerapian. Semua berantakan bagai kapal pecah, aku sama sekali tidak berniat membereskan. Pekerjaanku hanya merenung dan tidur.

"Fira!"

Seruan itu mengusik, tetapi tidak membuatku bangkit dari balutan selimut tebal. Itu suara Ibu, ia pasti datang hanya untuk menceramahiku habis-habisan. Aku sudah hafal itu.

Namun, kali ini berbeda. Tak ada teriakan histeris atau pun omelannya. Hal itu memicu keingintahuanku, sedang apa Ibu? Dengan malas aku beranjak, bergegas mencari keberadaan Ibu. Terlihat, beliau sedang menata beberapa makanan di atas meja.

"Masih hidup kau?"

Aku berdecak, Ibu meledek lagi. "Apaan, sih, Bu? Kalo masih di sini berarti masih hiduplah," balasku.

"Hidup emang, tapi nyawa melayang-layang!" 

Aku menghela napas berat, menaruh nasi dan lauk di piring dan mulai menyantap.

"Kapan kau nikah lagi?"

Aku tersedak, buru-buru mengambil minum. Aku menatap Ibu tak percaya, melupakan Bang Freddy saja kau belum bisa, malah ditanya kapan nikah lagi.

"Apaan, sih, Bu? Aku belum siap untuk menjalin hubungan dengan orang baru, Bu," balasku.

"Kalau menunggu siap, kau gak akan nikah-nikah lagi!"

Aku tidak menyahuti perkataan Ibu. Seleraku untuk makan sudah sirna, padahal masakan Ibu sangat lezat dan menggiurkan. Saat aku hendak bangkit, suara Ibu menghentikan.

"Temani Ibu belanja alat perabotan dan lainnya, rumahmu ini juga harus kau bereskan. Minggu depan, calon suamimu akan datang."

"Tapi, Bu," sergahku cepat, "aku belum mau menikah."

"Ibu tidak peduli!"

Ibu selalu seperti itu, memaksa kehendak. Dulu aku menentang, kali ini mungkin aku harus mencoba pilihan Ibu. Tak ingin lagi pernikahanku gagal karena salah pilih.

"Iya, iya."

Siang ini di toko perabotan aku mengedarkan pandangan untuk mencari beberapa perlengkapan sesuai perintah Ibu. Cukup ramai tokonya di siang hari ini. Di ujung toko entah berapa kali wanita yang melahirkanku itu mengomel karena tidak menemukan barang sesuai keinginannya.

Setelah berjam-jam, akhirnya selesai juga belanja. Kami menunggu angkutan di depan toko untuk mengantar barang-barang kami. Tanpa sengaja aku melihat segerombolan anak bersorak-sorai.

"Orang gila! Orang gila!"

Jiwa penasaranku tergoda, tanpa memedulikan panggilan Ibu, langsung saja aku menghampiri mereka. Aku menerobos keramaian itu hingga melihat langsung ada apa di sana.

Seorang lelaki terkikik sembari menari-nari, ia hanya mengenakan celana pendek, itu pun milik perempuan, terlihat dari corak pink dengan gambar Barbie.

Tak lama kemudian, Ibu juga datang dan sontak menutup mulut. Perlahan aku menghela napas lega.

Tidak sia-sia aku membayar dukun tua waktu itu mahal-mahal. Bang Freddy yang rencana menikah bulan ini, berujung dengan keadaan yang sekarang. Ia sudah menyakitiku, maka ia juga harus sakit. Sakit jiwa.

2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun