Jantung Danai berdetak kencang ketika melihat sosok yang tengah sibuk mengais-ngais tempat sampah di dekat kamar mandi sekolah. Firasatnya mengatakan ia kenal orang itu. Kaki lelaki itu melangkah dengan hati-hati agar tak diketahui keberadaannya. Tangan Danai terangkat hampir menyentuh bahu pria yang mengenakan caping gunung tersebut, tetapi ditahan dan lebih memilih menyapa.
"Permisi?" Suara Danai berhasil membuat orang itu berhenti bergerak, tetapi ia tak berbalik.Â
Danai kian curiga dengan gelagat aneh yang ditunjukkan. Ia spontan menahan lengan pria itu ketika hendak melarikan diri. "Tunggu!" Danai maju dua langkah dan memutar pria itu hingga keduanya saling berhadapan. Tangan Danai yang tadi menggenggam lengannya sontak melepas dan melotot.
"Ayah!" Tangan Danai terkepal. Ia menoleh ke sekeliling. Lelaki itu kemudian menarik tangan sang ayah dengan kasar ke balik tembok kamar mandi.Â
"Ngapain Ayah di sini, ha!?"Â
Karno, ayah Danai menggelengkan kepala pelan. "Maafkan ayah, Nak. Ayah nggak ada maksud buat-"
Danai langsung memotong perkataan Karno, "Nggak ada maksud apa, ha!? Sekarang juga pergi dari hadapanku dan jangan pernah muncul lagi di sini!" Lelaki itu mendorong tubuh Karwo itu hingga hampir terhuyung.
"Pergi sekarang!" ulang Danai sekali lagi sebelum ia kembali ke kelas.Â
Danai membuang napas berat ketika telah tiba di depan kelas. Tadinya ia permisi ke kamar mandi, tetapi semua terlupakan karena melihat ayahnya muncul di sekolah dengan penampilan seperti tadi. Danai tak bisa membayangkan bagaimana omongan teman-temannya.
"Danai, lo lama banget, sih?" Salah satu teman Danai muncul dan menatapnya heran.
Danai tersentak dan buru-buru menyunggingkan senyum kecil. "Oh itu, perut gue lagi nggak enak."
"Kenapa nggak ke UKS aja? Muka lo pucat banget."
Danai buru-buru menggelengkan kepala. "Ngg-ngg-nggak. Gue nggak apa-apa." Ia pun bergegas masuk dengan tubuh yang bergetar.
Dari balik tembok kamar mandi, Karno menatap putranya dengan sendu. Ia tak ingin anaknya malu karena pekerjaan yang dilakukan. Karno dengan sengaja datang ke tempat itu ketika semua orang sibuk di kelas, ternyata tetap saja menyulitkan anaknya. Setelah melihat Danai kembali ke kelas, Karno langsung bergegas pulang.
Setibanya di rumah, pria yang kini menjelang usia empat puluh itu terduduk lemas. Entah apalagi yang harus dilakukan agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Ia tak ingin anaknya menderita. Sejak ia dipecat dari pabrik kelapa sawit beberapa bulan yang lalu, belum ada sama sekali pekerjaan yang didapat.
"Ayah udah pulang?" Gadis kecil menghampirinya. "Ayah dapat banyak uang hari ini?"Â
Karno tersenyum kecil dan mengusap kepala putri kecilnya. "Ayah belum dapat apa-apa, Sayang." Rasanya sangat sakit ketika mengatakan itu.
Gadis itu memeluk sang ayah. "Nggak apa-apa, Yah. Aura hari ini dapat rezeki." Gadis kecil itu merogoh kantong dan mengeluarkan dua uang lima ribuan. "Ini untuk Ayah."
Karno menatap dua lembaran itu tanpa berkedip. "Kamu dapat uang ini dari mana, Nak?" Wajah pria itu berubah khawatir.
"Ini halal kok, Yah. Aura tadi bantu Bu Guru angkat air dan dikasih uang ini."Â
Karno menarik napas lega dan mencium puncak kepala Aura. "Besok-besok biar ayah aja yang kerja, ya. Aura sekolah yang rajin biar kelak jadi orang sukses dan bisa hidup bahagia."Â
Aura menganggukkan kepalanya. "Pasti, Ayah. Aura akan buat ayah sama Kak Danai juga bahagia."
***
Angin malam menembus kulit, Danai berjalan dengan santai di bawah gerimis malam. Di jalanan sepi, lelaki itu menghisap rokok dan mengembuskan ke udara hingga membentuk kepulan, lalu ia terkekeh kecil. Dari arah berlawanan, tiga orang preman menghampiri.Â
"Hei, minta duit lo!" Salah satu dari mereka menarik tangan Danai hingga rokoknya terjatuh di tanah.Â
Danai tak terima, ia mendorong pria itu. Hal itu membuat mereka marah dan langsung menyerang Danai habis-habisan. Danai tak bisa berkutik, tubuhnya lunglai di tanah. Namun, lelaki itu seolah tak merasakan sakit. Ia tertawa mengejek ketiga preman itu. "Dasar lemah, kalian cuma bisa melawan anak kecil, kan?"
"Lo rasain ini!" Preman yang berambut gondrong menusuk perut Danai.
Sementara di rumahnya, Karno sama sekali tak tenang karena Danai belum kunjung pulang. Pria itu mondar-mandir di depan rumah menunggu putranya datang.Â
"Danai, kamu di mana sekarang, Nak?" Kecemasan Karno kian menjadi ketika gerimis menyapa. Pria itu mengambil payung dari rumah dan bergegas mencari Danai.Â
Langkah kaki Karno lebar-lebar, ia berencana menuju sekolah atau ke rumah salah satu teman anaknya. Namun, kaki Karno mendadak berhenti ketika melihat seorang anak berseragam SMA dikeroyok oleh beberapa preman.
"Hei, apa yang kalian lakukan!?" Karno berlari ke arah mereka. Tubuhnya bergetar hebat ketika melihat anak lelaki yang babak belur dan tersungkur di tanah. Pria itu berteriak histeris. "Danai!"Â
Para preman itu satu persatu melarikan diri ketika Karno berteriak minta tolong. Pria itu memeluk erat tubuh anak lelakinya. "Danai. Nak ... kamu dengar suara ayah, kan?" Karno mengusap dan mencium kepala anaknya yang tak sadarkan diri.
Beberapa orang datang untuk membantu. Tubuh Danai diangkat ke mobil dan dilarikan ke rumah sakit.Â
Hampir satu jam Karno menunggu di depan IGD hingga seorang dokter keluar. Ia duduk sambil menunggu dengan tubuhnya yang masih bergetar. Karno menyatukan kedua tangan di depan dada dan berharap Danai baik-baik saja.Â
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Karno berdiri dan menghadap dokter dengan gugup.
Sang dokter membuka masker dan membuang napas pelan. "Ada benda tajam yang menusuk perutnya, untung tidak terlalu dalam, ia butuh beberapa waktu untuk sadar."
Karno mengucapkan terima kasih dan menatap ruangan IGD yang tertutup.
Malam kian larut, Karno tak bisa tidur meski Danai sudah dipindahkan ke kamar inap. Hingga pagi ia duduk dan menatap sang anak yang belum kunjung siuman. Pikirannya kacau balau.Â
"Aku harus kerja hari ini agar bisa bayar obat Danai." Setelah berpikir panjang, Karno beranjak dari kursinya.
Tak lama setelah Karno keluar dari ruangan, Danai perlahan membuka mata. Anak lelaki itu menatap langit-langit, tangannya bergerak sedikit demi sedikit. Ia meringis kesakitan ketika hendak duduk. Danai menyibak selimut putih tipis yang menutupi setengah badannya. Mata lelaki itu menyipit melihat perutnya yang dibalut perban.
"Arrggghh!" Ia kembali meluruskan badan dan memejamkan mata.
***
Makanan yang diantar oleh perawat sama sekali tak disentuh oleh Danai. Ia hanya diam menatap keluar kaca ruangan. Sesekali ia memejamkan mata untuk menghilangkan kebosanan, ia merasa tampak seperti orang bodoh yang tak punya kegiatan.Â
"Eh, kok belum makan? Ini udah sore, loh." Dokter masuk bersama dengan dua perawat untuk memeriksa keadaan Danai.Â
Danai tak menggubris pertanyaan itu, ia mengajukan pertanyaan lain. "Kapan saya bisa pulang, Dok? Saya bosan di sini."Â
Sang dokter tersenyum dan menyuntikkan cairan ke botol infus Danai. "Sabar, ya. Kamu pasti pulang."
Danai membuang napas kasar. "Saya bahkan nggak punya teman di sini."Â
"Ayah kamu-"Â
"Ayah saya? Memangnya dia peduli sama saya, dia cuma bisa bikin malu aja." Danai memotong perkataan perawat yang mencoba menyampaikan sesuatu.Â
Dokter menggelengkan kepala pada perawat itu lalu membenarkan selimut Danai. "Ya sudah, kamu istirahat, ya, biar lekas sembuh." Mereka pun meninggalkan Danai sendiri lagi.
Tiga hari berlalu, tak ada tanda-tanda sang ayah muncul membuat Danai tak bisa menahan gejolak amarah. Ia keluar dari kamarnya dan hendak meminta izin pulang langsung ke dokter.Â
Pihak rumah sakit awalnya menolak karena merasa Danai belum pulih total, tetapi lelaki itu mengomel seperti orang gila. Mereka akhirnya mengizinkan Danai pulang ditemani oleh seorang perawat laki-laki.Â
Biaya pengobatan sudah dilunasi sebelumnya, Danai tak peduli siapa yang melunasi. Ia hanya ingin meluapkan kekesalan pada sang ayah di rumah.
Danai turun dari mobil dengan langkah berat ketika netranya menangkap kain merah kecil berkibar dengan tinggi setengah meter di depan rumahnya. Jantungnya berdegup jauh lebih kencang daripada saat ia memergoki sang ayah mengambil barang bekas di sekolahnya.
Beberapa orang keluar dan menghampiri serta mengucapkan belasungkawa pada Danai. Lelaki itu mengabaikan semua dan bergegas masuk dengan sedikit rintihan karena luka di perutnya. Tatapan Danai langsung tertuju pada Aura yang memeluk baju Karno.
"Aura," panggil Danai pelan, tetapi masih terdengar.
Gadis kecil itu menoleh dan berlari ke arah Danai. "Kakak!" Tangis Aura kian menjadi, memenuhi seluruh ruangan itu.Â
"Apa yang terjadi?" tanya Danai masih memeluk sang adik.
"Ayah, Kak, ayah ...." Aura tersedu-sedu.
"Ayah, kenapa?" Danai menatap sekeliling, orang-orang menatapnya dengan iba. Tubuh lelaki itu terduduk lemas di lantai. "Ayah ...."
Kini Danai duduk tepat di samping pusara sang ayah. Lelaki itu tak henti-hentinya meneteskan air mata. Bunga di atas gundukan itu masih segar, tanahnya masih basah.Â
Dari cerita warga, Karno meninggal tertabrak truk ketika ia tengah bekerja di galon minyak untuk mengumpulkan uang membayarnya biaya rumah sakit Danai.
Danai tak memejamkan mata setelah selesai berdoa. Ia menyesal telah berperilaku buruk ketika sang ayah masih ada. Sekarang, ia benar-benar kehilangan cahaya hidupnya. Kehilangan seseorang yang paling berharga.
"Kakak?"Â
Danai menyeka kedua sudut matanya dan menoleh pada Aura. Lelaki itu memaksa bibirnya tersenyum. "Iya, Sayang?"Â
"Apa ayah akan lahir lagi? Kata teman Aura, yang udah meninggal akan lahir kembali."
Danai tak bisa berkata-kata, ia menarik Aura dan memeluknya erat. Sesak rasanya mendengar pertanyaan itu, pertahanan lelaki itu kembali runtuh dan menangis lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H