Danai tak menggubris pertanyaan itu, ia mengajukan pertanyaan lain. "Kapan saya bisa pulang, Dok? Saya bosan di sini."Â
Sang dokter tersenyum dan menyuntikkan cairan ke botol infus Danai. "Sabar, ya. Kamu pasti pulang."
Danai membuang napas kasar. "Saya bahkan nggak punya teman di sini."Â
"Ayah kamu-"Â
"Ayah saya? Memangnya dia peduli sama saya, dia cuma bisa bikin malu aja." Danai memotong perkataan perawat yang mencoba menyampaikan sesuatu.Â
Dokter menggelengkan kepala pada perawat itu lalu membenarkan selimut Danai. "Ya sudah, kamu istirahat, ya, biar lekas sembuh." Mereka pun meninggalkan Danai sendiri lagi.
Tiga hari berlalu, tak ada tanda-tanda sang ayah muncul membuat Danai tak bisa menahan gejolak amarah. Ia keluar dari kamarnya dan hendak meminta izin pulang langsung ke dokter.Â
Pihak rumah sakit awalnya menolak karena merasa Danai belum pulih total, tetapi lelaki itu mengomel seperti orang gila. Mereka akhirnya mengizinkan Danai pulang ditemani oleh seorang perawat laki-laki.Â
Biaya pengobatan sudah dilunasi sebelumnya, Danai tak peduli siapa yang melunasi. Ia hanya ingin meluapkan kekesalan pada sang ayah di rumah.
Danai turun dari mobil dengan langkah berat ketika netranya menangkap kain merah kecil berkibar dengan tinggi setengah meter di depan rumahnya. Jantungnya berdegup jauh lebih kencang daripada saat ia memergoki sang ayah mengambil barang bekas di sekolahnya.
Beberapa orang keluar dan menghampiri serta mengucapkan belasungkawa pada Danai. Lelaki itu mengabaikan semua dan bergegas masuk dengan sedikit rintihan karena luka di perutnya. Tatapan Danai langsung tertuju pada Aura yang memeluk baju Karno.