"Kenapa nggak ke UKS aja? Muka lo pucat banget."
Danai buru-buru menggelengkan kepala. "Ngg-ngg-nggak. Gue nggak apa-apa." Ia pun bergegas masuk dengan tubuh yang bergetar.
Dari balik tembok kamar mandi, Karno menatap putranya dengan sendu. Ia tak ingin anaknya malu karena pekerjaan yang dilakukan. Karno dengan sengaja datang ke tempat itu ketika semua orang sibuk di kelas, ternyata tetap saja menyulitkan anaknya. Setelah melihat Danai kembali ke kelas, Karno langsung bergegas pulang.
Setibanya di rumah, pria yang kini menjelang usia empat puluh itu terduduk lemas. Entah apalagi yang harus dilakukan agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Ia tak ingin anaknya menderita. Sejak ia dipecat dari pabrik kelapa sawit beberapa bulan yang lalu, belum ada sama sekali pekerjaan yang didapat.
"Ayah udah pulang?" Gadis kecil menghampirinya. "Ayah dapat banyak uang hari ini?"Â
Karno tersenyum kecil dan mengusap kepala putri kecilnya. "Ayah belum dapat apa-apa, Sayang." Rasanya sangat sakit ketika mengatakan itu.
Gadis itu memeluk sang ayah. "Nggak apa-apa, Yah. Aura hari ini dapat rezeki." Gadis kecil itu merogoh kantong dan mengeluarkan dua uang lima ribuan. "Ini untuk Ayah."
Karno menatap dua lembaran itu tanpa berkedip. "Kamu dapat uang ini dari mana, Nak?" Wajah pria itu berubah khawatir.
"Ini halal kok, Yah. Aura tadi bantu Bu Guru angkat air dan dikasih uang ini."Â
Karno menarik napas lega dan mencium puncak kepala Aura. "Besok-besok biar ayah aja yang kerja, ya. Aura sekolah yang rajin biar kelak jadi orang sukses dan bisa hidup bahagia."Â
Aura menganggukkan kepalanya. "Pasti, Ayah. Aura akan buat ayah sama Kak Danai juga bahagia."