Malam itu, suara telepon yang berdering memecah keheningan rumah. Zizah menghela napas panjang sebelum mengangkatnya, tahu siapa di seberang sana dan apa yang mungkin akan ia dengar. Di ujung telepon, suara suaminya, Fero, langsung terdengar tegas, bahkan dingin.
"Kenapa nasi yang kamu masak kemarin keras? Apa susahnya buat nasi yang layak? Aku kerja jauh-jauh di sini, kamu di rumah malah malas-malasan," katanya tanpa menunggu jawaban.
Zizah terdiam, menahan sakit yang mengalir dalam dadanya. Pagi itu dia terpaksa menanak nasi terburu-buru karena anak mereka rewel dan membutuhkan perhatian. Tapi, seperti biasa, Fero tidak mendengar penjelasannya; tidak ada ruang untuk Zizah berbicara. Di matanya, tugas Zizah adalah sempurna melayani, tidak peduli betapa sulitnya keadaan di rumah. Seolah-olah ia hanya ada untuk memenuhi apa yang Fero harapkan.
Zizah menarik napas panjang, menenangkan hatinya yang hampir pecah. Setiap hari, dia berusaha menjadi istri yang baik, sabar, dan setia menunggu suaminya yang bekerja di Kalimantan. Tetapi jarak membuat komunikasi mereka menjadi sulit. Fero yang keras kepala dan mudah membandingkan istrinya dengan orang lain, sering kali marah hanya karena hal-hal sepele. Mulai dari makanan yang kurang enak hingga kondisi rumah yang tidak selalu rapi --- semua menjadi alasan baginya untuk mengkritik Zizah.
Beberapa teman sering berkata, "Zizah, kamu terlalu sabar. Harusnya kamu juga bicara, tunjukkan kalau kamu tidak salah."
Namun, Zizah hanya tersenyum tipis. Di dalam hatinya, ia hanya ingin menjaga rumah tangganya tetap utuh, menghindari pertengkaran yang tidak perlu. Setiap malam, dalam kesunyian rumah yang sepi, Zizah sering kali menangis, memohon kepada Tuhan agar suaminya mengerti dan melihat perjuangannya, mengakui bahwa ia bukanlah wanita sempurna tetapi selalu berusaha menjadi istri terbaik untuk Fero.
Hubungan jarak jauh yang mereka jalani memang sulit. Fero, yang bekerja di perusahaan pertambangan di Kalimantan, selalu merasa bahwa ia adalah pencari nafkah yang membanting tulang demi keluarga. Ketika pulang, ia ingin rumahnya sempurna, rapi, dan tenang --- seakan lupa bahwa Zizah juga berjuang, sendiri menghadapi segala hal yang ada di rumah. Dalam pikirannya, Zizah seharusnya bersyukur atas segala yang ia sediakan, tanpa memahami beban yang Zizah pikul sendirian.
Suatu malam, setelah pertengkaran yang membuat Zizah tak tahan lagi, Fero memutuskan untuk pulang lebih awal dari yang dijadwalkan. Dia ingin menenangkan pikirannya, merasa sudah melakukan cukup banyak untuk keluarganya dan ingin memberi pelajaran pada istrinya.
Namun, setibanya di rumah, pandangan Fero berubah. Dia melihat Zizah yang sedang menenangkan anak mereka yang sakit dengan wajah lelah namun penuh kasih. Rumah tidak berantakan seperti yang dia pikirkan; Zizah tidak malas seperti yang selama ini ia tuduhkan. Sebaliknya, ia justru melihat betapa keras Zizah berusaha, bekerja dan mengurus keluarga tanpa mengeluh, meski tanpa dukungan langsung darinya.
Fero terhenyak. Teringat bagaimana selama ini ia selalu membandingkan Zizah dengan istri-istri teman kerjanya yang katanya lebih pintar dan cekatan. Padahal, Zizah telah berkorban banyak demi menjaga keluarganya tetap utuh.
"Maaf, aku tidak tahu kalau kamu... sesulit ini mengurus semuanya," katanya lirih sambil duduk di samping Zizah, menatap wajah istrinya yang kelelahan namun tetap tersenyum padanya.
Zizah hanya tersenyum, mengangguk pelan. Baginya, kata maaf dari Fero adalah cukup, menjadi penawar luka yang telah ia pendam selama ini.
Hari itu menjadi titik balik bagi Fero. Ia menyadari bahwa istrinya bukanlah wanita sempurna yang bisa memenuhi segala keinginannya, namun ia tetap mencintai Zizah lebih dari segalanya. Dia mulai belajar untuk bersabar, melihat setiap usaha kecil Zizah sebagai bentuk cinta yang selama ini ia abaikan.
Sejak saat itu, Fero memutuskan untuk tidak lagi bekerja jauh dari keluarga. Meskipun penghasilannya tidak sebesar sebelumnya, ia yakin ini adalah langkah terbaik untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya.
Malam-malam mereka kini diisi dengan doa bersama, saling mendukung dan menguatkan. Dalam doa-doanya, Zizah tak lagi memohon agar suaminya mengerti. Kini ia berdoa untuk rumah tangga yang penuh cinta dan kesabaran, di mana mereka berdua bisa saling melengkapi dalam segala kekurangan.
Pesan MoralÂ
Istrimu adalah wanita rapuh yang membutuhkan bimbingan dan kesabaranmu. Cintailah dia dalam ketidaksempurnaannya, sebab dalam setiap kekurangan, tersimpan usaha tulus untuk menjadi yang terbaik bagimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H