Pengertian Jagat Gumelar dan Jagat Gumulung
Pada pandangan Jawa atau Indonesia Klasik semua logos didalam realitas dunia ini bersifat Dialektis antara dua hal yakni Jagat Gumelar, Jagat Gumulung. Tatanan Mikro Kosmos atau Jagat Gumulung atau Buwono Alit [mikrokosmos], disebut individu, pribadi atau keluarga atau wilayah Res privata, sedangkan Buwono Agung {makrokosmos/alam semeseta seluruhnya] atau Res Publica, masyarakat, bangsa negara, dan internasional [dunia]; mengalami perjumpaan dengan apa yang disebut Buwono Langgeng [abadi], atau Sang Waktu_ lahiriah batiniah_ ada menuju perjumpaan dengan 'Sanghiyang Wenang/Sanghiyang Tunggal", atau "Batara Tunggal".
Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai penerus kerajaan Mataram didirikan oleh Paku Buwono II pada tahun 1745 Masehi ( tahun Jawa Je 1670 ), merupakan perpindahan dari Keraton Kartasura yang rusak ( baca Babad Pecina ). Disamping sebagai pusat politik dan kekuasaan keraton juga merupakan pusat kebudayaan yang merupakan sumber kekuatan kosmis. Implementasi dalam kehidupan beragama, Karaton Surakarta walaupun sebagai sebuah kerajaan Islam, tetapi tetap menjadi pengayom dari semua golongan dan agama dan kepercayaan. Nilai-nilai hakiki manusia yang terangkum di semua ajaran agama, secara jelas termanifestasikan dalam upacara-upacara adat yang ada di Karaton Surakarta, yang bermuara pada keseimbangan, keselarasan makrokosmos (jagad gumelar) dan mikrokosmos. (jagad gumulung).
Dalam bentuk naskah, Karaton Surakarta mempunyai nilai ajaran leluhur yang sangat tinggi. Tembang dan tembung dalam setiap naskah mempunyai makna yang tersirat. Tentu saja memerlukan ketajaman hati dalam mengungkap substansi yang dimaksud.
- Konsep Hamemayu Hayuning Bawana.
- Kesadaran kosmis sebagai tatanan yang sudah selaras, dijadikan konsep dasar dalam menjalankan pemerintahan pada masa pemerintahan raja-raja Jawa. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, raja besar Mataram, konsep keselarasan dirangkum menjadi 3 buah pedoman yang disebut Tri Prasetya: Mamayu Hayuning Bawana, Mangasah Mingising Budi , Mamasuh Malaning Bumi.
- Idiom lokal Jawa yang mengatakan Mamayu Hayuning Bawana, menjadi sebuah landasan yang sangat penting dalam tataran ekologis maupun aspek lainnya.
- Hayu dalam konteks ke-Jawa-an, berdimensi pengolahan rasa, membutuhkan ketajaman spiritual dalam menimplementasikan kesadaran itu.
- Hayu dalam leksikologi Jawa memang berarti indah. Dalam filosofi jawa, hayu berdimensi spiritual. Perpaduan rasa, cipta dan karsa dalam tataran kehidupan manusia Jawa sangat dipengaruhi oleh olahing rasa, yang menjadi dasar perilaku dalam menentukan sikap.
- Mamayu secara leksikal memang mempunyai makna menjaga, tetapi secara lebih mendalam dalam, tataran filosofi Jawa, mempunyai makna yang lebih bersifat batiniah. Mamayu tidak mengubah tatanan yang sudah ada, tidak mengganggu keselarasan yang sudah ada, tidak menimbulkan konflik baru terhadap tatanan yang sudah berlaku baik.
- Hamemayu bukan sekedar menjaga, tetapi lebih berdimensi kestabilan aura positif sebagai sebuah ciptaan. Menjaga kestabilan sekaligus mempertahankan keindahan yang ada .Mamayu hayuning bawana merupakan sebuah kesadaran kontemplatif akan begitu pentingnya keselarasan makrokosmos dan mikrokosmos. Konsep ini berkaitan dengan tatanan kehidupan yang bertujuan untuk memperoleh keselarasan batin. Manusia akan bersikap hormat pada dogma leluhur yang ditabamkan lewat ajaran sinandhi. Manusia Jawa diajarkan untuk selalu bersikap prasaja, sikap jujur yang didasari pada keberlangsungan tatanan. Pembelokan pada tatanan dianggap tabu, menyalahi paugeran, yang secara taat diajarkan secara tutur dari generasi ke generasi berikutnya. Keteraturan siklus kehidupan manusia dalam interaksi sosial masyarakat tidak dapat dilepaskan dari beberapa elemen yang ikut menentukan parameternya.
- Hamemayu hayuning bawana adalah menjaga harmoni / keselarasan jagad cilik dan jagad gedhe. Dalam interaksi keseharian masyarakat dijabarkan menjadi lebih simpel yaitu: Tepa Salira (tenggang rasa).
- Mangasah mingising budi, butir kedua dari Tri Prasetya secara singkat merupakan perilaku yang didasarkan pada keluhuran budi yang dalam implikasinya dengan selalu mengedepankan kautaman.
- Mamasuh malaning bumi, merupakan sikap pro aktif dalam menjaga harmoni / keselarasan bumi yang sudah terinteraksi elemen satu dengan yang lainnya.
- Sultan Agung yang mencoba menerapkan prinsip-prinsip keselarasan hidup dalam kaitannya ikut memayu hayuning bawana, banyak mencipta paugeran yang ternyata sampai sekarang masih mampu dijadikan pola kepemimpinan yang berlandaskan keselarasan kosmis.
- Serat Sastra Gendhing , salah satu karya sastra masa Sultan Agung, menciptakan angger-angger yang sarat dengan tuntunan sikap hidup , ajaran untuk menjadi pemimpin yang baik, pemimpin yang mempunyai ketegasan dan tidak bersikap ragu serta adil sehingga dapat menciptakan negara yang tata tentrem kerta raharja.
- Dalam serat ini banyak diungkap tentang kapabilitas raja / pemimpin dalam membentuk karakter masyarakatnya. Raja / pemimpin harus terlebih dahulu dapat memposisikan dirinya sebagai panutan.
- Sultan Agung sebagai raja besar pada kerajaan Mataram II, mampu mencanangkan angger-angger yang dapat diterima oleh masyarakat bukan sebagai sebuah beban, tetapi merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Tipologi masyarakat menjadi lebih pada rasa penghayatan, akan sebuah kewajiban dalam mengekspresikan langkah menuju marifat, tanpa meninggalkan norma adat yang sudah mapan. Pengungkapan kepentingan dengan perilaku pemaksaan menjadi salah satu pemicu inharmonis keselarasan tersebut.
- Keraton Surakarta sebagai penerus dinasti Mataram, tak lepas dari visi dan misi yang pernah dicanangkan oleh Sultan Agung. Kearifan lokal dalam menciptakan konsep Mamayu Hayuning Bawana terlihat dalam kebijaksanaan raja dalam aturan-aturan yang dibuat, baik legal formal maupun dalam bentuk naskah / serat.
KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal atau bisa disebut juga senagai local wisdom dapat juga dipahami sebagai usaha manusia menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang lingkup tertentu.
Pengertian tersebut, disusun secara etimologi, dimana kearifan atau wisdom dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirnya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi disekitarnya.
Sebagai sebuah istilah wisdom sering juga diartikan sebagai 'kearifan/kebijaksanaan'. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi yang terbatas dengan sistem nilai yang terbatas juga. Sebagai ruang interaksi yang sudah dirancang sedemikian rupa yang didalamnya melibatkan suatu pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Pola interaksi yang sudah terancang tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat dimana seseorang dapat menyusun hubungan hubungan muka dengan muka dalam lingkungannya.
Sebuah setting dalam kehidupan seseorang yang sudah terbentuk secara langsung atau secara alami akan memproduksi nilai-nilai. Dari nilai-nilai tersebutlah yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tentang tingkah-laku mereka.