Angan-angannya melayang ke masa yang akan datang, ke masa Indonesia berbahagia dalam lingkungan kemakmuran bersana di Asia Timur Raya. Perasaan Amiruddin bergelora, berkobar-kobar seperti api yang menyala-nyala, sebab disiram minyak ... Cinta tanah air.
     Akan tetapi, perasaan itu terganggu pula sebentar, ketika pandangannya pada perempuan tadi. Amiruddin merasa heran, apa penyebab ia tidak terpedaya oleh satu pandangan. Padahal ia sudah bukan usia muda yang sedang memikirkan cinta.
     Dalam pertemanannya ia banyak bergaul dengan gadis-gadis di bandung. Akan tetapi ia belum pernah tergoda seperti memandang perempuan itu. Paras perempuan itu tidak bisa hilang dari ingatannya, bahkan berbagai pandangan indah pada malam itu tidak ada yang menarik hatinya.
     Ketika di pasar malam, Amir pergi ketempat jahit. Tanpa disengaja ia bertemu dengan perempuan yang beradu mata dengannya di dalam trem. Ia pun bersama-sama memesan saputangan untuk diberikan nama, ia pun mengetahui nama perempuan tersebut. Ketika perempuan itu hendak mengambil saputangannya, ternyata sudah dibayar oleh Amir.Â
     Keesokan harinya, Amir pergi ke sebuah kedai bersama Harjono, mereka memandang ke layar putih yang sedang memutar film perang yang sangat dahsyat. Kemudian ada ada lelaki separuh baya datang menghampiri kursinya. Lelaki paruh baya itu duduk disamping Amir. Lelaki paruh baya itu bernama Soewondo, ia merupakan sahabat ayah dan ibu Amir. Mereka pun saling berbincang, dan pak Soewondo mengundang Amir untuk datang kerumahnya.
     Pada pagi hari ia pergi ke rumah pak Soewondo yang kemarin bertemu. Ketika dirumah pak Soewondo, ia dikenalkan dengan istrinya yang bernama Sutinah. Pak Soewondo bercerita tentang ayahnya amir dan peristiwa penjajahan belanda, tidak lama kemudian ada seorang gadis berpakaian kepanduan KBI dan bersepeda masuk ke dalam pekarangan. Gadis itu ternyata Astiah, ia menghampiri pak Soewondo dan istrinya, kemudian memberikan hormat kepadanya.Â
     Amir sebagai terpaku dikursi. Tiada bergaya lagi, hilang kekuatannya. Berdebar-debar hatinya dan peluh dingin merengat di dahinya. Gadis tadi masuk ke dalam rumah dan memandang kepada tamu. Mau tidak mau Amir pun mengangkat kepala dan memberi hormat. Gadis itu pun membalas hormatnya. Beberapa lama kemudian Amir pamit hendak pulang, Kemudian Nyonya Soewondo memberikan bingkisan sebagai oleh-oleh untuknya.
     Sesampainya dirumah ia masuk ke dalam kamarnya dan segera membuka bungkusan kecil. Ada didalamnya saputangan yang bermerek namanya, serta secarik kertas yang berisi surat dari Astiah. Kemudian Amir mengirim surat kerumah pak Soewondo, dan menitipkan salamnya kepada Astiah. Astiah pun bercerita kepada orang tuanya, bahwa ia sebelumnya sudah bertemu dan mengenal Amir.Â
     Beberapa lama kemudian, pak Soewondo dan istri datang ke rumah Amir di Bandung. Mereka datang untuk melepas rindu kepada ibu dan adiknya Amir. Tiada beberapa lama, Nyi Zubaidah menuntut anaknya hal akan beristri. Karena rahasianya telah diketahui oleh ibunya, yaitu tentang gambar Astiah. Kemudian dengan segera Nyi Zubaidah mengutus orang ke rumah Mas Soewondo. Akhirnya diperoleh keputusan demikian: Orang tua Astiah setuju akan lamaran itu, apabila Astiah suka.
     Pada hari minggu Amir pergi ke Jakarta, kemudian ia pergi ke rumah pak Soewondo. Pertemuan itu sangat memuaskan hati kedua belah pihaknya. Mereka sudah dapat mengukur dalam dangkal batin masing-masing.Â
     Sebulan kemudian, ia mengajak Astiah pergi untuk melihat-lihat kota. Sepekan kemudian, Astiah dimintai oleh Nyi Zubaidah akan menjadi menantunya. Permintaan itu diterima dengan senang hati dihadapan keluarga dan sanak saudara. Pertunangan ini takkan lama, karena akan segera disusul dengan pernikahan.