Mohon tunggu...
Siti Aisah
Siti Aisah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Aktif Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Perempuan Berpergian tanpa Mahram: Norma Agama atau Patriaki Belaka?

5 November 2023   16:15 Diperbarui: 5 November 2023   16:20 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan seputar peran perempuan dalam masyarakat dan batasan-batasan yang  mengelilingi kebebasan mereka telah menjadi perdebatan yang berkelanjutan di berbagai komunitas dan ranah pemikiran. Kebijakan perempuan yang berpergian tanpa mahram menjadi salah satu isu yang mencolok dan mengundang beragam perspektif. Dalam konteks Islam, aturan mengenai perempuan yang berpergian tanpa mahram sering dipersepsikan sebagai bagian dari norma agama yang melindungi dan menghormati perempuan. Di sisi lain, banyak perempuan yang menganggap bahwa hal tersebut menjadi bentuk kontrol terhadap perempuan yang dapat mengurangi kebebasan individu mereka di dewasa ini.

Namun sepertinya pembahasan ini belum bisa menjawab kekeliruan yang ada. Seringkali orang yang menolak dan tidak mentaati norma agama tersebut dikaitkan dengan golongan Feminisme dan diartikan sebagai mengikuti Praktik Yahudi karena Feminisme lahir di Kebudayaan Barat dan hal ini diperkuat karena adanya hadits Nabi Muhammad SAW. yang berbunyi " Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk diantara mereka" (H.R Ahmad Ibn Hambal). Sebetulnya, kebanyakan perempuan keberatan hingga menolak bentuk kebijakan tersebut karena bertentangan dengan kebebasan individu mereka dalam melakukan aktivitas di Bidang pendidikan, pekerjaan, dan lainnya.

Agama Islam amat sangat menjaga perempuan hingga islam mensyariatkan perempuan harus di dampingi mahramnya jika ingin berpergian bedasarkan syarat dan ketentuan shafar yang sudah ditetapkan para Ulama. Agama membuat kebijakan ini bukan semata-mata ingin mempersempit kebebasan perempuan, melainkan ada beberapa hal alasan sehingga kebijakan ini ditetapkan. Alasan yang pertama ialah perempuan merupakan salah satu makhluk yang lemah atau rentan. Dalam video ceramah ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, Lc.M.A yang di upload oleh chanel Taman Surga tentang Wanita berepergian tanpa mahram menjelaskan bahwasannya Rasulullah SAW. pernah berkata  "Aku benar-benar menimpakan kesusahan kepada kalian dalam urusannya dua hak makhluk yang lemah yakni anak yatim ( belum baligh ) dan perempuan".  Tidak hanya agama, Negara pun mengkategorikan perempuan sebagai salah satu makhluk rentan atau lemah dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2015-2019. Maka untuk menghindari kekerasan, baik agama dan negara mengeluarkan kebijakan tersebut. Alasan yang kedua ialah untuk melindungi wanita dari fitnah.

Namun dipikir lebih panjang, tentunya hukum ini kurang sejalan dengan perkembangan zaman. Banyak dari perempuan, khususnya yang beragama islam harus berpergian jauh untuk bekerja, menjalankan pendidikan, dan lain-lain.  Lalu apakah mereka berdosa?

Dalam hadits shahih riwayat Tirmizy : 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, Janganlah seorang wanita berpergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya

Apabila kita hanya mematokan diri kita pada hadits diatas, tanpa membandingkan dengan hadits-hadits yang lain, maka kesimpulannya menjadi sederhana, yaitu pokoknya seorang wanita yang berpergian tanpa mahram hukumnya haram. Lalu bagaimana jika ada seorang muslimah yang berasal dari keluarga fakir miskin dan harus menafkahi anggota keluarganya yang sudah tidak bisa bekerja? Jika ia hanya mematokan dirinya pada hadits diatas ia akan terus menganggur, jika ia menganggur ia tak dapat makan, jika ia terus menerus tidak makan ia akan sakit, jika ia sakit maka akan sulit beribadah sehingga hal tersebut membuat dzalim terhadap dirinya sendiri.

Sudah seharusnya hukum agama resisten terhadap perkembangan zaman. Dalam sebuah 

Hadits riwayat Bukhari diceritakan :

Dari Adiy bin Hatim berkata "Ketika aku sedang bersama Nabi SAW tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi beliau mengeluhkan kefakirannya, kemudian ada lagi seorang laki-laki yang mendatangi beliau mengeluhkan perampok jalanan". Maka belia berkata, "wahai adiy, apakah kamu pernah pergi ke Al-Hirah?" aku jawab, "belum pernah aku melihatnya namun aku pernah mendengarnya". Beliau berkata, "Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Hirah hingga melakukan thawaf di ka'bah tanpa rasa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah".

Jika kita kaji di Peta, jarak dari Hirah ke Makkah ialah 45 Km dan untuk bisa sampai ke dengan berjalan kaki diperlukan 40 hari lamanya. Bayangkan perempuan menempuh perjalanan 45 Km seorang diri tanpa rasa takut begal, penculik, dan perampok yang hanya iatakuti hanya Allah SWT. Maka sampailah kita pada jawaban atas kekeliruan pembahasan ini dengan membandingkan dua Hadits diatas, bahwa saat keadaan sudah merasa aman, tidak ada begal, penculik, atau perampok yang menyerang, maka perempuan dibolehkan berpergian tanpa mahram. Namun tetap adanya izin kepada orang tua ataupun suami sebagai bentuk taat kepada Allah SWT.

Lalu mengapa masih banyak yang keliru akan pembahasan ini?

Namun sayang sekali, meski sudah terdapat Hadits yang menjelaskan dan membolehkan Hukum Agama ini, masih banyak dikalangan Ustadz dan Guru kurang membahas persoalan penting ini sehingga informasi ini sulit diterima oleh muslim-muslimah lainnya yang berstatus awwam. Selain itu, masih adanya pemahaman keliru terhadap porsi dan kedudukan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki. Pemahaman ini didominasi pula dengan Patriaki. Sebetulnya, patriaki sendiri sudah ada sejak dulu dan sampai sekarang masih ditanamkan, misalnya dalam sebuah buku belajar membaca anak-anak yang selalu tertulis bahwa pekerjaan perempuan hanya di dalam rumah seperti " Ani membantu Ibu Memasak" dan pekerjaan laki-laki di luar rumah seperti " Andi membantu Ayah di Garasi" yang kemudian akan dibaca anak-anak dan secara tidak langsung ter-setting dalam pikiran nya sampai dewasa. Memang benar, Allah lebih menyukai wanita yang berdiam dirumah di banding sering berpergian. Tidak heran pula jika pandangan Muslim terhadap wanita yang sering di dalam rumah dikategorikan sebagai wanita yang baik dan wanita yang sering keluar rumah adalah wanita yang nakal. Tentunya kita tidak bisa mengklaim bahwa hal tersebut adalah fakta, karena kita tidak tau apa yang sedang di usahakan tiap perempuan sampai ia harus berpergian sendirian.

Fatalnya, pemahaman kegamaan yang terdominasi nilai-nilai patriaki ini banyak dianut oleh mayoritas umat islam, khusunya di Indonesia. Tidak sedikit dalam masyarakat umumnya menempatkan perempuan pada posisi yang subordinatif dan marginal sehingga masih banyak perempuan yang belum bisa mendapatkan akses pendidikan, pekerjaan yang sesuai. Karena bagaimana jika ingin mendapatkan pendidikan atau pekerjaan yang sesuai jika lagi-lagi wanita disudutkan dengan kalimat "Perempuan Tugas nya dirumah saja".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun