"Apa yang terjadi pada anakku?"
Doni tidak ditabrak. Ia hanya tersungkur, karena ditembak seseorang dari belakang. Ia benar-benar sudah mati? Akankah ia mati? Aku berdiri tegak, ketika tidak ada lagi suara yang mengejarku. Napasku tersendat. Sema orang membuatku takut. Aku tidak ingin membuat orang repot dengan hidupku. Aku merasa khawatir dengan semua orang yang mengkhawatirkanku... Doni, dia yang menerimaku... Menerima orang aneh sepertiku.
***
2019
"Anda mendapatkan tumor di balik pangkal leher Anda...," kata dokterku. Aku tersenyum, lalu mengangguk. Ia tahu, kalau aku kurang sanggup mendengar penyakit apa yang akhirnya mendotrinku untuk segera menghadapi kematian. Ia mendapati kedua orang tuaku menangis dengan berita yang menghalau kebahagiaan kami di saat ulang tahunku yang kesembilan-belas besok.
"Ulang tahunku akan menjadi hari kematianku." Tidak kusangka aku bisa tertawa di tengah kesedihan mereka. "Aku ingin bermain basket lagi, Ibu...," aku mendesah, "setidaknya kematianku akan terasa lebih ringan dengan keringat yang meleburku, ketika aku dibakar." Ibu terdiam. Namun, tidak lama kemudian dia menangis. Tangisnya meledak di dalam pelukan Ayah. Saatnya aku memilih... Pria yang kucintai... Ibu atau Ayah... Atau diriku sendiri... Yang menerimaku... Diriku sendiri... Karena orang tuaku... Karena cinta bisa melupakanmu dengan kematian... Cinta yang diada-adakan membuatmu begitu yakin, bahwa kematian tidak akan mendatangimu... Kematian akan mendatangimu... Dengan cekikan... Penyiksaan... Hentikan jeritan ini... Bantu aku bangkit... Aku merasa kesepian selama hidupku, hanya karena aku aneh... Aku berbeda... Aku berpenyakitan... Di dalam tubuhku... Aku pun sendiri berbeda. Aku mengontrolnya sendiri. Dalam diam... Bersama Tuhan dan bola basket...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H