"Tidak mungkin..." Doni mendesah, "Kamu tidak mungkin melakukan itu."
"Kamu percaya dengan mereka atau denganku...," kata Tesa di sela napasnya yang terisak air mata. Dia begitu lemas, karena sekujur tubuhnya dilempari batu. Bahkan dia sekarang dipanggil anjing jalang, karena tuduhan yang menimpanya.
"Kamu ingin kubelikan minum?"
"Tidak usah," tolak Tesa dengan kerasnya.
Kematian akan membawamu hidup. Tidak ada yang begitu mementingkanmu di dunia ini. Untuk apa kau berusia panjang, sendangkan kau tidak pernah dihargai orang lain...
Aku suka denganmu, Tesa. Semoga kau mengerti... Tesa akhirnya pingsan. Wajahnya memucat. Bibir keringnya meninggalkan banyak kekhawatiran pada diri Doni. Laki-laki itu mondar-mandir di depan pintu UKS. Sekujur tubuh Tesa diperban. Dia memang pantas merasakan itu. Dia begitu sakit. Hatinya tidak lagi menjadi kendala, raganya pun seperti itu... Namun, bagaimana dengan pikirannya yang selalu ia sembunyikan dari Doni. Terlahir dari seorang Hindu, berdarah Yahudi, beragama Islam, dan berkawan dengan Abram..., sahabat basketnya semasa SMP, yang beragama Kristen... Ia bingung. Pikirannya... Penyakitnya... "Pernahkah aku menemukan perempuan terhebat dan terkuat selain Tesa sebelum ini? Dia berbeda..."
Abram hanya mengangguk. Pria yang sangat cerewet itu mungkin harus bertanggung jawab, karena selama ia berkawan dengan Tesa, ia selalu menceritakan pengalamannya selama ia berada di Roma waktu itu. Dia menceritakan kebanggaannya dengan sangat riang. Kadang Doni merasa sangat kesusahan melihat senyum yang menggantung di wajah Tesa. Dia sangat baik, walaupun dia tetap rapuh di dalam tubuhnya yang tegar. "Siapa kira Tesa akan pingsan seperti ini? Anak ini memang tidak mau minum obat, kamu tahu? Bisa saja dia tidak akan mampu bertahan, kalau dia hanya terdiam seperti ini. Aku khawatir dengannya..."
Aku tidak pernah menemukan sesuatu yang lebih kuat dibandingkan diam...
***
Toronto, Kanada
2006