Mohon tunggu...
Siti Nuraini
Siti Nuraini Mohon Tunggu... Diplomat - Hanya seorang hamba

Baru belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Heritage

27 September 2019   18:41 Diperbarui: 27 September 2019   18:50 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mataram, Nusa Tenggara Barat

2019

"Kematian akan membawamu memasuki Neraka," sergah Sarah. Dia mengatakan sesuatu dengan cukup serius. Semua temannya tersenyum dan menahan tawa. Dia melototi teman-temannya dari balik kaca matanya. Dia mendeham. Bibir tipisnya yang begitu manis dengan kulit putih mulus dengan tahi lalat di bawahnya membuatnya tampak seperti perempuan cerewet namun manja. Dia adalah pemimpin klub basket waktu SMP. Namun, akhirnya dia berhenti bermain, karena kakinya pernah patah, ketika hendak melemparkan 3 poin di atas lantai yang basah, karena keringat, sebelum kejuaraan.

"Kamu tidak perlu mengoyak wajahmu dengan begitu seramnya, Sarah," tawa Rama di belakangnya. Ia sedikit memainkan rambut Sarah dengan ceroboh hingga Sarah menjerit. Rama pun tidak henti-tentinya mengganggu Sarah dengan mengikatkan rambutnya dengan tali nilon. Sarah pernah berjanji, kalau dia akan menjadi lebih sabar lagi, karena paham idenya yang semakin mengganas. "Aku belajar filsafat itu bukan, karena aku penasaran. Aku ingin menjadi dokter untuk banyak orang gila yang mencoba menggugurkanku di dalam konsistensi berpikirku."

Semua menutup mulutnya. "Bahasamu kian tinggi sekali, Sarah," sahut Rama kemudian. "Ke mana perginya cewek tomboi yang kukenal dulu? Seharusnya kamu pentingkan timmu yang sulit move on, semenjak kamu mencoba untuk mengabaikan semua pesan singkat mereka."

"Agama itu tidak baik, Sarah," celoteh Abram tiba-tiba, "kita tidak bisa hidup hanya karena kita berpikir tentang dunia. Coba deh lihat mereka yang sedang pacaran di sana." Ia menunjuk ke arah sekelompok orang yang sedang meramaikan kedai kopi sambil tertawa-tawa. "Mereka sama sekali tidak terlihat berpacaran. Bahkan kamu tidak tahu, kalau ada yang homo seksual di antara mereka." Rama tidak bisa menahan tawanya.

"Apa kamu bilang? Homo seksual?" Dia pun memeluk perutnya yang mengejang, karena tertawa terbahak-bahak. "Kamu ini tidak pernah tidak membuatku bahagia, Abram."

"Tuh kan... Kamu ini homo, kan?" Rama semakin mengeraskan suara tertawanya. "Kamu ini ya. Kadang aku suka takut sama kamu, kalau kamu sampai jadi begini. Apa yang akan dikatakan Ayah dan Bunda-mu sedang anaknya tergila-gila dengan seorang pria maskulin sepertiku..."

"Kamu maskulin?" remeh Sarah. Abram hanya terdiam. "Kamu tidak pernah merasa lebih baik dari menggunakan kosmetik itu?" Sarah membungkam. Berusaha menahan tawa. "Kamu ini lebih dari sekadar wanita tulen. Kamu ini orang bodoh! Pria maskulin dengan pilihan make up yang lebih beragam dibandingkan yang perempuan punya."

***

"Kamu seorang lesbian, Tesa?" Abram membungkamkan mulutnya. Semua tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun