Biar kusapu air matamu..
Kududuk di dekat ayah yang tiada henti memperbaiki radio tua. Secangkir kopi mengepul melawan dinginnya embun pagi ini. Petugas koran dengan sepeda ontel di depan rumah mengintip di antara terali gerbang berkarat yang dililit semak belukar. Ia meletakkan koran harian itu di tempat, di mana ia bisa menyelipkannya. Kutersenyum, dan entah mengapa pagi ini begitu hangat bagiku.
"Yah, boleh kucicip kopinya?"
"Tentu."
Seserut kopi itu masuk ke mulutku, dan mulai membakar dinding-dinding di dalamnya. Aku menyembunyikan pekikan dari amukan kopi yang diseduh dengan air yang tidak lagi mendidih saking panasnya.
"Duh, Yah, ini bukan kopi!" Ayah menengok ke arah cangkir yang masih menempel di tanganku. Beliau tersenyum.
"Lalu, apa?"
Ayah melihatku seperti biasanya. Seperti gadis kecil. Dari balik tirai dapur Ibu akhirnya datang membawakan sepiring donat susu, tetapi anehnya beliau berdandan. Tidak seperti biasanya. Ayah tentu saja tersenyum melihat Ibu seperti itu, tetapi kok aneh ya... Ayah, kenapa Ayah tidak mengantar Ibu? Memangnya Ibu mau ke mana?
"Bu," aku bangkit dari kursi dan menyusulnya, "Ibu mau ke mana?"
"Nak," beliau sekilas menatap Ayah yang juga sudah bangkit dari kursi, "Ibu... Ibu harus pergi ke suatu tempat."
"Tidak dengan Ayah? Ke mana?"