Mohon tunggu...
Siti Dewani
Siti Dewani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi - Universitas Mercu Buana

Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si. Ak., Nama: Siti Dewani, NIM: 55522120009, Mata Kuliah: Manajemen Pajak, Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Financial

TB1_P552120001 - MANAJEMEN PAJAK (2A2556AA)

13 Oktober 2023   02:40 Diperbarui: 13 Oktober 2023   02:57 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TB1_Fenomena Manajemen Tatakelola Pada Pemotongan PPh; Paradoks Antara Kepatuhan, dan Penghindaran Pajak

Seiring berjalannya waktu setiap negara akan melakukan terobosan terbaru untuk membuat kehidupan warganya agar lebih baik. Salah satunya dengan terus melakukan pembangunan secara menyeluruh baik sektor pelayanan maupun infrastruktur. Untuk mendukung keberhasilan tujuan tersebut diperlukan kerjasama dari berbagai pihak salah satunya warga negara itu sendiri. Warga negara dapat mengambil peran dengan cara menyetorkan pajak kepada negara yang nantinya atas setoran pajak tersebut akan dikelola oleh negara yang nantinya digunakan untuk menyejahterakan keberlangsungan kehidupan warganya secara merata.

file pic.2 - data BPS
file pic.2 - data BPS

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik diatas, di Indonesia Pajak Penghasilan (PPh) berkontribusi paling besar dalam sumber penerimaan negara. Melihat dari adanya potensi penerimaan pajak yang besar dari sektor PPh, maka dalam pengenaan pajak penghasilan pemerintah terus melakukan pengembangan baik dari segi sistem maupun regulasinya. Sistem pemungutan pajak di Indonesia sudah melewati beberapa kali mengalami perubahan terhitung sejak reformasi perpajakan pada tahun 1983 yakni pemungutan Pajak Penghasilan yang beralih dari Official Assessment System menjadi Self-Assessment System. Dengan diubahnya sistem pemungutan menjadi Self-Assessment System. Artinya, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban perpajakannya secara mandiri berlandasan kejujuran dan kesadaran dari wajib pajak itu sendiri dan tidak ada campur tangan fiskus dalam menentukan besarnya pajak terutang selama wajib pajak tidak menyalahi peraturan yang berlaku.

Untuk mengurangi resiko adanya ketidakjujuran, ketidakpatuhan dan ketidaktahuan dari wajib pajak, maka dilibatkan pihak ketiga (lawan transaksi) dalam melakukan pemungutan pajak yang disebut sistem PPh pemotongan pemungutan (PPh POT PUT) atau withholding tax. Sistem withholding tax muncul adanya pihak ketiga yang diberi kewenangan untuk memotong dan memungut pajak yang terutang (Mardiasmo, 2016).

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia mempunyai lebih banyak jenis pajak sehingga dalam penerapan pajak PPh Potput tersebut, cara perhitungan dan besaran tarif pajaknya bisa berbeda, yang meliputi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4(2) dan PPh Pasal 15. Fenomena yang sering dihadapi wajib pajak badan usaha dalam mengelola pajak penghasilan adalah pengumpulan bukti potong dari suatu transaksi. Beberapa wajib pajak mengalami kendala dalam mengumpulkan bukti potong pajak penghasilan, hal ini dapat menyebabkan risiko pada arus kas perusahaan, sehingga perusahaan harus bayar pajak lebih awal dengan jumlah yang besar. Untuk itu manajemen tatakelola pada pemotongan pajak sangat penting bagi wajib pajak agar bukti potong pajak dapat terkoordinir dengan rapih sehingga memudahkan dalam melakukan rekonsiliasi pajak secara akurat.

Apa itu Sistem PPh Pemotongan Pemungutan (PPh POT PUT) atau Withholding Tax?

Dari beberapa sumber, pengertian withholding tax adalah:

Menurut Wikipedia: Withholding tax adalah Pemotongan pajak yang juga disebut retensi merupakan suatu cara yang disyaratkan oleh pemerintah bagi pihak pembayar dari suatu pos pendapatan untuk menahan atau memotong pajak dari pembayaran dan membayar pajak tersebut kepada pemerintah.

Menurut Dictionary of Tax Terms (D. Larry Crumbley, et al., 1994), Withholding tax is the amount of income tax an employer is required to withhold from an employee's salary when the salary paid. The amount withheld is a credit against the income taxes the employee the amount must pay on his or her taxable income for the taxable year.

Menurut Mika Casanegara de Janstcher (Darussalam dan Danny Septriadi, 2016), Withholding tax secara tradisi hanya diterapkan terhadap pemotongan atas gaji, bunga, dan dividen, kemudian diperluas untuk memotong penghasilan dari jasa professional, sewa dan terhadap semua penghasilan dari usaha lainnya.

Menurut Peter S. Griffth dalam buku reading on Income Tax Administration (Darusalam dan Danny Septriadi, 2006) Pemotongan pajak dapat dilakukan atas pembayaran gaji dan pembayaran lainnya atas penghasilan modal, tetapi tidak mungkin dapat merancang sistem withholding tax yang memuaskan atas penghasilan dari perkebunan, penghasilan usaha dan penghasilan investasi, dan jasa professional.

Dengan demikian pengertian withholding tax dari beberapa sumber adalah sistem pemotongan/ pemungutan pajak atas penghasilan tertentu yang dilakukan oleh wajib pajak yang ditunjuk pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan pepajakan yang berlaku. Dimana wajib pajak yang ditunjuk tersebut melakukan pemotongan/ pemungutan dengan persentase tertentu atas pembayaran yang dilakukannya dan berkewajiban untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang dipotong/ pungutnya kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Atas bukti pemotongan dan/ pemungutan yang dilakukan oleh wajib akan menerbitkan bukti potong untuk menyatakan jumlah pajak yang dipotong oleh pemberi penghasilan atas jumlah penghasilan yang diberikan kepada penerima penghasilan. Sehingga bukti ptotong tersebut dnantinya dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Sedangkan pemungutan adalah jumlah pajak yang dipungut pleh wajib pajak/ pihak yang ditunjuk oleh pemerintah atas sejumlah pembayaran yang berpotensi menimbulkan penghasilan kepada penerima pembayaran, misalnya PPh Pasal 22.

Withholding tax (Potput) merupakan jalan pintas bagi pemerintah untuk memungut pajak. Karena wajib pajak ditugaskan untuk melakukan pemungutan dan pemotongan pajak atas pihak lainnya, sehingga pemerintah tidak memerlukan upaya dan biaya besar dalam mengumpulkan pajak. Konsep sistem withholding tax tidak bisa disama artikan dengan self-assessment. Lantaran self-assessment memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, setor, dan lapor kewajiban perpajakannya sendiri, bukan kewajiban perpajakan pihak lain. Perlu diketahui bahwa sistem withholding tax di Indonesia dikenakan terhadap seluruh penghasilan dari kegiatan usaha, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-70/PJ/2007.

Dalam konteks Undang-Undang Pajak Penghasilan , sebagaimana tercantum dalam UU Nomor Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, withholding tax diperlakukan sebagai:

  • Angsuran pembayaran pajak (uang muka pajak)
  • Pemungut pajak final.

Tatakelola withholding tax dapat ditemukan dalam berbagai pasal dalam UU Pajak Penghasilan, diantaranya hanya berlaku untuk jenis transaksi tertentu saja, seperti :

  • Transaksi yang pengenaan pajaknya dengan tarif final yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh.
  • Penghasilan bagi karyawan yang diatur dalam Pasal 21 UU PPh
  • Pajak penghasilan yang diperuntukan untuk Impor, Pembelian Barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD, Penjualan hasil produksi tertentu yang diatur lebih lanjut dalam dalam pasal 22 UU PPh.
  • Pembayaran bunga, dividen, royalty dan jasa-jasa wajib pajak dalam negeri yang lebih lanjut diatur dalam pasal 23 UU PPh.
  • Pembayaran bunga, dividen, royalty dan jasa-jasa wajib pajak luar negeri yang lebih lanjut diatur dalam pasal 26 UU PPh.

Tatakelola dilakukan melalui pemotongan/ pemungutan oleh wajib pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak yang menerima penghasilan. Serta, melakukan penyetoran atas  pemotongan tersebut kepada kas negara dan mencatatkannya dalam pembukuan wajib pajak. Namun untuk perhitungan PPh 21 wajib pajak orang pribadi dan pajak penghasilan badan tetap menggunakan self-assessment system.

Undang-undang pajak mengamanatkan kepada pemerintah untuk memperluas penerapan objek pajak withholding tax atas penghasilan usaha dalam sistem pajak penghasilan di Indonesia dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-70/PJ/2007, baik dalam hal jenis pengasilannya, besaran tarif final dan tidak finalnya. Berdasarkan buku yang berjudul "Kebiijakan Dan Administrasi Schedular Taxation Konsep Dan Implementasi Pemotongan Dan Pemungutan Pajak Penghasilan dan Perencanaan Perpajakannya Terkini" yang ditulis oleh Pohan (2022), Di Indonesia tatakelola dalam pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak Potput menimbukan beberapa permasalahan yang masih belum terselesaikan, antara lain:

  • Pemotongan/ pemungutan PPh mempunyai banyak jenis dan tarif yang berbeda. PPh Potput harus diterapkan dengan benar terutama oleh pihak yang memberikan penghasilan atau yang seharusnya memotong karena kesalahan pemotongan PPh dapat menimbulkan sanksi perpajakan.
  • PPh Pasal 4(2) yang sering disebut PPh Final pada dasarnya dibuat untuk memudahkan pembayaran PPh bagi wajib pajak, tetapi hal itu bisa menimbulkan permasalahan keadilan karena wajib pajak tidak dapat melakukan kompensasi terhadap kerugian usaha pada masa lalu.
  • Sulitnya penggolongan jenis PPh Potput dapat membuat wajib pajak salah menerapkan tarif PPh yang membuat wajib pajak terancam sanksi perpajakan berupa kenaikan hingga denda. Karena itu, wajib pajak harus lebih berhati-hati dalam melakukan perencanaan atas PPh Potput, dan jika diperlukan kepastian hukum dari DJP (Private Ruling) atas setiap transaksi bisnis yang menjadi grey area untuk menghindari perbedaan  pendapat yang dapat menimbulkan pengenaan sanksi perpajakan di kemudian hari.
  • Adnanya perbedaan pendapat tentang perlakuan tarif PPh Final Pasal 4(2) antara pelaksana konstruksi dan pemberi jasa konsultasi atas konstruksi dapat menimbulkan kesalahan dalam perhitungan dan pemotongan pajaknya. Sementara itu, dengan tarif yang sama untuk jasa konstruksi juga terdapat di PPh Pasal 23 (non final). Pembuatan perincian pembayaran oleh wajib pajak yang membedakan antara jasa pelaksana konstruksi dan jasa konsultasi atas konstruksi akan sangat membantu mengklarifikasi perbedaan tersebut dalam pemerikasaan pajak di kemudian hari.

Sistem withholding tax diberlakukan untuk meminimalisir timbulnya risiko atas tatakelola pemungutan yang ditimbulkan atas pemungutan pajak penghasilan yang lain, withholding tax ini dapat memberikan keuntungan baik dari sisi fiskus maupun wajib pajak, dari sisi fiskus turut meringankan pekerjaan karena secara tidak langsung tugas pemungutan maupun pemotongan pajak sudah diwakilkan oleh pihak ketiga itu sendiri sebagai perwakilan dari wajib pajak, dan dari sisi wajib pajak dapat meminimalisir compliance cost nya karena sebagian kewajibannya sudah dilaksanakan oleh pihak ketiga, sehingga sejalan dengan konsep efisiensi yang juga berkaitan erat dengan konsep revenue productivity. Kemudian sistem withholding tax diantarnya memperbesar potensi ketepatan waktu dalam penyetoran pajak, kemudahan, kesederhanaan, dan biaya pemungutan pajak yang lebih murah. Dikarenakan kondisi rasio Perbandingan jumlah fiskus tidak sebanding maka sistem ini sangat memberikan solusi agar semua pajak yang seharusnya terutang dapat terdeteksi. Keuntungan dengan adanya sistem withholding tax juga dirasakan oleh pihak ketiga yakni diwaktu jeda gajian dan penyetoran pajak uang dapat diputar untuk kelancaran cashflow Perusahaan.

Namun sistem withholding tax juga tidak luput dari kekurangan yakni menimbulkan beban administrasi tambahan bagi wajib pajak mengingat sistem withholding tax ini mengandalkan pihak ketiga. Pihak ketiga dalam sistem ini juga harus menanggung risiko jika terjadi kesalahan dalam hitung, potong, pungut, setor dan lapor pajak (Darussalam, 2018).

Sejatinya, tatakelola withholding tax bisa di justifikasi mengingat bahwa sektor pajak di Indonesia masih berkutat dengan persoalan:

  • Kepatuhan pajak yang rendah
  • Tingginya shadow economy
  • Keterbatasan Informasi yang dimiliki oleh otoritas pajak

Akan tetapi penerapan tatakelola withholding tax seringkali juga tidak bebas dari persoalan dan harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian. Seiring dengan berjalannya waktu, tatakelola withholding tax yang berlaku di Indonesia terus mengalami perluasan. Terutama, terkait dengan objek jenis penghasilannya yang semakin banyak menyasar kepada jenis penghasilan atas kegiatan usaha lainnya. Serta, peluasan dalam hal sifatnya (Final maupun tidak final), tatakelola pemotongan dan pelaporan, variasi besaran tarifnya, maupun persebaran aturannya. Secara umum, hal ini menciptakan ketidakmudahan bagi wajib pajak untuk memahami dan mengadministrasikannya dengan baik (Darussalam, 2018).

Apa Saja Jenis-Jenis Penghasilan yang Termasuk Dalam Withholding Tax?

Merujuk pada Undang-Udang Pajak Penghasilan, subjek yang dipotong pajak penghasilan atau penerima bukti pemotongan adalah sebagai berikut:

  • Orang Pribadi: Subjek orang pribadi ini termasuk jenis subjek pajak dari warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
  • Badan: Merupakan subjek pajak dalam bentuk badan usaha atau perusahaan.
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT): Ini merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

Pemerintah telah menentukan jenis-jenis penghasilan yang kewajiban perpajakannya dilakukan dengan menerapkan sistem withholding tax, baik yang diperlakukan sebagai kredit pajak maupun pajak final. Berikut jenis-jenis penghasilan yang dikenakan withholding tax berdasarkan pasal-pasal dalam undang-undang Pajak Penghasilan:

1. Pemotongan PPh Pasal 21

Pengenaan PPh Pasal 21 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri, yaitu penghasilan berupa gaji, bonus, upah, honorarium, tunjangan, serta hasil usaha lainnya dengan dalam bentuk apapun. Pemotong PPh Pasal 21 adalah pihak yang memberikan penghasilan (pemberi kerja) kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri terkait pekerjaan (Pekerja). PPh Pasal 21 akan selalu berkaitan dengan PPh Pasal 26 dalam hal pajak penghasilan wajib pajak pribadi karyawan/ pegawai maupun pekerja bebas. Bedanya, PPh Pasal 26 adalah pajak yang dikenakan pada Wajib Pajak Luar Negeri atau Warga Negara Asing sehubungan dengan penerimaan penghasilan di Indonesia. Merujuk Pasal 2 ayat (1), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan, pemotong dan/atau pemungut PPh harus dibuat berdasarkan:

  • Bukti Pemotongan PPh atas pemotongan PPh yang dilakukan
  • Bukti Pemungutan PPh atas pemungutan PPh yang dilakukan
    file pic.3 - bupot kredit pajak
    file pic.3 - bupot kredit pajak

Bukti potong atas pemotongan PPh Pasal 21 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi wajib pajak orang pribadi (pegawai) yang menerima penghasilan.

2. Pemungutan PPh Pasal 22

Pengenaan PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dibebankan kepada badan usaha yang melakukan kegiatan ekspor, impor, re-impor, dan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Selain itu pemungut PPh Pasal 22 terdiri dari bendahara pemerintah, BUMN atau instansi yang teah ditunjuk oleh pemerintah terkait dengan pembayaran atas penyerahan barang. Badan-badan tertentu terkait dengan penghasilan dari kegiatan di bidang impor, serta wajib pajak badan terkait pembayaran dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong mewah.

file pic 4 - simulasi perhitungan PPh Psl 22 Impor
file pic 4 - simulasi perhitungan PPh Psl 22 Impor

Bukti potong atas pemotongan PPh Pasal 22 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi wajib pajak badan yang menerima penghasilan.

file pic.5 - bupot kredit pajak impor
file pic.5 - bupot kredit pajak impor

3. Pemotongan PPh Pasal 23

Pengenaan PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari pemanfaatan modal (dividen, bunga, dan royalti), jasa (sewa dan imbalan jasa), atau penyelenggaraan kegiatan (hadiah, penghargaan, dan bonus) selain yang dipotong PPh Pasal 21 dan jasa lainnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008.

Bukti potong atas pemotongan PPh Pasal 23 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi wajib pajak badan yang menerima penghasilan.

4. Pemotongan PPh Pasal 26

Pnegenaan PPh Pasal 26 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan wajib pajak luar negeri atas penghasilan yang tidak berasal dari menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT yang bersumber dari Indonesia. Pemotongan PPh Pasal 26 bersifat final, atau tidak dapat digunakan sebagai kredit pajak, kecuali ditentukan lain.

5. Pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Pengenaan Pasal 4 Ayat (2) adalah pajak yang dipotong dari penghasilan dengan perlakuan tersendiri yang diatur melalui peraturan pemerintah dan bersifat final. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 4 Ayat (2), yaitu penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan, penghasilan usaha jasa konstruksi, serta penghasilan atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara. Pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah. Pengenaan tarif atas jasa kontruksi ditentukan dari skala besar kecilnya usaha yang tercantum dalam sertifikat badan usaha yang diatur dalam Peraturan perjakan.

Bukti potong atas pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 tidak dapat dikurangkan (dikreditkan) dari penghasilan bruto bagi wajib pajak badan yang menerima penghasilan atau bersifat final.

6. Pemotongan PPh Pasal 15

Pengenaan PPh Pasal 15 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan yang menggunakan norma penghitungan khusus untuk kelompok wajib pajak tertentu. Pemotongan pajak penghasilan pasal 15  bertujuan untuk memudahkan wajib pajak tersebut dalam melakukan kewajiban perpajakannya, seperti perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, sampai perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi

Bukti potong atas pemotongan PPh Pasal 15 tidak dapat dikurangkan (dikreditkan) dari penghasilan bruto bagi wajib pajak badan yang menerima penghasilan atau bersifat final.

file pic.4 - bupot final
file pic.4 - bupot final

Mengapa Manajemen Tatakelola Bukti Pemotongan/ Pemungutan Pajak Penghasilan Diperlukan?

Pada umunya fungsi bukti potong pajak adalah sebagai dokumen kontrol pajak dalam pemotongan/ pemnungutan pajak. Dokumen bukti potong bukti legal bahwa pajak yang dipungut telah disetor ke Kas Negara dan sebagai persyaratan dokumen atas pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh).

Selain itu, bukti potong sangat penting keberadaannya sebagai bukti :

  • Dari sisi pemotong: sebagai bukti pemotongan pajak penghasilan yang telah dilakukan. Dokumen bukti potong tersebut diperlukan bagi wajib pajak pada saat melakukan pembayaran pajak yang telah dipungut dan untuk pelaporan SPT Tahunan PPh.
  • Dari sisi yang dipotong pajaknya: sebagai bukti bahwa penghasilannya telah dipungut dan dibayarkan oleh wajib pajak lawan transaksi. Bukti tersebut yang akan dipergunakan pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh.

Tujuan diberikannya bukti potong atas pemotongan/ pemungutan yakni dapat dijadikan sebagai kredit pajak bagi Perusahaan untuk pelaporan pajak tahunan badan, selain itu bukti potong perlu di simpan dengan baik jika sewaktu-waktu terdapat pemeriksaan dapat dijadikan sebagai bukti penyetoran pajak. Namun Salah satu masalah yang sering dihadapi wajib pajak badan usaha dalam mengelola pajak penghasilan adalah pengumpulan bukti potong dari suatu transaksi.

Dalam melakukan tatakelola bukti potong perusahaan memang gampang-gampang sulit. Pentingnya bukti potong sebagai dokumen yang menjadi bukti bahwa suatu penghasilan telah dipotong dengan pajak penghasilan, seperti PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26, maka bukti potong perlu dibuat atau diterbitkan ketika pihak penerima jasa memotong penghasilan, kemudian menyerahkannya ke pihak pemberi jasa sebagai bukti bahwa pajak atas penghasilan tersebut telah dipotong. Untuk  itu pihak pemberi jasa wajib mengumpulkan bukti potong tersebut agar dapat dimanfaatkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak di SPT Tahunan. Adanya bukti potong ini dapat mengurangi besaran pajak yang dibayarkan perusahaan. Jika tidak mengumpulkan dan mengelola bukti potong dengan baik, maka perusahaan (pemberi jasa) akan mengalami risiko-risiko bisnis, seperti:

  • Perusahaan harus membayar pajak lebih besar daripada seharusnya karena tidak dapat mengkreditkan pajak dari bukti potong yang tidak terkumpul dengan baik.
  • Proses rekonsiliasi perusahaan tidak berjalan dengan maksimal karena tidak memiliki bukti potong sebagai dokumen yang menyantumkan pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima.
  • Perusahaan dianggap tidak siap untuk diaudit karena tidak lengkapnya dokumen-dokumen yang menunjukkan alur transaksi yang telah berjalan.
  • Kepatuhan pajak akan terhambat berjalan karena tidak dapat mengelola bukti potong dengan baik.

Pada umumny perusahaan mengalami kesulitan mengelola bukti potong pajak penghasilan sehingga mengakibatkan usahanya menghadapi risiko-risiko yang telah disebutkan di atas. Apa saja kesulitan atau tantangan dalam mengelola bukti potong pajak penghasilan, yaitu:

  • Tiap pihak dapat menggunakan sistem yang berbeda dalam memproses transaksi sehingga terjadi kesenjangan yang mengakibatkan kendala dalam mengirimkan atau mengumpulkan bukti potong.
  • Salah satu atau kedua pihak menjalankan transaksi secara manual sehingga terjadi keterlambatan atau kendala dalam mengirimkan dan mengumpulkan bukti potong.
  • Pihak penerima jasa lupa untuk mengirimkan bukti potong pajak secara tepat waktu.
  • Pihak pemberi jasa lupa untuk mengirimkan pengingat kepada lawan transaksi untuk segera mengirimkan bukti potong.
  • Penyimpanan bukti potong masih dilakukan secara manual sehingga menyulitkan pic pada saat melakukan audit atau untuk kebutuhan pelaporan pajak.

Bagaimanakah Manajemen Tatakelola yang Baik dalam Mengumpulkan Bukti Potong Pajak?

Jangan samapai berawal dari kesulitan mengumpulkan 1 bukti potong, dapat berakibat timbul banyak risiko yang dapat berdampak pada keberlangsungan perusahaan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan mulai mengoptimalisasi dalam pengumpulan bukti potong yaitu dengan cara :

  • Membuat daftar bukti potong yang perlu di mintakan kepada lawan transaksi
  • Menyimpan bukti potong dalam odner berdasarkan urutan tanggal untuk memudahkan dalam pencarian
  • Melakukan rekonsiliasi data antara bukti potong pajak dan penghasilan sebagai Dasar Pengenaan Pajak

Manajemen tatakelola dalam pengumpulan bukti potong pajak yang baik dan benar dapat memberikan keuntungan dan dampak baik pula bagi perusahaan, yaitu di antaranya:

  • Perusahaan dapat melindungi arus kas karena pembayaran pajak dikeluarkan dengan semestinya.
  • Pengumpulan bukti potong yang mudah, memungkinkan perusahaan untuk melakukan pengkreditan pajak dengan seharusnya pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh badan.
  • Proses rekonsiliasi perusahaan berjalan dengan maksimal karena seluruh bukti potong pajak tersimpan dengan baik.
  • Perusahaan dinilai siap untuk diaudit karena seluruh dokumen transaksi ada secara lengkap.
  • Kepatuhan pajak akan berjalan dengan baik yang memberikan penilaian baik pada perusahaan.

Kesimpulan

Manajemen Tatakelola pada Pemotongan/ Pemungutan (withholding tax) pajak penghasilan dapat meminimalisir resiko pada arus kas perusahaan, selain dapat memberikan keuntungan baik dari sisi fiskus maupun wajib pajak, dari sisi fiskus turut meringankan pekerjaan karena secara tidak langsung tugas pemungutan maupun pemotongan pajak sudah diwakilkan oleh pihak ketiga itu sendiri sebagai perwakilan dari wajib pajak, dan dari sisi wajib pajak dapat meminimalisir compliance cost nya karena sebagian kewajibannya sudah dilaksanakan oleh pihak ketiga, sehingga sejalan dengan konsep efisiensi yang juga berkaitan erat dengan konsep revenue productivity. Kemudian sistem withholding tax diantarnya memperbesar potensi ketepatan waktu dalam penyetoran pajak, sehingga meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan kecilnya penghindaran pajak karena pemotongan dan pemungutan dilakukan oleh lawan transaksi.

Referensi :

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Tentang Perubahan Ke Empat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 12/PMK.03/2017 Tentang Bukti Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tentang Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  • Mardiasmo. (2016). Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2016. Yogyakarta: Andi Offset
  • Pohan, Chairil, Anwar. (2022). Kebiijakan Dan Administrasi Schedular Taxation Konsep Dan Implementasi Pemotongan Dan Pemungutan Pajak Penghasilan dan Perencanaan Perpajakannya Terkini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Darussalam. (2018). Menyoal Perluasan Withholding Tax atas Penghasilan Usaha. https://news.ddtc.co.id/menyoal-perluasan-withholding-tax-atas-penghasilan-usaha-13008
  • D. Larry Crumbley, et al. (1994). Dictionary of Tax Terms. Hauppauge, N.Y.: Barron's Educational Series.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun