Menurut Mika Casanegara de Janstcher (Darussalam dan Danny Septriadi, 2016), Withholding tax secara tradisi hanya diterapkan terhadap pemotongan atas gaji, bunga, dan dividen, kemudian diperluas untuk memotong penghasilan dari jasa professional, sewa dan terhadap semua penghasilan dari usaha lainnya.
Menurut Peter S. Griffth dalam buku reading on Income Tax Administration (Darusalam dan Danny Septriadi, 2006) Pemotongan pajak dapat dilakukan atas pembayaran gaji dan pembayaran lainnya atas penghasilan modal, tetapi tidak mungkin dapat merancang sistem withholding tax yang memuaskan atas penghasilan dari perkebunan, penghasilan usaha dan penghasilan investasi, dan jasa professional.
Dengan demikian pengertian withholding tax dari beberapa sumber adalah sistem pemotongan/ pemungutan pajak atas penghasilan tertentu yang dilakukan oleh wajib pajak yang ditunjuk pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan pepajakan yang berlaku. Dimana wajib pajak yang ditunjuk tersebut melakukan pemotongan/ pemungutan dengan persentase tertentu atas pembayaran yang dilakukannya dan berkewajiban untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang dipotong/ pungutnya kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Atas bukti pemotongan dan/ pemungutan yang dilakukan oleh wajib akan menerbitkan bukti potong untuk menyatakan jumlah pajak yang dipotong oleh pemberi penghasilan atas jumlah penghasilan yang diberikan kepada penerima penghasilan. Sehingga bukti ptotong tersebut dnantinya dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Sedangkan pemungutan adalah jumlah pajak yang dipungut pleh wajib pajak/ pihak yang ditunjuk oleh pemerintah atas sejumlah pembayaran yang berpotensi menimbulkan penghasilan kepada penerima pembayaran, misalnya PPh Pasal 22.
Withholding tax (Potput) merupakan jalan pintas bagi pemerintah untuk memungut pajak. Karena wajib pajak ditugaskan untuk melakukan pemungutan dan pemotongan pajak atas pihak lainnya, sehingga pemerintah tidak memerlukan upaya dan biaya besar dalam mengumpulkan pajak. Konsep sistem withholding tax tidak bisa disama artikan dengan self-assessment. Lantaran self-assessment memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, setor, dan lapor kewajiban perpajakannya sendiri, bukan kewajiban perpajakan pihak lain. Perlu diketahui bahwa sistem withholding tax di Indonesia dikenakan terhadap seluruh penghasilan dari kegiatan usaha, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-70/PJ/2007.
Dalam konteks Undang-Undang Pajak Penghasilan , sebagaimana tercantum dalam UU Nomor Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, withholding tax diperlakukan sebagai:
- Angsuran pembayaran pajak (uang muka pajak)
- Pemungut pajak final.
Tatakelola withholding tax dapat ditemukan dalam berbagai pasal dalam UU Pajak Penghasilan, diantaranya hanya berlaku untuk jenis transaksi tertentu saja, seperti :
- Transaksi yang pengenaan pajaknya dengan tarif final yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh.
- Penghasilan bagi karyawan yang diatur dalam Pasal 21 UU PPh
- Pajak penghasilan yang diperuntukan untuk Impor, Pembelian Barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD, Penjualan hasil produksi tertentu yang diatur lebih lanjut dalam dalam pasal 22 UU PPh.
- Pembayaran bunga, dividen, royalty dan jasa-jasa wajib pajak dalam negeri yang lebih lanjut diatur dalam pasal 23 UU PPh.
- Pembayaran bunga, dividen, royalty dan jasa-jasa wajib pajak luar negeri yang lebih lanjut diatur dalam pasal 26 UU PPh.
Tatakelola dilakukan melalui pemotongan/ pemungutan oleh wajib pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak yang menerima penghasilan. Serta, melakukan penyetoran atas  pemotongan tersebut kepada kas negara dan mencatatkannya dalam pembukuan wajib pajak. Namun untuk perhitungan PPh 21 wajib pajak orang pribadi dan pajak penghasilan badan tetap menggunakan self-assessment system.
Undang-undang pajak mengamanatkan kepada pemerintah untuk memperluas penerapan objek pajak withholding tax atas penghasilan usaha dalam sistem pajak penghasilan di Indonesia dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-70/PJ/2007, baik dalam hal jenis pengasilannya, besaran tarif final dan tidak finalnya. Berdasarkan buku yang berjudul "Kebiijakan Dan Administrasi Schedular Taxation Konsep Dan Implementasi Pemotongan Dan Pemungutan Pajak Penghasilan dan Perencanaan Perpajakannya Terkini" yang ditulis oleh Pohan (2022), Di Indonesia tatakelola dalam pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak Potput menimbukan beberapa permasalahan yang masih belum terselesaikan, antara lain:
- Pemotongan/ pemungutan PPh mempunyai banyak jenis dan tarif yang berbeda. PPh Potput harus diterapkan dengan benar terutama oleh pihak yang memberikan penghasilan atau yang seharusnya memotong karena kesalahan pemotongan PPh dapat menimbulkan sanksi perpajakan.
- PPh Pasal 4(2) yang sering disebut PPh Final pada dasarnya dibuat untuk memudahkan pembayaran PPh bagi wajib pajak, tetapi hal itu bisa menimbulkan permasalahan keadilan karena wajib pajak tidak dapat melakukan kompensasi terhadap kerugian usaha pada masa lalu.
- Sulitnya penggolongan jenis PPh Potput dapat membuat wajib pajak salah menerapkan tarif PPh yang membuat wajib pajak terancam sanksi perpajakan berupa kenaikan hingga denda. Karena itu, wajib pajak harus lebih berhati-hati dalam melakukan perencanaan atas PPh Potput, dan jika diperlukan kepastian hukum dari DJP (Private Ruling) atas setiap transaksi bisnis yang menjadi grey area untuk menghindari perbedaan  pendapat yang dapat menimbulkan pengenaan sanksi perpajakan di kemudian hari.
- Adnanya perbedaan pendapat tentang perlakuan tarif PPh Final Pasal 4(2) antara pelaksana konstruksi dan pemberi jasa konsultasi atas konstruksi dapat menimbulkan kesalahan dalam perhitungan dan pemotongan pajaknya. Sementara itu, dengan tarif yang sama untuk jasa konstruksi juga terdapat di PPh Pasal 23 (non final). Pembuatan perincian pembayaran oleh wajib pajak yang membedakan antara jasa pelaksana konstruksi dan jasa konsultasi atas konstruksi akan sangat membantu mengklarifikasi perbedaan tersebut dalam pemerikasaan pajak di kemudian hari.
Sistem withholding tax diberlakukan untuk meminimalisir timbulnya risiko atas tatakelola pemungutan yang ditimbulkan atas pemungutan pajak penghasilan yang lain, withholding tax ini dapat memberikan keuntungan baik dari sisi fiskus maupun wajib pajak, dari sisi fiskus turut meringankan pekerjaan karena secara tidak langsung tugas pemungutan maupun pemotongan pajak sudah diwakilkan oleh pihak ketiga itu sendiri sebagai perwakilan dari wajib pajak, dan dari sisi wajib pajak dapat meminimalisir compliance cost nya karena sebagian kewajibannya sudah dilaksanakan oleh pihak ketiga, sehingga sejalan dengan konsep efisiensi yang juga berkaitan erat dengan konsep revenue productivity. Kemudian sistem withholding tax diantarnya memperbesar potensi ketepatan waktu dalam penyetoran pajak, kemudahan, kesederhanaan, dan biaya pemungutan pajak yang lebih murah. Dikarenakan kondisi rasio Perbandingan jumlah fiskus tidak sebanding maka sistem ini sangat memberikan solusi agar semua pajak yang seharusnya terutang dapat terdeteksi. Keuntungan dengan adanya sistem withholding tax juga dirasakan oleh pihak ketiga yakni diwaktu jeda gajian dan penyetoran pajak uang dapat diputar untuk kelancaran cashflow Perusahaan.
Namun sistem withholding tax juga tidak luput dari kekurangan yakni menimbulkan beban administrasi tambahan bagi wajib pajak mengingat sistem withholding tax ini mengandalkan pihak ketiga. Pihak ketiga dalam sistem ini juga harus menanggung risiko jika terjadi kesalahan dalam hitung, potong, pungut, setor dan lapor pajak (Darussalam, 2018).