Bayangkan Konscience sebagai kompas moral yang tertanam dalam diri kita. Kompas ini selalu menunjuk ke arah nilai-nilai yang kita yakini benar dan baik. Nilai-nilai tersebut, yang kita serap sejak kecil dari keluarga, lingkungan sosial, dan pengalaman hidup, membentuk landasan moral kita. Ketika kita mengambil keputusan atau melakukan tindakan,Â
Konscience akan segera memberikan penilaian. Jika tindakan kita sejalan dengan nilai-nilai yang kita anut, kita akan merasa tenang dan puas. Namun, jika tindakan kita bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, Konscience akan segera bereaksi. Kita mungkin akan merasakan perasaan bersalah, malu, atau bahkan penyesalan yang dalam. Perasaan-perasaan negatif ini adalah sinyal bahwa kita telah menyimpang dari jalur yang kita yakini benar.
Fungsi Utama Konscience ada beberapa. Konscience, sebagai penjaga moral kita, memiliki peran yang sangat krusial dalam membentuk perilaku dan keputusan kita. Pertama, Konscience bertindak sebagai juri atau bahkan hakim internal yang terus-menerus menilai setiap tindakan kita berdasarkan standar moral yang telah kita internalisasi. Standar moral ini bisa sangat personal. Standar moral ini bisa berasal dari pengalaman pribadi, keluarga, keyakinan agama, nilai-nilai budaya, atau prinsip-prinsip etika yang kita pelajari. Kedua, ketika tindakan kita menyimpang dari standar moral tersebut, Konscience akan memberikan "hukuman" psikologis berupa perasaan bersalah, malu, atau penyesalan. Rasa bersalah ini berfungsi sebagai mekanisme pengendali sosial, mendorong kita untuk menghindari pengulangan tindakan yang merugikan diri sendiri atau orang lain. Terakhir, Konscience juga berperan sebagai motivator. Ia mendorong kita untuk melakukan tindakan yang baik dan bernilai, serta menghindari tindakan yang buruk. Dengan kata lain, Konscience adalah kompas moral yang memandu kita menuju kehidupan yang lebih bermakna dan penuh integritas
Konscience kita, layaknya kompas moral, senantiasa memberikan petunjuk arah dalam setiap tindakan kita. Ketika kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai yang kita yakini, Konscience akan segera bersuara. Misalnya, ketika kita berbohong kepada orang yang kita sayangi, Konscience kita akan memberikan sinyal berupa perasaan tidak nyaman, gelisah, atau bahkan rasa bersalah yang mendalam. Perasaan-perasaan ini bukanlah sekadar emosi semata, melainkan sebuah mekanisme internal yang mengingatkan kita bahwa kita telah melanggar prinsip kejujuran yang selama ini kita anut.
Contoh-contoh lain dalam kehidupan sehari-hari dapat memperjelas bagaimana Konscience bekerja. Ketika kita mengambil barang yang bukan milik kita, meskipun kita mungkin tidak tertangkap, Konscience kita akan memberikan perasaan bersalah. Rasa bersalah ini muncul karena kita telah melanggar norma sosial tentang kejujuran dan hak milik. Begitu pula ketika kita menyakiti perasaan orang lain, baik secara sengaja maupun tidak, Konscience kita akan mengingatkan kita bahwa kita telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan seperti empati dan kasih sayang. Rasa bersalah yang kita rasakan adalah sebuah tanda bahwa kita perlu memperbaiki kesalahan dan membangun kembali hubungan yang rusak.
Konscience tidak hanya berfungsi sebagai detektor kesalahan, tetapi juga sebagai motivator untuk bertindak baik. Ketika kita melakukan tindakan yang baik dan bernilai, seperti membantu orang lain atau berbuat amal, Konscience kita akan memberikan perasaan puas dan bangga. Perasaan positif ini mendorong kita untuk terus melakukan kebaikan dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Dalam kehidupan sehari-hari, Konscience kita terus-menerus berinteraksi dengan berbagai faktor, seperti pengaruh lingkungan, pengalaman pribadi dan pendidikan. Artinya, konscience berkembang melalui proses sosialisasi. Sejak kecil, kita diajarkan tentang apa yang benar dan salah oleh orang tua, guru, dan lingkungan sekitar. Hukuman dan pujian yang kita terima atas perilaku kita akan membentuk pemahaman kita tentang nilai-nilai moral.
2. Ego Ideal
Bagian ini berisi standar dan aspirasi yang diharapkan oleh individu. Ego ideal mencerminkan cita-cita dan harapan yang ingin dicapai, serta perilaku yang dianggap baik dan benar. Ketika seseorang berhasil memenuhi harapan ini, mereka akan merasakan kebanggaan dan kepuasan.
Ego Ideal adalah seperti sebuah gambaran ideal tentang diri kita sendiri yang ingin kita capai. Ini adalah standar atau tolok ukur yang kita tetapkan untuk diri kita, yang seringkali dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, seperti keluarga, teman, tokoh idola, atau nilai-nilai sosial yang kita anut.Â
Ego ideal, layaknya sebuah kompas, menuntun kita menuju cita-cita dan harapan tertinggi. Ini adalah gambaran ideal tentang diri kita yang ingin kita capai. Misalnya, seorang siswa mungkin memiliki ego ideal untuk menjadi siswa berprestasi dengan nilai sempurna dan diterima di universitas bergengsi. Ambisi ini menjadi motivasi baginya untuk belajar lebih giat dan meraih prestasi akademik terbaik. Atau, seseorang mungkin mendambakan karier yang sukses, menjadi pemimpin yang menginspirasi, atau memiliki bisnis yang berkembang pesat. Di bidang sosial, ego ideal bisa berupa keinginan untuk menjadi sosok yang populer, memiliki banyak teman, atau menemukan pasangan hidup yang ideal. Bahkan, dalam ranah spiritual, seseorang mungkin memiliki cita-cita untuk menjadi individu yang bijaksana, penuh kasih sayang, dan hidup selaras dengan alam semesta. Singkatnya, ego ideal adalah cerminan dari aspirasi dan nilai-nilai yang kita yakini, yang mendorong kita untuk terus berkembang dan menjadi versi terbaik dari diri kita.