Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dampak Sosiologis di Masa Transisi Organisasi Kerja dan Upaya Penanganannya

22 Januari 2025   11:51 Diperbarui: 22 Januari 2025   11:51 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumentasi penulis

Perubahan organisasi seringkali disertai dengan perpisahan yang menyakitkan. Kepergian rekan kerja bukan hanya sekadar kehilangan individu, tetapi juga memicu gelombang perubahan yang kompleks dalam organisasi. Ketidakpastian, stres, dan kerusakan jaringan sosial adalah beberapa dampak yang sering muncul. Akibatnya, produktivitas menurun, kualitas kerja terancam, dan tujuan organisasi menjadi sulit dicapai. Untuk mengatasi tantangan ini, organisasi perlu menerapkan strategi yang tepat dalam mengelola perubahan dan mendukung kesejahteraan karyawan.

Gagasan Durkheim dalam Lensa Transisi Organisasi

Perubahan adalah konstanta dalam kehidupan manusia. Ketika masyarakat mengalami transisi, baik itu dari era agraris ke industri, atau dari masyarakat tradisional ke modern, perubahan sosial yang mendalam tak terelakkan. Perubahan ini seringkali memunculkan berbagai tantangan dan kompleksitas yang berdampak pada kehidupan sosial masyarakat.

Para sosiolog telah lama tertarik untuk memahami dampak-dampak sosial dari masa transisi. Tokoh seperti mile Durkheim, misalnya, telah memberikan kontribusi besar dalam memahami bagaimana perubahan sosial dapat memicu disintegrasi sosial, anomie, dan konflik. Durkheim, dengan konsep anomie-nya, menjelaskan bagaimana perubahan cepat dapat menyebabkan individu merasa kehilangan arah dan tujuan hidup. 

Teori anomie, yang pada dasarnya menggambarkan kondisi di mana norma-norma sosial tidak lagi memberikan pedoman yang jelas, sangat relevan dalam konteks transisi organisasi. Ketika sebuah organisasi mengalami perubahan signifikan, seperti merger, pengenalan teknologi baru, atau restrukturisasi, karyawan seringkali merasa kehilangan pijakan.

Perubahan yang tiba-tiba dan signifikan dapat menciptakan perasaan tidak pasti yang mendalam di kalangan karyawan. Mereka mungkin bertanya-tanya tentang masa depan mereka, peran mereka dalam organisasi yang baru, dan bagaimana mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Hilangnya struktur organisasi yang jelas, seperti hierarki dan garis pelaporan, semakin memperburuk situasi ini. Karyawan merasa seperti kapal tanpa nahkoda, kehilangan arah dan tidak tahu kepada siapa mereka harus bertanya.

Dalam masa transisi, karyawan cenderung membentuk kelompok-kelompok baru berdasarkan kesamaan kepentingan atau latar belakang. Pembentukan kelompok-kelompok ini dapat memicu persaingan dan mengurangi rasa solidaritas antar karyawan. Selain itu, perubahan organisasi dapat membuat karyawan merasa kehilangan identitas mereka. Identitas yang sebelumnya terkait erat dengan peran dan posisi mereka dalam organisasi mungkin tidak lagi relevan.

Dampak Sosiologis di Masa Transisi Organisasi Kerja?

Ketidakjelasan Struktur:

Perubahan struktur organisasi dapat menghilangkan hierarki dan garis pelaporan yang jelas, membuat karyawan merasa kehilangan arah dan tidak tahu kepada siapa mereka harus bertanggung jawab.

Perubahan struktur organisasi memang seringkali menjadi langkah strategis untuk meningkatkan fleksibilitas dan responsivitas perusahaan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, perubahan ini dapat menimbulkan sejumlah tantangan, salah satunya adalah hilangnya struktur yang jelas.

Hilangnya struktur organisasi mengacu pada situasi di mana hierarki, garis pelaporan, dan pembagian tugas yang sebelumnya jelas menjadi kabur atau bahkan hilang sama sekali. Struktur organisasi yang jelas berfungsi sebagai kerangka kerja yang memberikan arah dan kepastian bagi karyawan. Ketika struktur ini melemah, karyawan dapat merasa tidak pasti tentang peran mereka, tanggung jawab mereka, dan kepada siapa mereka harus melapor.

Henry Mintzberg, seorang ahli manajemen ternama, pernah mengatakan bahwa struktur organisasi adalah tulang punggung perusahaan. Struktur yang baik akan membantu perusahaan mencapai tujuannya dengan lebih efektif. Nah ketika struktur organisasi menjadi kabur, dampaknya bisa terasa di seluruh lini perusahaan. Karyawan akan merasa tidak pasti tentang apa yang diharapkan dari mereka. Mereka akan kesulitan memahami tujuan perusahaan secara keseluruhan dan bagaimana kontribusi mereka berperan dalam mencapai tujuan tersebut. Akibatnya, motivasi kerja bisa menurun dan produktivitas pun terpengaruh.

Selain itu, hilangnya struktur juga dapat memicu konflik di antara karyawan. Jika tugas dan tanggung jawab tidak didefinisikan dengan jelas, tumpang tindih pekerjaan dan perselisihan menjadi hal yang wajar. Proses pengambilan keputusan pun akan menjadi lebih lambat dan rumit karena tidak adanya hierarki yang jelas.

Dampak jangka panjangnya, karyawan bisa merasa seperti tidak memiliki keterikatan dengan perusahaan. Jika mereka tidak memiliki peran yang jelas dan tidak merasa menjadi bagian dari tim, rasa memiliki mereka terhadap perusahaan akan berkurang.

Coba kita refleksikan bagaimana jika Anda mendengar tentang perusahaan manufaktur yang mencoba menerapkan struktur organisasi yang lebih datar? Tujuannya bagus, yaitu ingin meningkatkan kolaborasi dan inovasi. Namun, dalam praktiknya, banyak karyawan merasa kebingungan. Mereka tidak tahu siapa yang harus mereka lapori atau siapa yang bertanggung jawab atas keputusan tertentu. Akibatnya, pekerjaan menjadi tidak efisien, proyek tertunda, dan produktivitas menurun.

Penurunan Solidaritas

Ketika terjadi perubahan dalam organisasi, seperti merger atau akuisisi, budaya organisasi yang sudah mapan akan terganggu. Resep rahasia yang sudah lama digunakan perlu disesuaikan atau bahkan diganti dengan resep baru. 

Perubahan tersebut juga mendorong terbentuknya kelompok-kelompok baru. Kelompok-kelompok ini bisa berdasarkan divisi baru, proyek khusus, atau bahkan berdasarkan asal perusahaan sebelumnya. 

Pembentukan kelompok-kelompok baru dalam sebuah organisasi yang sedang mengalami transisi, seperti merger atau akuisisi, seringkali menjadi pemicu utama munculnya persaingan antar kelompok. Selain itu, perbedaan budaya dan persepsi yang beragam juga memperparah kondisi ini. Mari kita bahas lebih lanjut faktor-faktor yang mendorong terjadinya persaingan tersebut.

Salah satu penyebab paling mendasar dari persaingan antar kelompok adalah terbatasnya sumber daya. Ketika sumber daya seperti anggaran, promosi, atau proyek dibagi-bagi, setiap kelompok secara alami akan berupaya mendapatkan porsi yang lebih besar. Ambisi untuk mencapai keberhasilan dan pertumbuhan adalah hal yang manusiawi, namun jika tidak dikelola dengan baik, persaingan ini dapat bermetamorfosis menjadi permusuhan yang menghambat kerjasama. Misalnya, dalam sebuah perusahaan yang baru saja melakukan merger, dua departemen yang sebelumnya terpisah mungkin terlibat dalam pertarungan sengit untuk mendapatkan alokasi dana penelitian dan pengembangan yang terbatas.

Selain itu, jika kelompok-kelompok baru terdiri dari karyawan yang berasal dari budaya organisasi yang berbeda, perbedaan dalam nilai, norma, dan cara kerja akan menjadi sumber konflik yang signifikan. Seolah-olah dua dunia yang berbeda dipaksa untuk berkolaborasi. Setiap budaya organisasi memiliki cara pandang yang unik tentang bagaimana pekerjaan harus dilakukan, bagaimana keputusan harus dibuat, dan bagaimana orang harus berinteraksi. Perbedaan-perbedaan ini dapat memicu kesalahpahaman, prasangka, dan bahkan permusuhan antar kelompok. Misalnya, karyawan dari perusahaan yang memiliki budaya yang sangat individualistis mungkin sulit untuk beradaptasi dengan budaya perusahaan yang lebih kolektivistik, yang mengutamakan kerja sama tim.

Selanjutnya, setiap kelompok dalam organisasi cenderung memiliki persepsi yang berbeda tentang tujuan organisasi, prioritas, dan cara mencapai keberhasilan. Perbedaan persepsi ini bagaikan lensa yang berbeda-beda, di mana setiap kelompok melihat realitas organisasi melalui lensa yang unik. Ketika kelompok-kelompok dengan persepsi yang berbeda harus bekerja sama, konflik dapat muncul karena mereka memiliki pemahaman yang berbeda tentang apa yang penting dan bagaimana cara mencapainya. Misalnya, tim pemasaran mungkin lebih fokus pada pertumbuhan penjualan, sementara tim produksi mungkin lebih fokus pada efisiensi biaya. Perbedaan prioritas ini dapat menyebabkan perdebatan dan perselisihan.

Sebagai contoh, bayangkan sebuah perusahaan startup yang dinamis dan inovatif mengakuisisi sebuah perusahaan korporasi yang besar dan mapan. Perbedaan budaya antara kedua perusahaan ini seperti minyak dan air. Startup ini memiliki budaya kerja yang sangat fleksibel, sementara korporasi memiliki struktur yang lebih hierarkis. Setelah merger, karyawan dari kedua perusahaan ditempatkan dalam tim-tim proyek yang baru. Karyawan startup mungkin merasa frustrasi dengan birokrasi dan prosedur yang rumit di perusahaan korporasi, sementara karyawan korporasi mungkin merasa tidak nyaman dengan gaya kerja yang terlalu santai dari karyawan startup. Perbedaan-perbedaan ini dapat menyebabkan konflik terbuka dan menghambat pencapaian tujuan bersama.

Perubahan organisasi juga dapat membuat karyawan merasa kehilangan identitas mereka. Identitas yang sebelumnya kuat sebagai bagian dari suatu divisi atau departemen bisa menjadi kabur. 

Kerusakan hubungan antar karyawan:

Perubahan organisasi, terutama dalam masa transisi, seringkali memicu berbagai konsekuensi yang kompleks, salah satunya adalah kerusakan hubungan antar karyawan. Salah satu faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah perpisahan rekan kerja. Ketika rekan kerja yang telah lama berdampingan harus berpisah akibat reorganisasi, PHK, atau perpindahan divisi, hal ini dapat menimbulkan perasaan kehilangan, kesedihan, dan ketidakpastian di antara karyawan yang tersisa.

Suasana kerja dapat menjadi tegang dan tidak nyaman setelah terjadinya perpisahan. Gosip, rumor, dan perasaan saling curiga dapat muncul, merusak hubungan antar karyawan yang masih bertahan.

Meningkatnya Konflik:

Perpindahan rekan kerja di masa transisi organisasi seringkali memicu peningkatan konflik, baik antar karyawan maupun antara karyawan dengan manajemen. 

Perpindahan seorang rekan kerja dapat mengubah secara signifikan dinamika kerja dalam sebuah tim. Perbedaan gaya kerja, prioritas, dan cara berkomunikasi antara anggota tim yang baru dan lama sering kali menjadi sumber gesekan dan konflik. Ketika anggota tim yang baru bergabung dengan cara kerja yang berbeda, hal ini dapat menimbulkan ketidaksesuaian dan ketidaknyamanan. Selain itu, perbedaan dalam prioritas tugas juga dapat memicu perdebatan mengenai apa yang harus dikerjakan terlebih dahulu.

Selain itu, perubahan pembagian tugas akibat perpindahan rekan kerja juga menjadi salah satu penyebab utama konflik. Ketika tugas dan tanggung jawab yang ditinggalkan oleh rekan kerja yang pindah harus didistribusikan ulang, seringkali muncul ketidaksepakatan mengenai pembagian beban kerja yang adil. Beberapa anggota tim mungkin merasa kelebihan beban kerja, sementara yang lain merasa kurang tertantang. Selain itu, ketidakjelasan peran dan tanggung jawab setelah perubahan struktur organisasi juga dapat menjadi sumber konflik. Karyawan mungkin merasa bingung mengenai tugas dan kewajibannya, sehingga terjadi tumpang tindih atau bahkan kekosongan dalam beberapa area pekerjaan.

Jika proses perpindahan rekan kerja tidak dikelola dengan baik dan transparan, karyawan yang tersisa mungkin merasa diperlakukan tidak adil. Misalnya, jika ada indikasi favoritisme atau ketidakadilan dalam proses pengambilan keputusan, hal ini dapat memicu perasaan marah dan kecewa. Selain itu, ketidakpastian yang timbul akibat perpindahan rekan kerja, seperti kekhawatiran akan PHK atau perubahan struktur organisasi, dapat meningkatkan stres dan kecemasan karyawan. Ketika seseorang merasa stres, mereka cenderung lebih sensitif dan mudah tersinggung, sehingga memicu konflik dengan rekan kerja atau atasan.

Konflik antar karyawan dapat muncul dalam bentuk pertengkaran, saling menyalahkan, atau sabotase. Sementara itu, konflik antara karyawan dengan manajemen dapat berupa ketidaksepakatan mengenai keputusan manajemen terkait perpindahan rekan kerja, ketidakpuasan terhadap kompensasi atau benefit, atau perasaan tidak dihargai.

 stres, dan penurunan kualitas kerja. Selain itu, peningkatan beban kerja juga dapat memicu persaingan tidak sehat di antara anggota tim yang tersisa, yang pada akhirnya dapat merusak semangat kerja sama.

Kepergian seorang rekan kerja seringkali memicu perasaan tidak pasti di antara anggota tim. Mereka mungkin khawatir tentang stabilitas pekerjaan mereka, perubahan struktur organisasi, atau kemungkinan adanya PHK. Ketidakpastian ini dapat menyebabkan penurunan moral, motivasi, dan produktivitas.

Karyawan membawa pengetahuan tak ternilai tentang proses bisnis, pelanggan, dan produk perusahaan. Kepergian mereka berarti hilangnya aset intelektual yang sulit digantikan. Pengetahuan ini seringkali bersifat implisit dan tidak terdokumentasi, sehingga sulit untuk ditransfer kepada karyawan baru.

Sebagai contoh, sebuah startup teknologi yang sedang berkembang pesat kehilangan seorang desainer UI/UX yang sangat berbakat. Kepergiannya menyebabkan beberapa masalah serius, termasuk keterlambatan dalam peluncuran produk baru, penurunan moral tim desain, dan kesulitan menemukan pengganti yang memiliki keahlian yang sama. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran individu dalam keberhasilan sebuah proyek.

Upaya Organisasi dalam Mengatasi Dampak?

Untuk mengatasi dampak sosiologis perpisahan rekan kerja, organisasi dapat melakukan beberapa langkah strategis, yaitu:

Komunikasi yang Efektif:

  • Berikan informasi yang jelas dan terbuka kepada seluruh karyawan mengenai alasan kepergian rekan kerja dan perubahan yang akan terjadi.
  • Buka saluran komunikasi yang efektif agar karyawan dapat menyampaikan pertanyaan, kekhawatiran, atau saran mereka.
  • Adakan pertemuan tim secara berkala untuk membahas situasi yang terjadi dan mencari solusi bersama.

Dukungan Emosional:

  • Tawarkan program pendampingan atau konseling bagi karyawan yang merasa kesulitan dalam menghadapi perubahan.
  • Organisasikan kegiatan tim building untuk memperkuat ikatan antar anggota tim dan meningkatkan semangat kerja sama.

Perencanaan Transisi yang Matang:

  • Lakukan distribusi tugas yang ditinggalkan secara adil dan sesuai dengan kemampuan masing-masing karyawan.
  • Berikan pelatihan tambahan kepada karyawan yang mengambil alih tugas baru untuk meningkatkan kompetensinya.

Membangun Budaya Positif:

  • Berikan apresiasi kepada karyawan atas kontribusi mereka dan upaya mereka dalam menghadapi perubahan.
  • Akui perasaan dan emosi yang dialami oleh karyawan terkait kepergian rekan kerja.

Fleksibilitas:

  • Berikan fleksibilitas dalam pengaturan jadwal kerja jika diperlukan untuk membantu karyawan beradaptasi.
  • Pertimbangkan untuk memberikan cuti tambahan bagi karyawan yang membutuhkan waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun