Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Dampak Psikologis Perpisahan Rekan Kerja dan Bagaimana Meresponnya?

21 Januari 2025   14:59 Diperbarui: 21 Januari 2025   20:42 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumentasi penulis

Di sudut ruang kerja yang sunyi, seorang karyawan menatap kosong ke layar komputernya. Dulu, ruang ini adalah tempat di mana tawa lepas dan diskusi hangat seringkali memecah keheningan. Namun, sekarang, hanya sisa-sisa kehangatan itu yang terasa. Kepergian beberapa rekan kerjanya telah meninggalkan kekosongan yan mendalam. Setiap sudut ruangan seakan berbisik tentang kenangan indah bersama. Dulu, meja di sebelahnya selalu penuh dengan catatan-catatan kecil dan secangkir kopi hangat. Sekarang, hanya tersisa sebuah foto yang terbingkai di sudut meja, merekam senyum cerahnya. Perpisahan ini bukan sekadar kehilangan seorang rekan kerja, tetapi juga kehilangan seorang sahabat. Dulu, mereka sering berbagi cerita, saling mendukung, dan bersama-sama menghadapi tantangan pekerjaan. Kini, kesendirian terasa begitu nyata.

Di ruang lain, terdengar curahan hati rekan kerja" kantor baru, segalanya begitu asing. Dulu, meja kerjaku selalu berdampingan, berbagi tawa, curhat, dan tantangan pekerjaan. Kini, kursi di sebelahnya kosong, tergantikan oleh wajah-wajah baru yang belum terlalu akrab. Ruang kerjaku yang baru terasa begitu sunyi, seolah-olah masih ada gema suara tawanya yang menggema di setiap sudut ruangan. Setiap kali melihat foto kita bersama yang tertempel di layar monitor, hatiku terasa sesak. Kenangan manis tentang proyek yang berhasil kita selesaikan bersama, lelucon konyol yang pernah kita buat, dan dukungan yang selalu ia berikan, kini hanya menjadi kenangan. Aku merindukan suasana keakraban yang dulu pernah kami bangun. Meskipun begitu, aku harus tetap beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan membangun hubungan dengan rekan-rekan kerja yang baru" 

Ya begitulah cerita tentang sebuah perpisahan di tempat kerja. Dalam lanskap dunia kerja yang semakin dinamis, hubungan interpersonal antar karyawan telah menjelma menjadi aset yang tak ternilai. Interaksi sehari-hari di lingkungan kerja, mulai dari komunikasi formal hingga obrolan santai, membentuk ikatan sosial yang kuat dan berdampak signifikan pada produktivitas, kepuasan kerja, serta keberlangsungan organisasi.

Namun, di balik pesatnya perkembangan dunia kerja, kita juga menyaksikan fenomena yang cukup mengkhawatirkan, yaitu tingginya frekuensi pergantian karyawan. Berbagai faktor, mulai dari ketidaksesuaian dengan budaya perusahaan hingga adanya peluang yang lebih baik di tempat lain, mendorong karyawan untuk berpindah-pindah pekerjaan.

Pergantian karyawan ini tidak hanya berdampak pada aspek finansial perusahaan, seperti biaya rekrutmen dan pelatihan, tetapi juga menimbulkan konsekuensi psikologis dan sosiologis yang kompleks, terutama bagi karyawan yang ditinggalkan. Sayangnya, hingga saat ini, penelitian yang mendalam mengenai dampak psikologis dan sosiologis perpisahan rekan kerja masih relatif terbatas.

Apa kata ahli terkait dengan perpisahan atau perpindahan rekan kerja? 

Perpindahan rekan kerja dapat memicu berbagai reaksi emosional dan perilaku pada individu yang bersangkutan. Seperti yang dijelaskan oleh ahli sosiologi, Mark Granovetter dalam teorinya tentang kekuatan ikatan lemah, hubungan sosial yang kasual dan tidak terlalu dekat seringkali menjadi sumber informasi dan peluang yang berharga. Ketika seorang rekan kerja yang menjadi bagian dari jaringan sosial informal ini pindah, individu dapat merasa kehilangan akses ke informasi dan peluang tersebut, sehingga berdampak pada motivasi dan kinerja kerja.

Selain itu, perubahan dalam komposisi anggota kelompok kerja dapat menjadi sumber stres yang signifikan, sebagaimana ditekankan oleh model permintaan-sumber daya (demand-resource model) dari Hobfoll. Ketika seorang rekan kerja pindah, individu harus beradaptasi dengan dinamika kelompok yang baru dan mungkin merasa kekurangan sumber daya sosial yang sebelumnya tersedia. Hal ini dapat memicu perasaan stres, mengurangi kepuasan kerja, dan bahkan menurunkan kinerja tim, seperti yang dijelaskan dalam teori kelompok Tuckman tentang tahap-tahap perkembangan kelompok."

Meskipun perpindahan rekan kerja dapat menimbulkan stres, penelitian dalam psikologi positif menunjukkan bahwa peristiwa ini juga dapat menjadi peluang untuk pertumbuhan pribadi dan profesional. Seperti yang dijelaskan oleh Martin Seligman, pendiri psikologi positif, peristiwa yang menantang dapat menjadi katalisator untuk membangun karakteristik seperti ketahanan, optimisme, dan ketangguhan. Dengan kata lain, perpindahan rekan kerja dapat mendorong individu untuk mengembangkan keterampilan baru, memperluas jaringan sosial, dan menemukan makna baru dalam pekerjaan.

Bagaimana dampak psikologis perpisahan rekan kerja terhadap karyawan?

Perpisahan adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan. Begitu pula di lingkungan kerja, pergantian personel adalah hal yang lumrah terjadi. Namun, di balik pergantian itu, seringkali tersimpan dampak psikologis yang cukup signifikan bagi karyawan yang ditinggalkan.

Perpisahan dengan rekan kerja, meski hal yang lumrah terjadi dalam dunia kerja, seringkali meninggalkan bekas mendalam di hati kita. Mengapa perpisahan ini terasa begitu menyakitkan?

Salah satu alasan utama adalah ikatan sosial yang kuat yang terbentuk di lingkungan kerja. Tempat kerja bukanlah sekadar tempat kita mencari nafkah, melainkan juga menjadi rumah kedua bagi banyak orang. Di sini, kita tidak hanya berinteraksi secara profesional, namun juga membangun hubungan personal yang erat. Rekan kerja menjadi teman berbagi tawa, tempat berkeluh kesah, dan bahkan keluarga yang selalu ada. Ketika salah satu dari mereka pergi, terasa seperti kehilangan bagian penting dari hidup kita.

Rasa kehilangan yang mendalam pun tak dapat dihindari. Kehilangan rekan kerja bagaikan kehilangan anggota keluarga. Kita merasakan kesedihan, kehampaan, dan bahkan stres yang begitu mendalam. Hal ini wajar terjadi, karena kita telah terbiasa berbagi momen-momen penting dalam hidup bersama mereka.

Selain itu, ketidakpastian yang muncul setelah kepergian rekan kerja juga menjadi sumber kecemasan. Banyak pertanyaan yang berkecamuk di benak kita: "Siapa lagi yang akan mengerti proyek ini sebaik dia?", "Bagaimana cara menyelesaikan tugas yang tertunda?", atau "Akankah aku merasa kesepian di kantor?". Ketidakpastian ini membuat kita merasa tidak nyaman dan sulit untuk fokus pada pekerjaan.

Singkatnya, perpisahan dengan rekan kerja bukan sekadar pergantian personel, melainkan juga kehilangan sebuah hubungan yang berharga. Ikatan sosial yang kuat, rasa kehilangan yang mendalam, dan ketidakpastian yang muncul adalah beberapa faktor yang membuat perpisahan ini begitu menyakitkan.

Perpisahan dengan rekan kerja tak hanya meninggalkan kesedihan, tetapi juga memunculkan berbagai dampak psikologis yang dapat mengganggu keseharian kita. Beberapa di antaranya adalah:

Stres dan Kecemasan Merajalela

Ketidakpastian akan masa depan, perubahan dinamika kerja, dan kekhawatiran akan tugas yang belum selesai seringkali memicu stres dan kecemasan yang cukup signifikan. Pikiran-pikiran negatif terus berputar, membuat kita sulit untuk fokus dan tenang.

Perpisahan dengan rekan kerja seringkali membawa ketidakpastian yang signifikan. Misalnya, jika rekan kerja yang pergi adalah seorang ahli dalam bidang tertentu, kita mungkin bertanya-tanya, "Bagaimana cara menyelesaikan proyek ini tanpa bantuannya?" Atau, "Siapa yang akan mengambil alih tugas-tugasnya?" Beban kerja yang tiba-tiba bertambah juga menjadi sumber stres yang besar. Kita mungkin merasa kewalahan dan khawatir tidak dapat memenuhi semua tuntutan pekerjaan.

Perubahan dalam dinamika tim juga dapat menjadi pemicu stres. Ketika seorang rekan kerja yang sudah lama bekerja sama pergi, kita harus membangun hubungan baru dengan anggota tim yang lain. Hal ini bisa menjadi sulit, terutama jika kita merasa tidak nyaman dengan gaya kerja atau kepribadian mereka. Selain itu, kita juga mungkin kehilangan dukungan emosional yang selama ini kita dapatkan dari rekan kerja tersebut.

Ketakutan akan evaluasi kinerja negatif juga sering muncul setelah kepergian rekan kerja. Kita mungkin khawatir atasan akan menyalahkan kita atas keterlambatan proyek atau penurunan produktivitas. Selain itu, kita juga mungkin merasa tidak aman tentang masa depan kita di perusahaan. "Apakah saya akan mendapatkan promosi?" atau "Apakah saya akan dipecat?" adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran kita.

Perpisahan dengan rekan kerja tidak hanya berdampak pada kinerja kita, tetapi juga pada kesehatan mental kita. Stres dan kecemasan yang berkepanjangan dapat menyebabkan masalah tidur, gangguan makan, dan penurunan sistem kekebalan tubuh. Kita mungkin juga merasa kesepian, marah, atau sedih. Pikiran-pikiran negatif seperti "Saya tidak akan pernah bisa menggantikannya" atau "Saya tidak akan pernah menemukan teman sebaik dia" dapat terus menghantui kita.

Kesepian Menyelimuti:

Hilangnya seorang teman dekat di tempat kerja terasa seperti kehilangan bagian penting dari diri kita. Keheningan di sekitar meja kerja, kurangnya obrolan ringan, dan hilangnya dukungan emosional membuat kita merasa terisolasi dan kesepian.

Perpisahan dengan rekan kerja yang dekat bagaikan kehilangan potongan puzzle penting dalam hidup kita. Meskipun dikelilingi oleh orang-orang lain di tempat kerja, perasaan kesepian bisa menyelimuti kita dengan sangat dalam. Mengapa kesepian terasa begitu mendalam? 

Di tempat kerja, kita tidak hanya sekadar bekerja, tetapi juga membangun hubungan emosional yang kuat dengan rekan kerja. Mereka menjadi teman curhat, tempat berbagi tawa, dan bahkan keluarga kedua. Kehilangan mereka sama halnya dengan kehilangan bagian dari keluarga kita.

Kehadiran rekan kerja yang dekat telah menjadi bagian dari rutinitas kita. Misalnya, kebiasaan ngobrol sambil minum kopi di pagi hari, makan siang bersama, atau berdiskusi tentang proyek terbaru. Ketika rutinitas itu hilang, kita merasa ada yang kurang dalam hidup kita.

Rekan kerja seringkali menjadi sumber dukungan sosial yang penting. Mereka memberikan semangat, motivasi, dan membantu kita mengatasi masalah yang kita hadapi. Kehilangan dukungan ini dapat membuat kita merasa lemah dan rentan.

Motivasi Menurun Drastis: 

Kehilangan rekan kerja yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi dapat membuat semangat kerja kita menurun drastis. Kita mungkin merasa kehilangan tujuan dan tidak lagi memiliki semangat untuk memberikan yang terbaik.

Kehilangan rekan kerja yang menginspirasi adalah kehilangan yang mendalam. Mereka bukan hanya sekadar rekan kerja, tetapi juga sumber motivasi dan semangat yang tak tergantikan. Kehadiran mereka seringkali menjadi pendorong bagi kita untuk terus berkembang dan memberikan yang terbaik. Ketika mereka pergi, akan merasa seperti kehilangan arah, kehilangan tujuan yang selama ini bersama-sama kita perjuangkan. Rasa kehilangan ini dapat membuat semangat kerja kita menurun drastis, bahkan membuat kita merasa hampa dan kehilangan motivasi untuk terus berkarya.

Simpulannya bahwa stres, kecemasan, dan penurunan motivasi secara langsung berdampak pada produktivitas kerja. Kita sulit berkonsentrasi, seringkali melakukan kesalahan, dan merasa sulit untuk menyelesaikan tugas-tugas yang ada.

Stres, kecemasan, dan penurunan motivasi---tiga musuh utama produktivitas. Ketiga hal ini seringkali berjalan beriringan, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Ketika kita merasa tertekan, konsentrasi menjadi buyar, pikiran kacau, dan kesalahan pun tak terelakkan. Akibatnya, tugas-tugas yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat menjadi terasa begitu berat.

Tenggat waktu yang mendesak, konflik interpersonal di kantor, beban kerja yang melebihi batas, atau ketidakpastian masa depan---semua situasi ini dapat memicu stres yang signifikan. Stres semacam ini seringkali membuat kita sulit berkonsentrasi, pikiran menjadi kalut, dan akhirnya berdampak pada kualitas pekerjaan. Misalnya, saat deadline menumpuk, kita mungkin merasa tertekan untuk menyelesaikan semuanya sekaligus, sehingga kesalahan-kesalahan kecil menjadi lebih sering terjadi. Konflik dengan rekan kerja juga dapat menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman, menghambat kolaborasi, dan menurunkan produktivitas.

Sulit Beradaptasi dengan Lingkungan Baru

Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru tanpa kehadiran rekan kerja yang sudah pergi. Kita harus membangun hubungan baru, memahami dinamika kelompok yang berbeda, dan menyesuaikan diri dengan cara kerja yang mungkin berbeda.

Perpindahan seorang rekan kerja seringkali memicu berbagai tantangan psikologis, salah satunya adalah kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru. Kehilangan sosok yang telah menjadi teman kerja sekaligus sumber dukungan sosial dapat menimbulkan perasaan kesepian dan terisolasi. Individu mungkin merasa kesulitan untuk berbagi perasaan atau meminta bantuan kepada rekan kerja yang baru dikenal. 

Selain itu, ketidakpastian tentang masa depan dan kemampuan untuk mengatasi tantangan pekerjaan tanpa dukungan rekan sebelumnya dapat memicu rasa tidak aman dan kecemasan. Perubahan dinamika kelompok yang terjadi akibat kepergian rekan kerja juga menjadi faktor yang memperumit proses adaptasi. Individu perlu menyesuaikan diri dengan cara kerja yang baru, hierarki yang berbeda, atau gaya kepemimpinan yang baru. Terlebih lagi, jika hubungan dengan rekan kerja yang pindah sangat dekat, individu mungkin mengalami perasaan kehilangan yang mendalam. 

Sebagai contoh, dalam sebuah tim proyek, kepergian seorang pemimpin yang karismatik dapat membuat anggota tim merasa kehilangan arah dan motivasi. Sementara itu, dalam sebuah departemen pemasaran, hilangnya sosok penengah konflik dapat memicu perselisihan yang semakin sering terjadi, sehingga menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman. Dampak psikologis lainnya yang mungkin muncul akibat perpindahan rekan kerja antara lain stres, kecemasan, hingga depresi. Stres dapat muncul akibat tuntutan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, sementara kecemasan dapat dipicu oleh ketidakpastian tentang masa depan. Dalam kasus yang lebih serius, kehilangan rekan kerja yang sangat dekat dapat memicu gejala depresi.

Apa saja mekanisme coping yang digunakan oleh karyawan untuk mengatasi perpisahan rekan kerja?

Perpindahan atau kepergian rekan kerja seringkali memicu berbagai emosi, mulai dari kesedihan hingga kecemasan. Untuk mengatasi situasi ini, karyawan biasanya akan menerapkan berbagai mekanisme coping. Mekanisme coping adalah cara-cara yang kita gunakan untuk mengatasi stres dan emosi negatif.

Mekanisme coping yang umum digunakan di antaranya sebagai berikut. 

Dukungan Sosial:

Membagikan perasaan kepada teman, keluarga, atau rekan kerja lainnya dapat membantu meringankan beban emosional.

Bergabung dengan kelompok dukungan atau komunitas yang relevan dapat memberikan rasa memiliki dan pemahaman.

Strategi Kognitif:

Menerima bahwa perubahan adalah bagian dari hidup dan bahwa perpisahan adalah hal yang wajar.

Mencoba mencari makna positif dalam situasi tersebut, misalnya dengan melihatnya sebagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.

Mengubah cara pandang terhadap situasi, misalnya dengan melihat sisi positif dari kepergian rekan kerja.

Strategi Perilaku:

Melanjutkan rutinitas sehari-hari dapat memberikan rasa stabilitas dan keamanan.

Melakukan aktivitas yang menyenangkan atau menantang, seperti berolahraga, membaca, atau mengikuti hobi.

Jika kesulitan mengatasi emosi, berkonsultasi dengan psikolog atau konselor dapat membantu.

Strategi Spiritual:

Bagi yang beragama, berdoa dapat memberikan ketenangan dan kekuatan batin.

Meluangkan waktu untuk merenung dan introspeksi diri dapat membantu menemukan makna yang lebih dalam dalam hidup.

Cara kita menghadapi situasi stres sangatlah individual dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor utama adalah kepribadian. Setiap orang memiliki gaya koping yang unik, yang terbentuk dari karakteristik kepribadiannya. Misalnya, seseorang yang cenderung optimis mungkin lebih sering menggunakan strategi pemecahan masalah, sedangkan individu yang lebih pesimis mungkin lebih sering menghindari situasi yang stres.

Pengalaman masa lalu juga berperan penting dalam membentuk mekanisme coping kita. Peristiwa traumatis atau kehilangan di masa lalu dapat meninggalkan bekas psikologis yang mempengaruhi cara kita merespons stres di masa depan. Orang yang pernah mengalami kesulitan besar mungkin telah mengembangkan mekanisme koping yang efektif, tetapi juga bisa jadi terjebak dalam pola yang tidak sehat.

Dukungan sosial merupakan faktor lain yang sangat berpengaruh. Kehadiran keluarga, teman, atau komunitas yang suportif dapat memberikan kekuatan dan membantu kita mengatasi kesulitan. Sebaliknya, kurangnya dukungan sosial dapat memperparah stres dan membuat kita merasa lebih terisolasi.

Tingkat keparahan stres juga mempengaruhi pilihan mekanisme coping. Stres ringan mungkin dapat diatasi dengan cara yang sederhana, seperti berolahraga atau menghabiskan waktu di alam. Namun, stres yang berat atau berkepanjangan mungkin memerlukan strategi koping yang lebih kompleks, seperti terapi atau konseling.

Cara kita menghadapi situasi stress dapat dicontoh dengan contoh. Misalnya A dan B menunjukkan bagaimana dua orang yang berbeda dapat merespons situasi stres yang serupa dengan cara yang berbeda. A memilih untuk bergabung dengan klub olahraga sebagai cara untuk mengalihkan perhatiannya dan bertemu orang-orang baru. Ini adalah contoh mekanisme coping berbasis tindakan yang dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan suasana hati. Sementara itu, B memilih untuk mencari dukungan dari mentornya, yang merupakan contoh mekanisme coping berbasis sosial. Keduanya merupakan pilihan yang sehat dan adaptif.

Pemilihan mekanisme coping yang sehat sangat penting untuk menjaga kesejahteraan mental dan emosional. Strategi koping yang efektif dapat membantu kita mengurangi stres, meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah masalah kesehatan mental yang lebih serius. Sebaliknya, mekanisme coping yang tidak sehat, seperti penyalahgunaan zat, makan berlebihan, atau isolasi diri, hanya akan memperburuk kondisi dan menimbulkan masalah baru.

Penting untuk diingat bahwa mekanisme coping yang efektif adalah yang sesuai dengan individu dan situasi tertentu. Tidak ada satu strategi yang cocok untuk semua orang. Dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan mekanisme coping, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan hidup.

Perpindahan rekan kerja adalah hal yang wajar terjadi dalam dunia kerja. Dengan memilih mekanisme coping yang tepat, kita dapat mengatasi perasaan kehilangan dan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi stres, jadi yang terpenting adalah menemukan apa yang paling efektif untuk diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun