Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Konsep Cultural Mediator dalam Revitalisasi Nilai Budaya di Sekolah

11 Juli 2024   09:45 Diperbarui: 11 Juli 2024   13:34 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam suatu masyarakat terdapat beberapa kajian tentang pentingnya pendidikan nilai, sebagai suatu contoh masyarakat Aceh. Dengan kekhususan Aceh, Rahim (2018) menyebut berbagai isu terkait dengan Aceh, di antaranya isu intelektual (pendidikan dan isu kultural (budaya). 

Sayangnya Rahim tidak memberikan penjelasan tentang kedua isu tersebut. Namun, beberapa referensi dapat dijadikan utuk mengkorelasikannya. Pertama, isu pendidikan, Majid (2014) menyampaikan bahwa tingkat  pendidikan  mayoritas  kabupaten/kota di Aceh sudah cukup baik, namun mutunya masih sangat memprihatinkan karena meski mutu pendidikan Aceh berada di atas rangking 25 dari 34 Provinsi di Indonesia tetapi dana yang dialokasikan untuk sektor ini menempati rangking ketiga terbesar di Indonesia. Selain itu, pembangunan sektor pendidikan belum merata antar kabupaten/kota di Aceh. 

Rendahnya tingkat pendidikan di sebagian kabupaten/kota di Aceh, khususnya di kabupaten yang baru dimekarkan telah menyebabkan tingkat kemiskinan masyarakat di kawasan tersebut sangat tinggi, yaitu melebihi 20 persen (melebihi tingkat kemiskinan nasional, 14,44 persen). 

Aceh Timur juga sejak tahun 2000 mengalami pemekaran dengan daerah hasil pemekaran, yaitu Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang. Bahkan Sudarwati (2015) menyampaikan bahwa mayoritas pendidikan penduduk Provinsi Aceh adalah tamat SD. Kondisi tersebut mendorong pemerintah Aceh melakukan perencanaan untuk meningkatkan mutu sekolahnya, di antara yang ditulis oleh Ananda (2019) pada sekolah tingkat SD melalui peran kepala sekolah dan dewan guru dalam penyusunan langkah langkah peningkatan mutu pendidikan di Aceh.

Kedua, isu kebudayaan tentang stereotipe orang Aceh yang suka berkonflik, seperti yang dikaji oleh Sutrisno (2018) merujuk kajian Reid tentang sejarah konflik di Aceh setelah meninggalnya Sultan  Iskandar Muda hingga kini. Sejarah konflik di Aceh memang lebih didominasi berlatar politik tetapi di era reformasi muncul konflik yang berlatar etnisitas. Seperti yang dicontohkan oleh Sutrisno bahwa bahwa konflik Aceh khususnya di wilayah Pantai timur Aceh (Aceh  Timur, Langsa dan sekitarnya). 

Sutrisno juga menjelaskan posisi konflik di  Aceh tahun 1998, etnik Jawa justru yang menjadi objek dalam konflik tersebut. Posisi yang sangat terjepit bahwa seolah-olah etnik Jawa menjadi kambing hitam dalam menghalalkan sebuah tindakan dan dalam urusan politik. Persoalan budaya orang Aceh juga  terkait dengan aspek kenakalan remajanya. 

Seperti yang ditulis oleh Fitri (2018) bahwa kenakalan remaja di Desa Baru Aceh Selatan disebabkan oleh faktor internal sekaligus eksternal. Faktor internal merujuk pada faktor internal remaja itu sendiri dan faktor eksternal mengacu pada lingkungan keluarga dan lingkungan  sosial  pergaulan antar siswa di sekolah). 

Perilaku kenakalan remaja yang melanggar norma hukum, norma sosial dan norma agama padahal kenakalan remaja dapat dipandang gejala sakit (patologis) secara sosial atau penyimpangan sosial. Faktor internal berkaitan dengan kematangan diri secara emosional (maturing emotional self) menunjuk pada emosi yang menyangkut semua wilayah perilaku afektif dengan melibatkan aspek biologis, kognitif, dan sosial. 

Kenakalan remaja sebagian disebabkan oleh pencapaian emosi yang kurang matang selain persoalan konsepsi diri. Remaja menjadi nakal karena belum mampu melakukan kontrol emosi secara lebih tepat dan mengekspresikan emosi dengan cara-cara yang diterima oleh  masyarakat.

 Sementara itu, menurut Fitri, faktor ekstern yang menyebabkan kenakaln remaja di antaranya adalah kontak sosial dari lembaga masyarakat kurang efektif karena sistem pengawasan lembaga-lembaga sosial masyarakat terhadap pola perilaku anak muda sekarang kurang berjalan dengan baik dan efek teknologi informasi yang membawa pesatnya budaya asing yang masuk mempengaruhi pola tingkah  laku di kala anak anak belum siap mental sehingga seakan terlepas dari tatanan nilai-nilai dan norma yang berlaku.

Sudah ada langkah yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam mengatasi persoalan budaya dengan menempatkan peran pendidikan. Lembaga pendidikan dapat membantu mengatasi kenakalan remaja dengan cara mendidik remaja dengan baik dan mengarahkan mereka terhadap hal-hal positif dengan cara menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun