Mohon tunggu...
Siti Hajar as anjar
Siti Hajar as anjar Mohon Tunggu... Lainnya - Fungsional Administrator Kesehatan Ahli Madya, Kemenkes 🇮🇩 🇮🇩

Imajiner keeper, loves growing and developing learning by process and experience, and follow the passion

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dampak Pro dan Kontra Transformasi Birokrasi

29 Mei 2022   03:00 Diperbarui: 9 Mei 2023   14:11 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saat ini beberapa instansi pemerintah/ Kementerian Lembaga (KL) sedang dalam proses transformasi manajemen kerja mendukung program organisasi berbasis fungsional. Dalam mewujudkan hal tersebut beberapa instansi pemerintah /KL  mengalami penggabungan untuk penyederhanaan birokrasi yang lebih efektif, dinamis, dan kolaboratif.

Penyederhanaan birokrasi di instansi pemerintah/ KL ini merupakan program Presiden dalam rangka mempercepat pengambilan keputusan, dimana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) merupakan instansi yang diberikan kewenangan. 

Kebijakan tersebut didukung dengan peraturan penyederhanaan birokrasi  yang tertuang dalam SE Menpan-RB No. 382 s.d. 393 Tahun 2019 tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi dan Peraturan Menteri PANRB Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional.

Seluruh instansi pemerintah/ KL dituntut melakukan penyelarasan birokrasi guna mendukung kebijakan tersebut, karena terkait pembentukan kebutuhan jabatan fungsional (JF) baru. Dimana instansi pemerintah/ KL ini akan membuka peta jenis JF untuk penempatan bagi penyetaraan jabatan administrator (eselon III), pengawas (eselon IV), dan pelaksana (eselon V). 

Namun, kenyataannya masih terdapat pro dan kontra penyederhanaan birokrasi kebijakan Kemenpan-RB tersebut, sehingga masih ada instansi pemerintah/ KL yang belum melaksanakannya. Hal ini berdampak terbatasnya pilihan jenis JF sesuai keahlian, kompetensi dan pengetahuan dikarenakan instansi pemerintah/ KL terkait belum melakukan transformasi.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994, jabatan fungsional  adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri .

Merujuk aturan tersebut artinya menjadi seseorang yang menempati jabatan fungsional harus mandiri dan didukung dengan keahlian tertentu yang dimiliki.

Penyetaraan struktural menjadi fungsional seyogyanya tidak kaku  ketika pada prosesnya, setelah dijalani ternyata tidak sesuai keahlian, pengetahuan dan kompetensinya atau dengan tugas-tugasnya. Berikutnya agar diberi peluang atau kesempatan dan kemudahan untuk alih jabatan fungsional untuk pengembangan karirnya sesuai passion, agar tidak merasa dirugikan.

Dilematik penempatan  jabatan fungsional dari pengalihan pejabat struktural adalah ketika belum tersedianya jenis jabatan fungsional yang dibutuhkan dan sesuai dengan eksisting pelaksanaan tugas-tugasnya. Bahkan pada jenis jabatan fungsional tertentu  hanya tersedia sampai jenjang mahir. Tentunya hal ini  berdampak yang merugikan  bagi jenjang karir dan golongan ASN tersebut.

Dimana selama menjadi struktural dapat bekerja mendarmabaktikan ide dan gagasan terkait tugas-tugas yang diberikan, namun kenyataannya semua tugas yang dilaksanakan tidak terkait dengan butir-butir penyetaraan jabatan fungsionalnya. Hal ini dikarenakan belum tersedianya jenis JF yang sesuai atau jenjang JF  di unitnya bekerja. Salah satu faktor penyebab juga dikarenakan unit/ instansi/ KL sebagai pembina teknis  JF terkait belum  ‘deselonisasi’ atau belum melakukan tranformasi birokrasi.

Akhirnya ASN tersebut tidak ada pilihan “harus menerima” jabatan fungsional yang tidak sesuai dengan pelaksanaan tugasnya, yang mana tidak memiliki keahlian dan kompetensi yang cukup. Bahkan terdapat contoh kasus pada  JF tertentu hanya tersedia jenjang terampil dan mahir, selain tidak ada pilihan lain bagi ASN tersebut kecuali menerima jenjang JF yang ada. Padahal pendidikannya sudah S-2, golongan sudah III d, dan pengalaman kerja sudah lebih dari 10 tahun.

Seyogyanya tujuan dari organisasi berdasarkan fungsional bagi setiap ASN diharapkan mendapatkan tempat dan layak untuk dihargai sesuai dengan passionnya. Dari sanalah ide – ide atau gagasan baru akan muncul dan memberikan kesempatan ASN tersebut untuk berkarir dalam jabatan fungsionalnya.

Fakta lain terjadi di lapangan terdapat dampak perubahan pada budaya kerja, berbagai interprestasi  berkembang memaknai arti 'kemandirian' dalam masa transisi transformasi birokrasi ini. Tentunya, kedepan hal ini akan berakibat pada pencapaian tujuan organisasi dan terciptanya budaya kerja yang baik dan sehat. 

Beberapa fenomena yang terjadi dilapangan pasca penerapan kebijakan organisasi berdasarkan fungsional adalah :  

  • Belum jelasnya batasan penugasan antara jabatan fungsional madya,  muda,  mahir, pratama, terampil dan jabatan pelaksana atau honorer. Secara peraturan untuk fungsional sudah diatur, namun pelaksanaanya masih tumpang tindih.
  • Dominasi pekerjaan dalam pelaksanaan tugas semakin kental, tidak menghargai rekan kerja lainnya.
  • Masih banyak penugasan berdasarkan sistem like or dislike, sehingga terdapat kesenjangan penugasan.
  • Overlapping penugasan pekerjaan yang dapat menimbulkan konflik.
  • Semakin aman di zona nyaman,  khususnya bagi ASN dengan masa kerja diatas 5 tahun yang mendapatkan jabatan fungsional di tempat yang sama.
  • Egoisme, tidak peduli  sesama rekan kerja karena merasa lebih paham dan menganggap yang lain tidak mampu.
  • Tidak terdapat keterbukaan atau transparan memberikan informasi, karena kompetisi dalam mendapatkan tugas.

Budaya Kerja https://www.kajianpustaka.com  menurut Hartanto (2009) merupakan perwujudan dari kehidupan yang dijumpai di tempat kerja. Budaya kerja adalah suatu sistem makna yang terkait dengan kerja, pekerjaan, interaksi kerja, yang disepakati bersama, dan digunakan dalam kehidupan kerja sehari-hari.

Lalu apakah budaya kerja masih diperlukan pada penerapan organisasi berbasis fungsional?, dan bagaimana mengatasi fenomena diatas?

Bentuk pola kerja organisasi berdasarkan jabatan fungsional seharusnya diiringi dengan kesiapan budaya kerja yang baik. Memang perlu diperjelas dengan pengaturan bekerja secara ‘Mandiri’ tersebut seperti apa?, karena kenyataannya  sebagian ASN ada yang memaknai dalam arti sempit.

Agar keberhasilan program Presiden terwujud, diperlukan indikator budaya kerja sebagai kontrol. Apa saja indikator budaya kerja tersebut?. Menurut Nurhadijah (2017), pada https://www.kajianpustaka.com adalah:

  1. Disiplin, perilaku yang senantiasa berpijak pada peraturan dan norma yang berlaku di dalam maupun di luar perusahaan.
  2. Keterbukaan, kesiapan untuk memberi dan menerima informasi yang benar dari dan kepada sesama mitra kerja untuk kepentingan perusahaan.
  3. Saling menghargai, perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap individu, tugas dan tanggung jawab orang lain sesama mitra kerja.
  4. Kerja sama, kesediaan untuk memberi dan menerima kontribusi dari dan atau kepada mitra kerja dalam mencapai sasaran dan target perusahaan.


Oleh karena itu, arahan Menpan-RB  perlu percepatan penyelarasan pembagian peran dan tanggung jawab yang lebih jelas kinerja jabatan fungsional sejalan dengan kinerja seluruh organisasi. Dan pengaturan pola kerja fungsional yang detail dan proses bisnis yang sederhana, serta penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang terintegrasi. Dimana indikator budaya kerja dapat menjadi kontrol  terwujudnya kebijakan Presiden dengan dampak positif yang lebih besar dibandingkan sebaliknya.

Pasca penerapan kebijakan tersebut perlunya dibuka peluang yang memberikan kemudahan atau fleksibilitas bagi pengembangan karier ASN (yang terimbas penyetaraan struktural), agar memiliki jabatan fungsional yang sesuai. JF yang sesuai dengan keahlian/ keterampilan, pengetahuan dan kompetensi akan memberikan  motivasi, serta dapat mengembangkan ide dan gagasan yang kreatif.

Fleksibilitas kesesuaian JF berdasarkan keahlian/ keterampilan, pengetahuan dan kompetensi ini seharusnya juga memberikan kemudahan  bagi pengembangan karier ASN yang JF nya melalui uji kompetensi, disamping tetap memperhatikan kebutuhan organisasi. 

Terakhir dan utama, diharapkan Kemenpan-RB dapat mendorong instansi pemerintah/ KL yang belum melakukan transformasi manajemen, untuk segera mempercepat dilakukannya penyederhanaan birokrasi. Masih adanya instansi pemerintah/ KL yang belum melakukan transformasi  berdampak pada percepatan pembentukan jenis JF baru yang dibutuhkan. Selain itu juga berdampak terhadap ketidaksesesuaian atau tidak tersedianya pilihan jenis JF yang sesuai dengan keahlian/ keterampilan, pengetahuan dan kompetensi ASN tersebut.

Akhir kata sebagai evaluasi, pasca kebijakan transformasi birokrasi perlunya impact evaluation oleh Kemenpan-RB pada instansi pemerintah/ KL yang sudah menerapkan maupun yang belum melaksanakan. Hal ini dilakukan, agar tujuannya bukan hanya sekedar memotong birokrasi. Akan tetapi  juga mengetahui apakah jenis JF yang ada sudah mengakomodir dan memenuhi sesuai kebutuhan keahlian, pengetahuan dan kompetensi. 

Dengan kebijakan organisasi berbasis fungsional tentunya diharapkan kinerja organisasi lebih optimal, pengambilan keputusan lebih efektif, dinamis, dan kolaboratif  sesuai arahan Presiden.  Oleh karena itu diperlukan workload analysis yang fair dan tidak berfikir parsial dalam rangka memberikan solusi perbaikan untuk jenjang karir ASN di jabatan fungsional kedepan yang lebih baik. 

Semangat Transformasi Birokrasi !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun