Mohon tunggu...
Sita bkn Siti
Sita bkn Siti Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sayaa suka kamuu

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Hukum yang Sah, Keadilan yang Dipertanyakan: Kasus Baiq Nuril dalam Kerangka Positivisme

24 September 2024   21:08 Diperbarui: 24 September 2024   21:14 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Kasus: Baiq Nuril Maknun

Baiq Nuril Maknun adalah seorang pegawai honorer di Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang bekerja di sebuah sekolah menengah atas. Kasus ini bermula ketika Baiq Nuril mengalami pelecehan verbal dari atasannya, yang sering melakukan panggilan telepon dengan muatan seksual. Untuk melindungi diri dan mengumpulkan bukti, Baiq Nuril merekam salah satu percakapan tersebut. Suatu hari, rekaman itu tersebar tanpa sepengetahuannya, yang kemudian membuat Baiq Nuril dilaporkan oleh atasannya karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman penjara serta denda oleh Mahkamah Agung, meskipun publik banyak mendukungnya sebagai korban pelecehan.

Analisis Filsafat Hukum Positivisme: Dalam pandangan hukum positivisme, hukum adalah aturan yang dibuat oleh otoritas resmi, dan aturan tersebut harus ditegakkan sesuai dengan bunyi undang-undang yang tertulis. Pada kasus Baiq Nuril, hukum yang menjadi acuan adalah UU ITE, yang melarang penyebaran informasi elektronik tanpa izin pihak yang bersangkutan. Meski Baiq Nuril sebenarnya adalah korban pelecehan dan tidak bermaksud menyebarkan rekaman tersebut, dari sudut pandang positivisme, fokusnya adalah pada pelanggaran terhadap aturan tertulis, bukan konteks moral atau niat di balik tindakan tersebut.

  • Aturan Hukum yang Jelas: Dalam hukum positivisme, undang-undang harus diikuti secara tegas. Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang mengatur tentang pelanggaran privasi melalui penyebaran informasi elektronik menjadi dasar untuk menuntut Baiq Nuril, meskipun dia adalah korban dalam situasi ini. Karena rekaman tersebut tersebar, Baiq dianggap melanggar aturan hukum positif yang ada.
  • Kepastian Hukum: Positivisme hukum menekankan pada kepastian dan kejelasan hukum. Dengan menggunakan hukum tertulis yang sah, kasus Baiq Nuril diputuskan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, tanpa mempertimbangkan faktor moralitas atau keadilan substantif. Dari sudut pandang positivisme, ini adalah cara untuk menjaga ketertiban sosial dan menghindari ketidakpastian dalam penegakan hukum.

Namun, pendekatan ini menimbulkan kritik karena tidak mempertimbangkan keadilan substantif yaitu, apakah keputusan itu adil secara sosial dan moral. Dalam kasus Baiq Nuril, banyak pihak merasa bahwa ia tidak pantas dihukum, mengingat ia adalah korban pelecehan dan bukan pihak yang menyebarkan rekaman secara sengaja. Meskipun secara hukum positivisme vonis tersebut sah, keputusan ini dianggap tidak mencerminkan keadilan yang sebenarnya.

Apa Itu Mazhab Hukum Positivisme?

Mazhab hukum positivisme adalah aliran pemikiran dalam filsafat hukum yang berpendapat bahwa hukum adalah aturan yang dibuat oleh otoritas resmi, seperti pemerintah atau lembaga legislasi, dan harus dipatuhi tanpa mempertimbangkan apakah aturan itu dianggap adil atau tidak secara moral. Mazhab ini menekankan bahwa hukum dan moralitas harus dipisahkan. Dalam pandangan ini, hukum yang sah adalah hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi resmi, bukan karena aturan tersebut dianggap baik atau buruk menurut moral.

Beberapa prinsip utama mazhab hukum positivisme adalah:

  1. Hukum Tertulis dan Resmi: Hukum adalah aturan yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki otoritas, seperti pemerintah atau parlemen, dan aturan itu mengikat semua orang di wilayah hukum tersebut.
  2. Kepastian Hukum: Hukum harus jelas, tertulis, dan diikuti secara konsisten. Ini memberikan kepastian hukum, sehingga masyarakat tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
  3. Pisah dari Moralitas: Positivisme hukum tidak memperhitungkan apakah aturan tersebut adil secara moral. Selama hukum tersebut dibuat oleh otoritas yang sah, maka hukum itu harus ditegakkan tanpa memperhatikan apakah hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral atau tidak.


Mazhab Hukum Positivisme dalam Hukum di Indonesia

Mazhab hukum positivisme memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin kepastian dan stabilitas hukum di Indonesia. Sistem hukum Indonesia banyak mengadopsi pendekatan positivisme, di mana aturan-aturan hukum tertulis, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah, menjadi pedoman utama dalam penegakan hukum. Hal ini memberikan stabilitas dalam sistem hukum, karena aturan yang tertulis memberikan kejelasan bagi masyarakat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Positivisme hukum sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, yang terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya. Dengan adanya aturan hukum tertulis yang sah, hukum dapat diterapkan secara seragam tanpa dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya atau moralitas yang berbeda-beda di setiap daerah. Contohnya, UU ITE dan KUHP adalah undang-undang tertulis yang memberikan pedoman yang jelas bagi penegak hukum dalam menyelesaikan berbagai kasus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun