Mohon tunggu...
Shishi Amelia
Shishi Amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Saya adalah Mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta yang sedang menjalani program studi Pendidikan Sosiologi angkatan 2023.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Sosial dan Body Dysmorphia

31 Maret 2024   11:50 Diperbarui: 31 Maret 2024   11:59 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama                   : Shishi Amelia

NIM                      : 1405623019

Program Studi : Pendidikan Sosiologi

Sisyamel9@gmail.com

Perkembangan teknologi dan perputaran informasi menjadi sangat pesat di era serba digitalisasi sekarang, banyak orang belomba-lomba membuat platform untuk bersosialisasi secara maya dengan orang dari berbagai belahan dunia. Kehadiran internet yang menunjang keinginan tersebut melahirkan media sosial. 

Media sosial adalah sebuah bentuk perantara sosial dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain tanpa bersentuhan langsung. Pada saat ini penggunaan media sosial sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari banyak orang, telebih remaja. Tentu saja penggunaanya membawa pengaruh, tidak hanya bagian positifnya namun juga bagian negatifnya.

Banyak pengaruh negatif media sosial mempengaruhi perilaku remaja, salah satunya mengenai persepsi tubuh individu. Fenomena gangguan mental ini biasa dikenal dengan body dysmorphia atau dismorfik tubuh. Gangguan mental ini mengakibatkan individu memiliki pandangan yang tidak akurat tentang penampilan fisiknya. 

Seorang individu akan mengkritisi apa yang mereka anggap adalah kecacatan yang membuatnya tak menarik, sering kali kecacatan yang dimaksud tidak disadari oleh orang sekitarnya. Individu tersebut memiliki rasa rendah diri yang berlebih sehingga menimbulkan kebencian yang mendalam mengenai tubuhnya dan mengarah pada pembentukan perilaku obsesif dengan penampilannya. Perilaku ini sering terlihat dan dialami oleh para remaja terutama remaja perempuan.

Remaja perempuan sering kali merasa rendah diri (insecure) terhadap fisiknya, bagian seperti hidung pesek, wajah bulat, kulit hitam, badan gemuk, bibir besar, rambut keriting dan sebagainya. Juga bisa tentang apapun yang terjadi pada tubuhnya, seperti munculnya jerawat, hiperpigmentasi, luka garukan dan lainnya.

Perempuan diidentikan dengan kecantikan yang sempurna, oleh sebab itu perempuan dituntut untuk selalu tampil menarik semerta-merta untuk diterima dan diakui masyarakat. Penilaian negatif dari masyarakat untuk perempuan yang tidak sesuai dengan standar sosial tentang definisi cantik sering kali mendapat olok-olok, bukan hanya dari orang yang mereka tidak kenal tetapi juga keluarga mereka sendiri. Pengalaman tersebut bahkan sudah dirasakan remaja perempuan sejak mereka kecil.

Lalu apa hubungannya dengan media sosial?

Dalam konteks sosiologi, media sosial digunakan sebagai sarana membentuk identitas sosial. Melalui platform seperti instagram, tiktok, facebook dan lain sebagainya yang memungkinkan penggunanya berbagi gambar serta video singkat. Dari sini lah terbentuk sebuah ekspetasi yang tidak realistis akan gambaran 'tubuh yang sempurna'. 

Namun, landasan konstruksi tersebut tidak sepenuhnya benar. Di era digitalisasi ini sudah sangat mudah untuk memanipulasi gambar, dengan mengedit bentuk tubuh ataupun menggunakan filter. Kemajuan teknologi juga berperan dalam kemajuan industri kecantikan, dimana segala prosedur mengubah tubuh seseorang dari ujung rambut hingga ujung kaki sudah tersedia. Karenanya gambaran 'tubuh yang sempurna' tersebut tidaklah selalu 'natural'. Para remaja hingga dewasa awal dengan frekuensi mereka yang lebih sering menggunakan media sosial-lah yang terdampak oleh standar tersebut.

Dengan paparan yang terus-menerus membuat individu terdorong untuk memenuhi ekspetasi yang tidak realistis tersebut. Banyak orang cenderung berusaha memperlihatkan bagian terbaik dari diri mereka, termasuk penampilan fisik yang dianggap memenuhi standar sosia melalui postingan foto atau video untuk mendapatkan pengakuan dan validasi dari komunitas online. Secara aktif menciptakan narasi tentang dirinya, oleh sebab itu validasi orang lain menjadi penting untuk memverifikasi narasi yang mereka ciptakan.

Media sosial yang bersifat maya, memungkinkan seseorang memalsukan atau menyembunyikan identitasnya membuat seseorang bersifat anonim. Anonimitas ini membuat seseorang lebih berani untuk meyuarakan opininya karena mereka merasa identitasnya aman. Kesempatan ini sering kali disalah gunakan untuk berkomentar negatif di media sosial.

Komentar negatif ini diarahkan pada postingan seseorang yang dianggap tidak sesuai standar sosial, terutama soal kecantikan. Standar kecantikan di Indonesia sendiri adalah perempuan yang berkulit putih, mulus tanpa luka, memiliki tubuh kurus dan berambut hitam legam yang lurus dan panjang. Serta wajah tirus tanpa bekas jerawat, bibir tipis dan hidung kecil yang mancung. Perilaku tersebut biasa dikenal dengan body shaming, perilaku dimana terjadinya penghinaan atau pengejekan atas tubuh seseorang. Body shaming bertarget yang dilakukan banyak orang di sosial media dapat disebut sebagai tindakan cyberbullying.

Seseorang yang sudah 'haus' akan validasi sosial tentu saja akan berdampak oleh komentar negatif tersebut. Para remaja yang identitas dirinya masih belum padat akan membiarkan komentar negatif itu memasuki benaknya, mempengaruhi narasi dikepalanya menyatakan bahwa dirinya tidak cukup 'cantik' atau 'menarik'. 

Upaya pengejaran abadi untuk penampilan tubuh yang diinginkan, sering kali mendorong remaja mengambil langkah yang lebih intens, seperti diet ekstrem (hanya minum air putih atau hanya makan satu buah-buahan dalam sehari) atau bahkan melakukan operasi kecantikan. Hal tersebut dilakukan semerta-merta untuk validasi sosial yang tidak pernah terpuaskan, memicu kuatnya kebencian diri dan perasaan terisolasi.

Dari paparan kritisan terus-menerus akan menimbulkan kerusakan psikologis pada remaja, terutama remaja yang sudah memiliki rasa percaya diri yang rendah maka akan rentan mengalami body dysmorphia. Kritikan tentang tubuh dan  penampilan menimbulkan jengah yang mendalam terhadap harga diri dan integrasi sosial para remaja tersebut. 

Gangguan mental ini tidak bisa dianggap sepele, rasa cemas terhadap antensi dari orang lain, stress berlebih dan depresi berat adalah kodisi yang akan muncul dan dapat mengarah pada gangguan mental lain seperti anorexia, eating disorder, OCD, social anxienty, hingga self harm. Titik tertinggi dari body dysmorphia ketika para remaja tersebut jatuh dalam egoistic suicide. Tindakan yang diambil oleh seseorang ketika mereka merasa putus asa atau terisolasi dari lingkungan sosial mereka.

Kasus nyata pernah dialami oleh seorang aktris china, Zhao Qing. Dia adalah salah satu pemeran dalam drama "Scent Of Time" yang mendapat kritikan negatif dari netizen media sosial, khususnya weibo.

Dilansir dari video yang diposting oleh pengguna Tiktok @candiselin98, seseorang yang sering berbagi cerita menarik yang sedang viral di China melalui lamannya. Pada salah satu video (01/27/2024), dia menceritakan tentang aktris berusia 23 tahun tersebut. Bagaimana komentar netizen di media sosial memberikan kritikan negatif tentang bentuk wajahnya yang terlihat 'tembam', dimana hal ini dianggap tidak sesuai dengan standar kecantikan di China. 

Aktris tersebut melakukan diet ekstem dengan hanya memakan 'brown rice porridge' atau bubur nasi merah selama 7 hari penuh. Tidakan tersebut bahkan didukung oleh managernya sendiri, meskipun dibarengi dengan olahraga, sudah jelas bahwa tindakan tersebut terlihat berbahaya. Dalam video juga diberikan informasi bahwa sang aktris turun berat badan hingga 48 kg, dimana berat ini termasuk sangat rendah mengingat tingginya 170 cm. 

Namun, netizen di media sosial tidak pernah puas, karena penurunan berat badan sang aktris belum cukup untuk membuatnya tidak 'tembam' lagi. Menambah kegilaan yang sudah terjadi, managernya bahkan mengatakan sang aktris perlu menurunkan berat badannya hingga 42,5 kg. Bayangkan tekanan mental yang dirasakan aktress tersebut.

Individu yang sedang mengalami body dysmorphia, akan dihantui perasaan cemas dan kesadaran diri yang berlebih tentang bagaimana penampilan mereka terlihat oleh orang lain. Mereka sangat takut dengan atensi yang didapat dan akan selalu berpikir setiap orang pasti mengkritik kekurangannya, kemudian individu tersebut akan merasa putus asa, menyalahkan dirinya karena tidak bisa mewujudkan standar kecantikan seperti orang-orang disekitarnya. Pada akhirnya individu tersebut merasa tidak terkoneksi dengan lingkungnnya, dari sinilah perasaan terisolasi muncul.

Disamping itu, media sosial menjadi tempat banyak standar sosial dipelihara, termasuk standar kecantikan. Dengan sistem like, komentar dan berbagi yang tersedia di platform media memudahkan proses penilaian sosial yang berkelanjutan terhadap penampilan fisik seseorang. Fenomena ini biasa disebut dengan 'toxic beauty standar'

Oleh karena itu, penting bagi semua orang untuk memahami pengaruh media sosial terhadap persepsi tubuh dan langkah preventif untuk melindungi kesehatan mental.

Banyak langkah yang dapat diambil, namun langkah pertama dengan membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial dan menghindari berinteraksi dengan postingan-postingan yang menyebabkan perasaan negatif. Platform media sosial beroperasi dengan algoritma yang diciptakan penggunanya sendiri, karenanya hal ini dapat digunakan untuk mengubah tampilan media sosial agar menampilkan lebih banyak postingan positif.

Selanjutnya menerapkan sikap body positivity dan selflove, hal ini ditunjukkan sebagai bentuk penghargaan terhadap fisik mereka. Blokir setiap orang yang meninggalkan komentar negatif di laman sosial, tidak perlu sampai memikirkannya lebih jauh.

Remaja perlu memahami tentang nilai dan fisik adalah dua hal yang berbeda. Bagaimana penampilan seseorang dan apapun yang terjadi di dalam, di luar, atau pada tubuh, tidak akan mengurangi seberapa berharganya seseorang sebagai perempuan.

Dengan ini pula, diharapkan kita sebagai pengguna internet, perlulah kebijakan dalam menggunakannya. Jaga jari untuk tidak meninggalkan komentar negatif, apalagi yang berkaitan dengan penampilan fisik seseorang, karena kita tidak mengetahui kondisi mental yang sedang mereka alami. Sebagaimana sebuah kata bijak yang mungkin sering kita dengar "lebih baik diam, jika tidak punya hal baik untuk dikatakan".

DAFTAR PUSTAKA

Febrianti, Y., & Fitria, K. (2020). Pemaknaan dan sikap perilaku body shaming di media sosial (Sebuah studi etnografi digital di Instagram). Diakom: Jurnal Media dan Komunikasi, 3(1).

Lestari, S. (2017). Karakteristik distorsi kognisi pada remaja putri penderita gangguan dismorfik tubuh. Prosiding Temu Ilmiah X Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia: Peran Psikologi Perkembangan dalam Penumbuhan Humanitas pada Era Digital, 1(1).

Octavia, N. (2018). Body Dysmorphic Disorder, Gangguan Jiwa Akibat Media Sosial. Diakses pada 30 maret 2024, dari https://www.klikdokter.com/psikologi/kesehatan-mental/body-dysmorphic-disorder-gangguan-jiwa-akibat-media-sosial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun