Aktris tersebut melakukan diet ekstem dengan hanya memakan 'brown rice porridge' atau bubur nasi merah selama 7 hari penuh. Tidakan tersebut bahkan didukung oleh managernya sendiri, meskipun dibarengi dengan olahraga, sudah jelas bahwa tindakan tersebut terlihat berbahaya. Dalam video juga diberikan informasi bahwa sang aktris turun berat badan hingga 48 kg, dimana berat ini termasuk sangat rendah mengingat tingginya 170 cm.Â
Namun, netizen di media sosial tidak pernah puas, karena penurunan berat badan sang aktris belum cukup untuk membuatnya tidak 'tembam' lagi. Menambah kegilaan yang sudah terjadi, managernya bahkan mengatakan sang aktris perlu menurunkan berat badannya hingga 42,5 kg. Bayangkan tekanan mental yang dirasakan aktress tersebut.
Individu yang sedang mengalami body dysmorphia, akan dihantui perasaan cemas dan kesadaran diri yang berlebih tentang bagaimana penampilan mereka terlihat oleh orang lain. Mereka sangat takut dengan atensi yang didapat dan akan selalu berpikir setiap orang pasti mengkritik kekurangannya, kemudian individu tersebut akan merasa putus asa, menyalahkan dirinya karena tidak bisa mewujudkan standar kecantikan seperti orang-orang disekitarnya. Pada akhirnya individu tersebut merasa tidak terkoneksi dengan lingkungnnya, dari sinilah perasaan terisolasi muncul.
Disamping itu, media sosial menjadi tempat banyak standar sosial dipelihara, termasuk standar kecantikan. Dengan sistem like, komentar dan berbagi yang tersedia di platform media memudahkan proses penilaian sosial yang berkelanjutan terhadap penampilan fisik seseorang. Fenomena ini biasa disebut dengan 'toxic beauty standar'
Oleh karena itu, penting bagi semua orang untuk memahami pengaruh media sosial terhadap persepsi tubuh dan langkah preventif untuk melindungi kesehatan mental.
Banyak langkah yang dapat diambil, namun langkah pertama dengan membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial dan menghindari berinteraksi dengan postingan-postingan yang menyebabkan perasaan negatif. Platform media sosial beroperasi dengan algoritma yang diciptakan penggunanya sendiri, karenanya hal ini dapat digunakan untuk mengubah tampilan media sosial agar menampilkan lebih banyak postingan positif.
Selanjutnya menerapkan sikap body positivity dan selflove, hal ini ditunjukkan sebagai bentuk penghargaan terhadap fisik mereka. Blokir setiap orang yang meninggalkan komentar negatif di laman sosial, tidak perlu sampai memikirkannya lebih jauh.
Remaja perlu memahami tentang nilai dan fisik adalah dua hal yang berbeda. Bagaimana penampilan seseorang dan apapun yang terjadi di dalam, di luar, atau pada tubuh, tidak akan mengurangi seberapa berharganya seseorang sebagai perempuan.
Dengan ini pula, diharapkan kita sebagai pengguna internet, perlulah kebijakan dalam menggunakannya. Jaga jari untuk tidak meninggalkan komentar negatif, apalagi yang berkaitan dengan penampilan fisik seseorang, karena kita tidak mengetahui kondisi mental yang sedang mereka alami. Sebagaimana sebuah kata bijak yang mungkin sering kita dengar "lebih baik diam, jika tidak punya hal baik untuk dikatakan".
DAFTAR PUSTAKA
Febrianti, Y., & Fitria, K. (2020). Pemaknaan dan sikap perilaku body shaming di media sosial (Sebuah studi etnografi digital di Instagram). Diakom: Jurnal Media dan Komunikasi, 3(1).