Mohon tunggu...
Sisxa Regiana Q. K
Sisxa Regiana Q. K Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Jember

Saya adalah seorang mahasiswa Ekonomi Pembangunan dengan minat mendalam pada ekonomi moneter. Saya tertarik untuk memahami bagaimana kebijakan moneter dan fiskal dapat memengaruhi stabilitas ekonomi dan pertumbuhan jangka panjang, serta dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Strategi Makro Prudensial untuk Ketahanan Sistem Keuangan, Pelajaran dari Krisis COVID-19

22 November 2024   00:38 Diperbarui: 22 November 2024   07:03 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

penurunan aktivitas ekonomi selama krisis seperti COVID-19 menunjukkan kerentanan mendasar dalam sistem keuangan. Perbankan dan lembaga keuangan non-bank menghadapi risiko kredit macet yang meningkat karena banyak debitur, baik individu maupun korporasi, kehilangan kemampuan bayar akibat penurunan pendapatan. Tekanan likuiditas menjadi masalah karena arus kas terganggu, sementara volatilitas pasar keuangan memperburuk kepercayaan investor.

Ketergantungan pada stimulus fiskal dan moneter untuk mencegah kehancuran sistemik menjadi solusi darurat yang diperlukan, tetapi ini bukanlah solusi jangka panjang. Perlu ada kebijakan struktural yang memastikan keberlanjutan sistem keuangan, seperti penguatan penyangga modal bank, diversifikasi risiko, serta pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga non-bank. 

Selain itu, inklusi keuangan dan literasi masyarakat harus ditingkatkan untuk menciptakan ketahanan ekonomi yang lebih luas, sehingga dampak krisis di masa depan dapat diminimalkan.

Langkah-langkah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, seperti penurunan suku bunga bertujuan mendorong pinjaman dan konsumsi, namun dapat mengurangi margin keuntungan bank jika dilakukan terlalu lama. Restrukturisasi kredit adalah solusi jangka pendek yang memberikan kelonggaran kepada debitur, tetapi perlu diimbangi dengan pengawasan risiko kredit agar tidak memicu masalah kredit macet di masa depan.

Pelonggaran aturan permodalan dan implementasi capital buffer memungkinkan bank tetap mendukung perekonomian tanpa khawatir melanggar regulasi. Namun, kebijakan ini harus disertai dengan rencana untuk mengembalikan penyangga modal ketika ekonomi pulih, guna menjaga ketahanan di masa mendatang.

Sementara itu, perlindungan likuiditas melalui fasilitas kredit dari bank sentral merupakan langkah krusial untuk mencegah kepanikan pasar dan memastikan fungsi intermediasi berjalan. 

Namun, penggunaannya harus tetap terukur agar tidak menciptakan moral hazard atau ketergantungan berlebihan pada bank sentral. Keseluruhan kebijakan ini harus dilaksanakan secara sinergis, fleksibel, dan berbasis data untuk memitigasi risiko sistemik secara efektif.

Sistem keuangan yang tangguh terhadap guncangan eksternal adalah kunci keberlanjutan ekonomi. Ketahanan ini dapat dicapai melalui diversifikasi risiko, penguatan modal, dan penerapan kebijakan makroprudensial yang proaktif. Pelajaran dari krisis global, termasuk pandemi covid19, menunjukkan pentingnya membangun sistem yang tidak hanya reaktif, tetapi juga antisipatif terhadap risiko.

Teknologi dan digitalisasi memainkan peran sentral dalam meningkatkan efisiensi operasional lembaga keuangan, khususnya dalam memperluas inklusi keuangan dan mengurangi biaya transaksi. 

Platform digital memungkinkan akses yang lebih cepat dan luas ke layanan keuangan, termasuk di daerah terpencil, sekaligus memberikan alat analitik untuk memantau risiko secara real-time. Namun, adopsi teknologi juga memerlukan penguatan keamanan siber dan perlindungan data.

Kelemahan dalam kebijakan makroprudensial, seperti kurangnya fleksibilitas untuk merespons krisis secara cepat, harus segera diatasi. Kebijakan perlu lebih adaptif dan berbasis data, dengan mekanisme evaluasi yang memungkinkan revisi regulasi sesuai kondisi pasar. Regulasi yang terlalu kaku dapat memperlambat pemulihan, sementara yang terlalu longgar berisiko menciptakan instabilitas di masa depan. Kombinasi strategi yang kuat, inovasi teknologi, dan kebijakan yang fleksibel akan membangun sistem keuangan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Kolaborasi internasional adalah langkah yang sangat strategis dalam menghadapi tantangan ekonomi global, terutama dalam konteks stabilitas keuangan dan mitigasi risiko sistemik . Pengalaman global, seperti krisis keuangan 2008, memberikan wawasan berharga tentang kelemahan sistem keuangan. 

Misalnya, pentingnya regulasi yang lebih ketat terhadap lembaga keuangan besar (too-big-to-fail). Negara dapat mempelajari keberhasilan dan kegagalan dalam penerapan kebijakan, seperti peran Quantitative Easing (QE) di AS atau reformasi struktural di Eropa.

Lembaga seperti IMF, Bank Dunia, dan Basel Committee memainkan peran kunci dalam menyusun standar yang mendorong transparansi dan stabilitas keuangan global. Kolaborasi ini memastikan negara tidak menjalankan kebijakan yang saling merugikan, misalnya perang mata uang (currency war).

Ekonomi global semakin terintegrasi, sehingga krisis di satu negara bisa memengaruhi negara lain. Kerja sama, seperti swap line antarbank sentral, membantu meredam dampaknya. Negara-negara berkembang bisa mendapat akses pada jaringan keuangan global untuk meningkatkan ketahanan mereka terhadap guncangan eksternal.

Negara maju dan berkembang sering memiliki prioritas yang berbeda, misalnya terkait subsidi, tarif, atau isu lingkungan. Dalam beberapa kasus, negara maju mendominasi agenda kebijakan sehingga tidak selalu menguntungkan semua pihak.

 Terlalu bergantung pada standar global atau lembaga internasional bisa mengurangi kemandirian suatu negara dalam menentukan kebijakan sesuai kebutuhan domestiknya. Tidak semua kebijakan yang berhasil di negara lain bisa diimplementasikan secara langsung. Misalnya, digitalisasi keuangan mungkin efektif di negara maju, tetapi memerlukan adaptasi untuk negara dengan literasi digital yang rendah.

Kolaborasi internasional harus dilakukan secara (selektif dan adaptif). Belajar dari pengalaman global itu penting, tetapi implementasinya harus disesuaikan dengan kondisi lokal. Misalnya mengadopsi kerangka pengaturan fintech dari negara maju, tetapi mempertimbangkan tingkat inklusi digital dan regulasi domestic dan meningkatkan keterlibatan aktif dalam forum global, seperti G20, untuk memastikan kepentingan negara berkembang terwakili.

Kerja sama antara perbankan dan LKNB sangat penting dalam memperluas akses kredit dan mendukung sektor riil. LKNB seperti perusahaan pembiayaan, fintech lending, dan koperasi memiliki fleksibilitas lebih tinggi dalam menjangkau segmen masyarakat yang belum terlayani oleh perbankan (unbanked/underbanked). Contohnya, UKM di daerah terpencil yang kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank bisa mendapatkan pembiayaan dari LKNB.

Teknologi yang dikembangkan oleh fintech atau LKNB dapat membantu bank meningkatkan efisiensi layanan dan menurunkan biaya operasional. Misalnya, kerja sama dalam menggunakan big data untuk penilaian kredit (credit scoring) yang lebih akurat dan inklusif. 

Sinergi ini memastikan bahwa kredit tidak hanya terpusat di sektor keuangan tetapi mengalir ke sektor-sektor produktif seperti agribisnis, manufaktur, dan pariwisata, yang berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun