Mohon tunggu...
Pendekar Syair Berdarah
Pendekar Syair Berdarah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jancuker's, Penutur Basa Ngapak Tegalan, Cinta Wayang, Lebih Cinta Keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Sampai Tuhan Menampar Lindi #2 (Habis)

9 September 2011   00:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:07 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi / Google

. . .

Menjelang sore.

Saudara lindi yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya, berlari dengan penuh gesa. Tanpa salam, ia lekas menghambur dan memeluk lindi erat, air matanya keluar lebih banyak dari kata-katanya, yang tersengal penggal – penggal karena sedunya.

Tangis lindi pun pecah bersama.

Mendadak tetangga lindi pun berkumpul, mereka adalah tetangga yang sangat mengenal dan menyukai kepribadian dan  ibu lindi yang sangat ramah, dan penyabar walau terus menerus dicerca godaan dan cobaan menjalani hidup sebagai single-parent. Mereka semua tak percaya sosok itu kini telah meninggalkan mereka.

Naas, mobil charteran yang membawa ibu lindi dan penumpangan lainya menuju jakarta, pecah ban dalam keadaan  kecepatan maksimal, mobil pun oleng dan menabrak gugusan beton di bahu jalan bebas hambatan.

Malang tak dapat di tolak untung tak dapat diraih, hanya ibu lindi yang tewas dalam kecelakaan maut tersebut, sementara penumpang lainya selamat dengan kondisi luka – luka berat.

. . .

Lindi dan saudara – saudaranya pun segera bergegas ke rumah sakit tempat ibu linda berada.

Sampai di rumah sakit.

Lindi terus berlari menyusuri lorong – lorong rumah sakit sembari memanggil – manggil nama ibunya. Derai air mata dan isak tangisnya tak reda sampai langkahnya terhenti didepan pintu masuk kamar jenazah. Dua orang asisten dokter dan satu orang petugas penjaga keamanan merampah badanya yang terus meronta – ronta.

Jantungnya seperti berhenti dari degabnya, melihat sosok ibu yang ia sangat sayangi, entah tak jelas jasadnya seperti tak utuh hanya kain kafan putih saja menutupi pembaringan dari stainless steel itu.

Begitu berat duka yang lindi rasakan, lebih berat lagi rasa sesalnya, karena disaat detik – detik terakhir bersama ibunya lindi bersikap egois, dan tak mau menatap wajah ibunya. Acuh.

Terngiang di telinganya, suara hardikan keras lindi. Hardikan itu menjadi hardikan terakhir dalam hidup lindi.

Tuhan benar – benar menampar keegoisan lindi, matanya yang ditabiri nafsu dan amarah serta ketidakpedulian kini terbelalak lebar, kesadaranya datang bersama dengan sejuta sesalnya.

. . .

3 Tahun kemudian.

Sekolah lindi di pindahkan ke Pesantren, ia mondok sebagai santriwati yang sangat alim, halus dalam tutur kata, sangat penyabar.

. . .

Note :

Temanku yang hatinya sedang di pimpin oleh ketidak pedulian untuk sangat berfikir. Kesadaran dari sikap yang salah, keegoisan, dan kemarahan yang sangat tak perlu, datang seiring dengan penyesalan. Janganlah terus memelihara kemarahan dan keegoisan, karena sejatinya semuanya akan merusak diri sendiri. Janganlah terburu memberikan penilaian bahwa orang yang diam saat kita sedang dikuasai nafsu dan amarah adalah orang yang sangat tidak peduli dengan susah kita. Mereka sedang sangat berfikir, dan sangat peduli dengan anda. Hanya saja mereka tak mau ikut meminum racun nafsu dan amarah anda, mereka sedang berfikir keras agar racun itu berubah menjadi madu.

Sebelum Tuhan benar – benar menampar kita, berhentilah dari membuat-Nya kesal.

Lindi terus berlari menyusuri lorong – lorong rumah sakit sembari memanggil – manggil nama ibunya. Derai air mata dan isak tangisnya tak reda sampai langkahnya terhenti didepan pintu masuk kamar jenazah. Dua orang asisten dokter dan satu orang petugas penjaga keamanan merampah badanya yang terus meronta – ronta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun