Sampai di rumah sakit.
Lindi terus berlari menyusuri lorong – lorong rumah sakit sembari memanggil – manggil nama ibunya. Derai air mata dan isak tangisnya tak reda sampai langkahnya terhenti didepan pintu masuk kamar jenazah. Dua orang asisten dokter dan satu orang petugas penjaga keamanan merampah badanya yang terus meronta – ronta.
Jantungnya seperti berhenti dari degabnya, melihat sosok ibu yang ia sangat sayangi, entah tak jelas jasadnya seperti tak utuh hanya kain kafan putih saja menutupi pembaringan dari stainless steel itu.
Begitu berat duka yang lindi rasakan, lebih berat lagi rasa sesalnya, karena disaat detik – detik terakhir bersama ibunya lindi bersikap egois, dan tak mau menatap wajah ibunya. Acuh.
Terngiang di telinganya, suara hardikan keras lindi. Hardikan itu menjadi hardikan terakhir dalam hidup lindi.
Tuhan benar – benar menampar keegoisan lindi, matanya yang ditabiri nafsu dan amarah serta ketidakpedulian kini terbelalak lebar, kesadaranya datang bersama dengan sejuta sesalnya.
. . .
3 Tahun kemudian.
Sekolah lindi di pindahkan ke Pesantren, ia mondok sebagai santriwati yang sangat alim, halus dalam tutur kata, sangat penyabar.
. . .
Note :