Mohon tunggu...
Siswo Wardoyo
Siswo Wardoyo Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendeta di Samarinda Kalimantan Timur

Sampai sekarang saya belum berencana berhenti belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membesarkan Hati Anak Menurut Kolose 3:21 (Bagian 1)

9 September 2024   09:09 Diperbarui: 9 September 2024   09:29 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Almarhum Pdt Joe Bayly adalah hamba Tuhan yang penuh kasih dan penyayang. Sekitar tahun 1970-an, salah seorang putranya memberontak terhadap Tuhan. Anaknya  berhenti pergi ke gereja dan menyebabkan kekacauan di rumah mereka. Dengan berat hati, tetapi karena kasih, Pdt. Bayly harus meminta anaknya untuk meninggalkan rumah mereka.

Suatu malam, Bayly mendapat telepon dari orang jahat yang mengatakan bahwa putra mereka telah ditangkap oleh polisi. Pdt. Bayly pergi ke setiap kantor polisi yang diketahuinya, mencoba mencari putranya. Akhirnya, sekitar pukul 3 pagi, ia berpikir untuk pergi ke tempat tinggal putranya untuk melihat apakah ia ada di sana. Ternyata pintu kos putranya selalu tidak terkunci. Pdt. Bayly masuk dan mendapati putranya sedang tidur. Ia membangunkannya, memberi tahu mengapa ia ada di sana, menciumnya, mengatakan kepadanya bahwa ia mencintainya, dan Pdt pulang ke rumah.

Kini anaknya telah menjadi pendeta yang setia. Putranya mengatakan bahwa yang mengubahnya adalah kasih ayahnya, yang terlihat dalam kelembutannya dan dalam keputusan yang sulit dan menyakitkan harus  mendisiplin putranya dengan memintanya meninggalkan rumah mereka.

Tidak mudah membangun karakter anak. Tetapi satu ayat dalam Kolose 3: 21 dibawah ini kiranya menjadi panduan untuk membesarkan hati anak-anak kita.

Kolose 3:21 "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya" 

Kehancuran masa depan anak-anak ada di ambang pintu jika anak-anak mulai patah semangat atau atau putus asa. Orang yang putus asa sering pesimis dengan masa depannya. Orang yang patah semangat sering tidak bisa menerima masukan baru. Anak-anak yang yang seperti ini mudah menyerah dan tidak memiliki daya juang. Anehnya kadang mereka kadang punya sifat perfektsionis (punya idealism sempurna) tetapi suka menunda-nunda untuk melaksanakan idealismenya.

Yang lebih menghancurkan lagi adalah ketika mereka benar-benar gagal, mereka tidak segan untuk langsung menyalahkan bapaknya. Selanjutnya, sang bapak juga tidak mau disalahkan. Kemudian siapa yang salah? Untuk bisa menghindari kehancuran ini, kita akan belajar bagaimana menjadi orang tua yang membesarkan hati anak-anak.

Terlebih dahulu secara konteks ada satu kata yang menjadi "pegangan" orang tua khususnya bapak-bapak adalah kata "taat" di ayat 20 dan ayat 22. Perintah kepada anak untuk taat dalam ayat 20, sering membuat orang tua (khususnya bapak-bapak) lupa memeriksa diri apakah dia pantas untuk ditaati. Demikian juga perintah karyawan untuk taat kepada atasannya, sering membuat atasan lupa untuk bertindak adil.  JIka memperhatikan konteks ini,  kesenjangan orang tua dengan anak sering terjadi karena orang tua menuntut bahkan memaksa anak-nya supaya taat atau patuh.

Kita harus ingat bahwa pola hubungan kita dengan anak-anak kita, adalah sama dengan pola hubungan BAPA sorgawi dengan kita. Sebab itu dalam membesarkan hati-anak-anak, marilah kita mempelajari pola-pola tersebut.


Pertama: Mengasihi lebih utama daripada menghukum (atau mendisiplin)

Bapa adalah Allah yang penuh belas kasihan, kebaikan hati, dan pengampunan-Nya terpadu dengan kebenaran, kekudusan, dan keadilan. Kenyataan bahwa Allah itu murah hati dan penuh belas kasihan menunjukkan bahwa Ia tidak akan menghukum siapa pun terkecuali kasih-Nya itu ditolak dan dihina. (Kel. 34: 6). Apa bukti kasih Bapa kepada kita? Dia memberikan karunia-Nya yaitu Yesus Kristus sang Putera.

Kita tidak berhak menghukum, sebelum kita sendiri menunjukkan kasih kita. Dan misalnya situasi memaksa kita untuk menghukum, selalu tunjukkan penghukuman itu dengan kasih bahkan setelahnya.

Kedua: Mengasihi berarti juga menyukai.

Kasih adalah komitmen; tetapi menyukai adalah perasaan. "Marah," dan "patah semangat," adalah istilah-istilah yang berhubungan dengan perasaan.. Seorang ayah yang peka dan suka memberi semangat perlu memahami perasaan anak-anaknya. Anak-anak perlu merasa diterima sepenuhnya. Mempengaruhi perasaan anak-anak jauh lebih penting daripada memengaruhi mereka dengan  doktrin. Jika seorang anak merasa baik terhadap keluarganya, ada kemungkinan yang lebih besar bahwa ia akan mengikuti Tuhan ketika ia dewasa.

Ada banyak cara untuk mengomunikasikan hal ini, tetapi berikut adalah tiga cara penting: Pertama, tunjukkan kepada mereka bahwa kita menyukai mereka dengan kontak mata yang hangat. Jika kita melotot ke arah mereka, kita mengatakan, "Kamu merepotkan! Saya punya hal-hal yang lebih penting untuk dilakukan!" Namun jika mata kita berkata, "Senang melihatmu," mereka akan merasakan hangatnya cinta kita.

Kedua, berikan mereka sentuhan yang pantas: pelukan atau tepukan di pundak sangat mempengaruhi perasaan. Bergulatlah dengan mereka dengan main-main di lantai. Ketiga, waktu bersama mereka. Ajak mereka ke toko bersama. Lakukan hal-hal menyenangkan bersama. Bahkan ambil waktu berdua dengan anak secara pribadi.

Pada suatu liburan seorang anak sangat ingin ditemani ayahnya untuk memancing di danau.  Karena sang anak nampak mendesak, maka ayahnya pun menuruti. setelah menyewa perahu memancinglah ayah dan anak itu di tengah danau. Saking senangnya, sang anak mengekspresikan pengalaman hari itu dalam sebuah diarinya: "hari yang tidak mungkin kulupakan seumur hidup, memancing bersama ayah". Sang ayah pun menulis dalam diarinya:" hari yang paling membosankan, memancing bersama anak".

kita perhatikan, bahwa bersama-sama belum tentu sama-sama menyukai. Jika tidak menyukai, bagaimana bisa mengasihi?

Ketiga: Mengasihi itu berarti memotivasi

Lawan dari tawar hati adalah semangat,. Sebagai seorang ayah (atau ibu), tugas kita adalah mengenal setiap anak dengan cukup baik untuk memotivasi mereka agar menjadi seperti yang Tuhan inginkan. Satu hal yang pasti akan menurunkan motivasi anak kita: Buat dia merasa seolah-olah dia tidak akan pernah bisa menyenangkan kita.

Contoh : anak kita membawa pulang semua nilai A dan ada satu nilai B, dan kita berkata, "Awas kalau lain kali kau tunjukkan  nilai B." Jika kita mengkritiknya setiap kali dia melakukan kesalahan dan tidak memujinya saat dia melakukannya dengan baik, kita pasti akan membuatnya patah semangat, bukan termotivasi.

Sasaran memotivasi anak adalah  supaya menjadi seperti yang Tuhan inginkan, bukan seperti yang kita inginkan. Jangan memaksakan impian kita kepada anak-anak kita, kecuali impian kita adalah agar mereka mengikuti Tuhan sepanjang hidup mereka. Jika mereka mengikuti Tuhan, tidak masalah apa pun karier mereka.

Selamat membesarkan anak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun