Almarhum Pdt Joe Bayly adalah hamba Tuhan yang penuh kasih dan penyayang. Sekitar tahun 1970-an, salah seorang putranya memberontak terhadap Tuhan. Anaknya  berhenti pergi ke gereja dan menyebabkan kekacauan di rumah mereka. Dengan berat hati, tetapi karena kasih, Pdt. Bayly harus meminta anaknya untuk meninggalkan rumah mereka.
Suatu malam, Bayly mendapat telepon dari orang jahat yang mengatakan bahwa putra mereka telah ditangkap oleh polisi. Pdt. Bayly pergi ke setiap kantor polisi yang diketahuinya, mencoba mencari putranya. Akhirnya, sekitar pukul 3 pagi, ia berpikir untuk pergi ke tempat tinggal putranya untuk melihat apakah ia ada di sana. Ternyata pintu kos putranya selalu tidak terkunci. Pdt. Bayly masuk dan mendapati putranya sedang tidur. Ia membangunkannya, memberi tahu mengapa ia ada di sana, menciumnya, mengatakan kepadanya bahwa ia mencintainya, dan Pdt pulang ke rumah.
Kini anaknya telah menjadi pendeta yang setia. Putranya mengatakan bahwa yang mengubahnya adalah kasih ayahnya, yang terlihat dalam kelembutannya dan dalam keputusan yang sulit dan menyakitkan harus  mendisiplin putranya dengan memintanya meninggalkan rumah mereka.
Tidak mudah membangun karakter anak. Tetapi satu ayat dalam Kolose 3: 21 dibawah ini kiranya menjadi panduan untuk membesarkan hati anak-anak kita.
Kolose 3:21 "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya"Â
Kehancuran masa depan anak-anak ada di ambang pintu jika anak-anak mulai patah semangat atau atau putus asa. Orang yang putus asa sering pesimis dengan masa depannya. Orang yang patah semangat sering tidak bisa menerima masukan baru. Anak-anak yang yang seperti ini mudah menyerah dan tidak memiliki daya juang. Anehnya kadang mereka kadang punya sifat perfektsionis (punya idealism sempurna) tetapi suka menunda-nunda untuk melaksanakan idealismenya.
Yang lebih menghancurkan lagi adalah ketika mereka benar-benar gagal, mereka tidak segan untuk langsung menyalahkan bapaknya. Selanjutnya, sang bapak juga tidak mau disalahkan. Kemudian siapa yang salah? Untuk bisa menghindari kehancuran ini, kita akan belajar bagaimana menjadi orang tua yang membesarkan hati anak-anak.
Terlebih dahulu secara konteks ada satu kata yang menjadi "pegangan" orang tua khususnya bapak-bapak adalah kata "taat" di ayat 20 dan ayat 22. Perintah kepada anak untuk taat dalam ayat 20, sering membuat orang tua (khususnya bapak-bapak) lupa memeriksa diri apakah dia pantas untuk ditaati. Demikian juga perintah karyawan untuk taat kepada atasannya, sering membuat atasan lupa untuk bertindak adil. Â JIka memperhatikan konteks ini, Â kesenjangan orang tua dengan anak sering terjadi karena orang tua menuntut bahkan memaksa anak-nya supaya taat atau patuh.
Kita harus ingat bahwa pola hubungan kita dengan anak-anak kita, adalah sama dengan pola hubungan BAPA sorgawi dengan kita. Sebab itu dalam membesarkan hati-anak-anak, marilah kita mempelajari pola-pola tersebut.
Pertama: Mengasihi lebih utama daripada menghukum (atau mendisiplin)