Mohon tunggu...
Sulistina Supriatni
Sulistina Supriatni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung yang memiliki hobi menulis karena dengan menulis bisa memadukan ketelitian berpikir dan kreativitas dalam merangkai kata.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perluasan Harta Bersama Perspektif Sosiologi Hukum Islam

17 Desember 2024   08:33 Diperbarui: 17 Desember 2024   08:40 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkawinan tidak hanya menyatukan dua individu secara emosional tetapi juga menciptakan perpaduan dalam aspek ekonomi, termasuk percampuran harta. Harta menjadi elemen penting dalam perkawinan karena berfungsi sebagai penunjang tercapainya tujuan pernikahan, yaitu membangun rumah tangga yang damai, penuh cinta, dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, warahmah). Namun, percampuran harta selama perkawinan sering kali menjadi persoalan ketika hubungan berakhir melalui perceraian, baik talak raj'i maupun talak ba'in.

Salah satu akibat hukum yang timbul akibat perceraian adalah pembagian harta bersama. Setiap pasangan suami istri membawa harta masing-masing sebelum menikah, dan selama perkawinan, mereka juga memperoleh harta bersama yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Harta bersama tersebut adalah harta yang diperoleh selama perkawinan dan dapat digunakan oleh suami atau istri untuk kepentingan rumah tangga, dengan persetujuan keduanya. Hal ini berbeda dengan harta bawaan, yang merupakan harta yang dimiliki oleh masing-masing pihak sebelum perkawinan, di mana mereka memiliki hak penuh untuk menggunakannya tanpa perlu persetujuan dari pasangan.

Pada dasarnya, tidak ada pencampuran antara harta kekayaan yang dimiliki oleh suami dan istri dalam perkawinan (harta bersama). Konsep harta bersama ini awalnya berasal dari adat istiadat yang berkembang di Indonesia. Seiring waktu, konsep ini berkembang di Indonesia dan kemudian didukung oleh hukum Islam serta hukum positif yang berlaku di negara ini. Menurut pasal 97 Kompilasi Hukum Islam bahwa: Janda atau duda yang bercerai, maka masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan". Dengan merujuk pada ketentuan tersebut, maka secara tekstual masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta bersama.

Dalam masyarakat, terutama perempuan masih kurang memiliki pemahaman hukum yang memadai mengenai pembagian harta bersama. Hal ini menyebabkan banyak praktik monopoli dalam pembagian harta bersama, akibat kurangnya pengetahuan tentang isu ini. Banyak perempuan yang dirugikan dalam proses pembagian harta bersama karena posisi mereka yang lemah dalam hubungan perkawinan. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat, khususnya perempuan, untuk memahami apa yang dimaksud dengan harta bersama dan bagaimana ketentuannya menurut hukum.

Harta bersama merujuk pada harta yang diperoleh oleh suami dan istri selama masa perkawinan, yang dalam bahasa Jawa disebut gono gini, sementara dalam bahasa Sunda disebut guna kaya. Di masyarakat Aceh, harta bersama dikenal dengan istilah harta seharkat, sedangkan dalam masyarakat Melayu, istilah yang digunakan adalah harta serikat, dan di Jawa-Madura, disebut dengan harta gono gini.

 Pengertian dari harta bersama sebagaimana dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 35 bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Salah satu pengertian harta gono--gini adalah harta milik bersama suami-istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono- gini atau harta bersama.

 Pada prinsipnya Islam tidak secara spesifik mengatur tentang harta bersama, baik dalam al-Qur'an maupun al-Hadits. Begitu juga dalam kitab fikih klasik, tidak ditemukan pembahasan mengenai harta bersama. Oleh karena itu, pengaturannya diserahkan kepada masing-masing pihak. Mengenai hal ini, para pakar hukum Islam memiliki pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak ada konsep harta bersama antara suami dan istri, yang dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono, dan Andoerraoef. Sementara itu, pakar hukum Islam lainnya berpendapat bahwa tidak mungkin Islam tidak mengatur tentang harta bersama, mengingat bahwa banyak hal kecil yang telah diatur secara rinci dalam hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam al-Qur'an, maka kemungkinan besar pengaturannya ada dalam al-Hadits.

Menurut Yahya Harahap bahwa sudut pandang hukum Islam terhadap harta bersama ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ismail Muhammad Syah bahwa pencarian bersama suami isteri mestinya masuk dalam rubu muamalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang Arab yang tidak mengenal adat mengenai pencarian bersama suami isteri, tetapi hanya berbicara tentang perkongsian/syirkah.

Menurut hakim tinggi Pengadilan Agama, yang termasuk dalam kategori harta bersama adalah semua harta yang diperoleh oleh suami dan istri selama perkawinan berlangsung, baik itu berupa uang, barang, maupun aset lainnya yang didapatkan melalui usaha bersama. Hal ini mencakup harta yang diperoleh melalui kerja, investasi, atau bentuk lain yang merupakan hasil dari upaya kedua belah pihak dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Bahkan, meskipun ada perjanjian perkawinan yang membatasi pembagian harta, tetap ada harta yang dianggap sebagai harta bersama karena diperoleh selama perkawinan. Selain itu, yang termasuk ke dalam harta bersama diantaranya: Dana Taspen, Dana Asabri, Asuransi Tenaga Kerja (Astek), Dana Kecelakaan Lalu Lintas, Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Dana Asuransi Jiwa, Harta dari Harta Bawaan, dan Kredit Yang Belum Lunas.

Referensi:

Buku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun