Tahun 2019 adalah tahun panas untuk politik Indonesia. April nanti akan ada lima jenis kertas suara yang akan digunakan pada pemilu.
Kertas suara dibedakan berdasarkan warnanya. Hijau, biru, kuning, merah dan abu-abu, setiap warna berisi daftar nama / foto calon legislatif.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik kabupaten / kota dan provinsi.
Juga akan dilakukan pemilihan presiden dan wakil presiden di tahun ini. Kertas yang akan mewakili suara rakyat untuk pemilihan presiden dan wakil presiden berwarna abu-abu.
Berdasarkan informasi dari KPU, jumlah pemilik hak suara, untuk pemilu tahun 2019, lebih dari 192 juta suara. Itu berarti dibutuhkan lebih dari 960 juta lembar kertas suara.
Rata-rata kertas suara berukuran 51 x 82 cm. Hampir mendekati ukuran kertas A1 (59.4 x 84.1 cm) atau setara dengan delapan lembar kertas A4.
Jika dibutuhkan lebih dari 960 juta lembar kertas suara berarti sebanding dengan 8 milyar lembar  atau 16 juta rim lebih kertas A4 digunakan dalam satu hari.
Namun sebelum kertas suara berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat. Ada banyak jenis kertas yang beredar di masyarakat, yang bertujuan untuk pencapaian jumlah suara dalam pemilu.
Ada banyak lembaga survei politik, yang sebelumnya telah menggunakan kertas sebagai "pengumpul" data awal. Bahkan sebelum ditentukan apakah nama kandidatnya masuk sebagai calon legislatif.
Survei awal dilakukan beberapa bulan sebelum seseorang / partai mencalonkan nama sebagai caleg. Pendataan bertujuan untuk mengetahui, apakah nama yang diusung punya kekuatan untuk menarik suara.
Penyurvei secara langsung mengunjungi narasumbernya, mengajukan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Metode survei ini masih banyak menggunakan kertas sebagai medianya.
Dengan pertimbangan, bahwa kertas dan petugas survei mampu masuk hingga ke pelosok daerah yang masih sulit dijangkau teknologi dan biaya oprasional yang lebih murah.
Setelah nama yang dicalonkan masuk ke Daftar Caleg Tetap (DCT), harus dilakukan survei lanjutan. Tingkat popularitas dan elektabilitas calon dapat dipantau dari hasil survei ini.
Survei yang dilakukan biasa menggunakan kuesioner. Sistem komunikasi langsung dengan narasumber, untuk mengisi data yang dibutuhkan akan memberikan data yang dinilai lebih efektif dan akurat.
Rata-rata dibutuhkan 20 lembar kertas berisi pertanyaan, untuk sebuah kuesioner. Untuk Caleg DPR-RI agar mendapatkan data yang maksimal, dibutuhkan sekitar 120 PSU (Primary Sampling Unit) di setiap provinsi.
Dikumpulkan 100 kuesioner dari masing-masing PSU. Untuk mendapatkan data kuesioner yang lengkap. Itu berarti, 1 PSU membutuhkan 2.000 lembar kertas.
Provinsi dengan 120 PSU membutuhkan kertas kuesioner sebanyak 240.000 lembar kertas. Maka untuk 33 provinsi, dibutuhkan hampir 8 juta lembar kertas kuesioner.
Kebutuhan itu hanya untuk 1 lembaga survei. Sementara saat ini ada lebih dari 30 lembaga survei politik, yang terdaftar di KPU.
Jika minimal ada 30 lembaga survei, maka kertas yang dibutuhkan lebih dari 240 juta lembar kertas.
Angka itu belum termasuk kertas-kertas perizinan yang harus dipersiapkan lembaga survei untuk dapat melakukan wawancara kepada masyarakat secara langsung.
Perizinan ini mulai dari izin Depdagri, kantor urusan sosial politik daerah, kelurahan, RW hingga ke RT. Yang jumlahnya juga disesuaikan dengan jumlah sebaran PSU.
Setelah data kuesioner didapat, caleg dapat melakukan analisa. Mereka bisa melihat apakah promosi mereka selama ini tepat sasaran.
Data-data ini pulalah yang akan dijadikan acuan, seberapa besar peluang keberhasilan pengumpulan suara pada pemilu nanti.
Produk kertas lain, juga digunakan untuk mensukseskan langkah mereka. Pamflet, stiker, brosur, dan media promo lainnya digunakan caleg untuk membuat popularitas dan elektabilitas mereka meningkat.
Survei terakhir biasanya dilakukan mendekati hari-hari menjelang tanggal pemilihan. Dengan jumlah penggunaan kertas yang sama atau lebih banyak.
Gunanya untuk meyakinkan, bahwa usaha yang selama ini sudah mereka lakukan tidak menjadi sia-sia di tanggal pemilihan.
Mereka tidak bisa hanya bergantung pada kepopuleran yang mungkin mereka kira sudah ada. Bicara dengan data hasil survei akan meningkatkan kepercayaan diri para caleg.
Data juga dapat dijadikan senjata untuk memperkuat pertahanan atau menyusun rencana baru di hari-hari terakhir masa kampanye mereka.
Tidak sedikit para pesohor yang merasa sudah cukup nama, tidak mendapatkan hasil yang memuaskan karna mereka bicara tanpa data.
Disini kita lihat, peran kertas dalam demokrasi bangsa. Kertas yang setelahnya hanya akan memenuhi gudang untuk sementara dan kemudian dimusnahkan karena pemilihan telah usai.
Lewat kertas-kertas itu juga, mereka yang mencoba mewakili suara rakyat, harusnya tau apa yang masyarakat mau, apa yang masyarakat butuh.
Suara kita diwakili oleh kertas-kertas itu untuk waktu yang cukup lama. Pertimbangkan dengan hati dan logika.
Jangan hilangkan kesempatan kita untuk memilih yang terbaik untuk bangsa dan negara. Karena kertas suara kita terlalu berharga untuk disia-siakan begitu saja. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI