Sudah lama menantikan film 1 Kakak 7 Ponakan rilis, sampai akhirnya penantian ini berakhir pada 23 Januari 2025. Ya, film yang paling penulis nantikan di tahun 2025. Mulai dari judul filmnya yang bikin penasaran dan ingin melihat kualitas akting dari Chicco Kurniawan. Si Abang Fotokopi di film Penyalin Cahaya yang begitu memukau dan benar-benar seperti abang-abang fotokopian sungguhan! Hm, tentu semakin penasaran. Apakah kini Chicco juga berhasil berperan menjadi seorang kakak yang membiayai kehidupan keponakan-keponakannya?
Yandy Laurens sebagai sutradara pun menjadi salah satu faktor yang membuat saya sangat menantikan film ini. Setelah dibuat benar-benar jatuh hati pada karyanya yang berjudul Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, saya akan selalu terdepan menantikan karya-karya hebatnya lagi. Besar harapan saya untuk kembali jatuh hati pada karya terbarunya.
Faktanya, film 1 Kakak 7 Ponakan adalah adaptasi dari sinetron tahun 1996 karya Arswendo Atmowiloto. Mungkin bagi sebagian orang, film ini bisa memberikan kesan nostalgia. Ditambah lagi bisa membandingkan perbedaan dan kelebihan serta kekurangan dari keduanya. Namun, berhubungan tahun 1996 saya belum lahir, tentu tidak bisa memberikan review dari sudut pandang ini. Yang jelas, film ini menawarkan sentuhan modern yang relevan dengan kehidupan masa kini.
Tidak hanya Chicco Kurniawan, film 1 Kakak 7 Ponakan banjir bintang film papan atas. Seolah memborong aktor-aktor ternama yang terjamin kualitasnya. Ditambah lagi dengan sentuhan aktris muda yang banyak penggemarnya. Ada Amanda Rawles, Fatih Unru, Freya JKT48, Ringgo Agus Rahman, Niken Anjani, Ahmad Nadhif, Maudy Koesnaedi, dan Kiki Narendra.
Menulis review film ini begitu antusias dan tidak sabar untuk segera menjelaskan dari sudut pandang saya sebagai penonton yang gemar menonton film Indonesia ini hehe. Namun sebelum itu, alangkah lebih lengkap jika saya memberikan gambaran singkat mengenai alur cerita film 1 Kakak 7 Ponakan.
Film 1 Kakak 7 Ponakan menceritakan tentang Moko yang diperankan oleh Chicco Kurniawan. Moko adalah mahasiswa arsitektur yang tinggal selangkah lagi mendapatkan gelar sarjana. Ia bercita-cita melanjutkan studinya ke luar negeri dengan beasiswa. Ditemani oleh kekasihnya Maurin yang diperankan oleh Amanda Rawles. Keduanya satu kampus dan satu jurusan. Menyimpan harapan bersama untuk hidup berdampingan dengan impian mereka di dunia arsitek.Â
Ada sebuah hari yang merubah kehidupan Moko. Termasuk mengubur semua cita-citanya bersama Maurin.
Sidang skripsi sebagai syarat kelulusanya menjadi momentum mengerikan yang tidak pernah ia bayangkan. Moko kehilangan Kak Agnes dan Suaminya. Selama ini, Moko tinggal bersama Kakaknya dengan penuh kebersamaan meski penuh kesederhanaan. Namun Moko sangat merasakan kasih sayang dalam keluarga yang dibina Kak Agnes dan Suaminya.Â
Kak Agnes memiliki satu anak laki-laki bernama Woko yang diperankan oleh Fatih Unru. Anak kedua mereka adalah Nina yang diperankan oleh Freya JKT48. Dan bayi yang masih ada dalam kandungan Kak Agnes bernama Ima. Selain itu, Kak Agnes dan suaminya juga merawat Ano yang diperankan oleh Ahmad Nadhif. Keponakan laki-laki dari suami Kak Agnes.
Kepergian Kak Agnes dan suaminya membuat kehidupan Moko berubah dalam sekejap. Ia menjadi Ayah dan Ibu baru untuk empat keponakannya yang masih sekolah dan bahkan ada yang baru lahir. Bukannya merasakan fase setelah lulus wisuda, ia malah harus mengurus bayi dan keponakannya seorang diri.
Sudah seperti penitipan anak, Moko kedatangan guru les pianonya sewaktu kecil. Gurunya menitipkan anaknya yang bernama Gadis kepada Moko. Sembari memberikan uang dan janji akan segera menjemputnya di bulan depan. Moko awalnya menolak, tetapi saat melihat Gadis sudah berdiri di depan rumah, Moko tak bisa untuk mengusirnya. Ia sangat iba dan prihatin dengan kondisi Gadis.
Dua tahun berlalu. Kerja freelance sembari menggendong bayi. Sesekali berperan sebagai wali murid untuk keponakannya di sekolah. Mengatur keuangan keluarga dan membereskan seisi rumah. Sampai akhirnya secercah harapan muncul ketika kakaknya Osa dan suaminya kembali ke Indonesia.
Kehadiran kakaknya membuat Moko bisa sedikit bernapas lega. Mencari pekerjaan yang ia impikan sampai akhirnya kembali bertemu di kantor yang sama dengan Maurin.Â
Harus berjauhan karena urusan pekerjaan membuat Moko begitu tidak tenang. Sampai akhirnya kecemasannya benar-benar terjadi. Sesuatu yang buruk terjadi di rumahnya. Padahal selama ini ia bekerja tidak kenal waktu hanya untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga di rumah.
Menonton film 1 Kakak 7 Ponakan mengingatkan saya pada film Home Sweet Loan yang tayang di tahun 2024 lalu. Tema cerita yang hampir serupa terkait dengan sandwich generation. Film Home Sweet Loan menjadi salah satu film terbaik yang saya tonton di tahun 2024. Dan film 1 Kakak 7 Ponakan pun menjadi salah satu film terbaik yang saya tonton di awal tahun 2025.
Meski hampir sama, tetapi keduanya menampilkan sudut pandang tokoh utama yang berbeda. Alih-alih kesal menjadi tulang punggung keluarga, justru film 1 Kakak 7 Ponakan menampilkan kehangatan menjadi sandwich generation. Bukan bermaksud menyalahkah atau tidak setuju dengan perasaan yang dialami Kaluna dalam film Home Sweet Loan. Perasaan seperti Kaluna wajar terjadi dan memang banya menimpa sandwich generation. Namun Moko dalam film 1 Kakak 7 Ponakan menampilkan kedewasaannya yang menyentuh hati penonton.
Konflik yang pelik dimulai dengan pembangunan alur yang nyaris sempurna. Dimulai dengan sebuah adegah sederhana, berebut kamar mandi di pagi hari. Belum sempat membersihkan sekujur tubuhnya, Moko sudah harus menghentikan aktivitas mandinya karena para keponakannya sudah antre mandi untuk berangkat sekolah. Semua itu ia lalui dengan tawa. Penuh keterbatasan tak selalu menyedihkan.Â
Keterbatasan Moko ditampilkan secara detail. Seperti sepatu tak layak pakai yang ia gunakan jelang sidang skripsi dan baju kucel bin robek-robek yang menemaninya di depan leptop. Namun lagi-lagi, visual itu tidak membuat Moko merasa sedih atau susah. Justru kebersamaan dengan keluarga yang membuat hari-harinya begitu sempurna.
Sebenarnya film ini tidak memberikan kesan mewah dalam semua sisi. Justru kesederhanaan dengan menampilkan keseluruhan secara natural membuat film ini terasa menghangatkan hati. Tidak perlu menyematkan efek suara yang berlebihan untuk mendukung cerita.Â
Mulanya di awal adegan, saya merasa film ini terlalu sepi dan hening. Hanya ada dialog para tokoh saja. Padahal, konflik yang dialami Moko begitu membuat hati dan pikirannya berisik. Namun saya mengartikannya lain. Keheningan yang ditampilkan adalah cerminan dari keputusan Moko untuk tidak membuat kebisingan di hati dan pikirannya mengambil alih.Â
Lebih spesial lagi karena menggunakan original soundtrack dari lagu-lagu milik Sal Priadi. Lirik yang puitis dan indah didengarkan. Penempatan pada setiap adegannya pas. Semakin membawa penonton terhanyut pada alur cerita.
Kesederhanaan dari dialog antar tokoh saja sudah membuat film ini terasa kaya. Misalnya saja hubungan yang dijalin antara Moko dengan Maurin. Tidak ada adegan sentuhan fisik yang berarti. Hanya dialog saling mendukung. Lalu bagaimana respons Maurin untuk ikut peduli dengan kondisi Moko. Itu semua sudah menunjukkan keromantisan pasangan ini. Maurin yang berusaha ikut terlibat untuk menyelesaikan masalah Moko. Dan Moko yang tidak mau menghambat mimpi-mimpi Maurin.
Lagi-lagi, Chicco Kurniawan memang selalu berhasil memerankan karakternya. Kini ia berhasil menjadi seorang kakak yang begitu banyak beban dalam hidupnya tetapi tak sedikitpun terlihat raut wajah merasa terbebani. Ia benar-benar menikmati dan ikhlas menjalani semuanya.
Diimbangi dengan karakter Maurin yang dibawakan oleh Amanda Rawles. Bak seperti malaikat tak bersayap yang membantu dan mewarnai kehidupan Moko. Amanda Rawles tampil cantik, anggun, dengan porsi yang pas. Seperti menyaksikan pasangan yang saling melengkapi.Â
Sebenarnya sosok Mas Eka, kakak ipar Moko, bikin geregetan sekaligus menampar semua orang. Diperankan oleh Ringgo Agus yang tampil dengan gaya songong khas Om-om menyebalkan di keluarga. Entah mengapa dalam satu keluarga, selalu saja ada sosok seperti Mas Eka. Tong kosong nyaring bunyinya. Seperti orang paling benar sendiri dengan segudang pencapaian dalam hidup.
Meski menyebalkan, Mas Eka adalah sosok yang ceplas-ceplos dan paling realistis. Ucapannya yang tidak pakai rem, membuat seisi keluarga tersadar betapa hebatnya sosok Moko yang selalu mengalah demi keluarga. Sepertinya memang dalam satu keluarga harus ada sosok seperti Mas Eka. Asalkan jangan mencotoh gaya songong dan suka menipunya itu.
Para keponakan Moko pun tampil dengan adegan tawa yang menghibur. Di saat momen sedih yang bikin meringis, tiba-tiba terdapat dialog atau aksi yang bikin perut menggelitik. Penempatan humor yang pas. Tidak sampai melunturkan momentum sedih.
Ironis sekali memang takdir hidup yang harus dijalani oleh Moko. Itulah kehidupan. Takdir tidak memberikan aba-aba. Apalagi bertanya apakah kita siap atau tidak menjalaninya. Namun Moko yang dituntut untuk cepat dewasa karena keadaan mengajarkan penonton untuk menyikapi takdir dengan penuh keikhlasan.
Saya rasa banyak di luar sana yang bernasib sama seperti Moko. Si Bungsu yang sudah menjadi Om atau Tante. Mengalah demi masa depan ponakannya. Bahkan sampai mengubur semua mimpinya. Peluk erat untuk Moko-Moko di luar sana. Kamu hebat!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI