Namun, memutuskan untuk tidak berisik ternyata bisa saja membuat seseorang lebih menyimpan luka dan trauma yang lebih dalam dan jangka panjang. Pura-pura kuat agar seolah-olah baik-baik saja pun ternyata tidak menyembuhkan apa-apa. Yang tersisa hanya luapan rasa sakit yang mengendap dan sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja.
Lagi-lagi, penonton diberi makna yang menyentuh. Tentang memaknai tangisan. Banyak yang menganggap bahwa tangisan adalah simbol kelemahan. Bahkan sedari kecil, ada orangtua yang meminta anaknya untuk tidak menangis karena sudah dewasa atau dicap cengeng.Â
Padahal, menangis itu bukan tanda kelemahan seseorang. Menangis bukan berarti cengeng. Menangis tidak memandang usia. Anak-anak atau orang dewasa boleh untuk menangis. Tidak ada larangannya. Tidak ada aturannya. Menangis adalah ekspresi menunjukkan rasa sedih, kecewa, bahkan terharu karena merasa senang sekali.
Menangis adalah perjalanan untuk kembali pulih. Maka, tak perlu lagi untuk menahan air mata. Air mata memiliki hak dan ruangnya untuk ke luar dari kedua mata pemiliknya.
Kualitas akting terbaik dibawakan oleh Surya Saputra yang tampil bikin kesal sepanjang menontonnya. Sebagai aktor senior yang memiliki jam terbang lebih banyak, tentu membuat Surya Saputra tampil memukau sebaga Ayah atau suami yang melakukan KDRT. Tatapan matanya dan lengkingan suaranya begitu menakutkan.
Dominique Sanda pun turut menggambarkan korban KDRT yang tak punya pilihan. Hanya bisa memilih bertahan meski sebenarnya setiap hari harus tersiksa secara fisik dan psikis. Takut mengambil keputusan dan tidak mudah untuk meninggalkan begitu saja. Menggambarkan korban KDRT di luar sana yang sulit untuk keluar dan melaporkan.
Tentunya kesedihan film ini pun didukung oleh akting Prilly Latuconsina yang menjadi sorotan utama. Bukan kali pertama bagi Prilly memerankan tokoh yang terganggu kesehatan mentalnya. Akting menangis ia lahap dengan mudah.Â
Namun sejujurnya, saja bosan harus melihat Prilly lagi dengan film yang hampir sama. Justru saya menantikan aktris muda lainnya yang bisa memberikan warna baru memerankan tokoh dengan gangguan kesehatan mental.
Sayangnya, saya tidak menemukan keunikan Dikta membawakan tokoh Baskara. Baskara ya seperti Dikta di layar kaca. Nampak tidak ada bedanya. Cara bicaranya, gesture tubuhnya, dan tatapan matanya. Sejauh ini menonton film dan serial yang dibawakan Dikta, saya belum menemukan faktor x yang membuat dirinya berani keluar dari zona nyaman.