Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membekali Mahasiswa dengan Keterampilan Menulis

24 Oktober 2024   07:00 Diperbarui: 24 Oktober 2024   19:05 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa sebagian orang menganggap mata pelajaran Bahasa Indonesia sulit untuk dipelajari? Padahal sejak kecil, anak Indonesia pasti berkenalan dengan kata-kata Bahasa Indonesia untuk pertama kalinya saat belajar berbicara. Seperti panggilan untuk Mama, Papah, Ibu, Ayah, Kakak, Adik, Nenek, dan Kakek. Begitu pun untuk kata-kata kesehariannya, seperti makan, minum, mandi, tidur, bermain, dan lain-lain.

Tentunya banyak faktor pendorong yang membuat mata pelajaran Bahasa Indonesia terlihat sulit dipelajari di kelas. Meskipun dalam keseharian kita menggunakan Bahasa Indonesia. 

Pertanyaan ini menjadi bahan diskusi di kelas saat saya mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia untuk mahasiswa program studi Manajemen. Jawabannya beragam. Ada yang berlasan karena gurunya membosankan, cara belajar di kelas yang bikin ngantuk, terbiasa menggunakan bahasa campuran seperti bahasa daerah dengan bahasa gaul, dan bahasa Indonesia yang memang pada dasarnya rumit. Terdapat bahasa baku dan tidak baku yang sulit dibedakan. Membuat sebagian orang beranggapan bahwa bahasa baku adalah bahasa yang paling banyak digunakan oleh semua orang.

Di satu sisi, adapula yang menganggap enteng mata pelajaran Bahasa Indonesia. Merasa mudah untuk dipelajari karena sudah menjadi makanan sehari-hari sedari kecil. Namun ternyata, ketika dihadapi dengan sebuah teks, kebingungan untuk dapat membedakan teks eksposisi dengan deskripsi.

Suka tidak suka, mau tidak mau, Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata pelajaran wajib yang akan selalu menemani sampai tingkat pendidikan manapun. Mungkin mahasiswa baru berpikir bahwa ia akan terlepas dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sayangnya tidak sama sekali. Di semester awal, meskipun bukan mahasiswa dari program studi Bahasa Indonesia, tetap saja akan bertemu kembali dengan mata kuliah Bahasa Indonesia. Menjadi mata kuliah wajib dan umum untuk seluruh mahasiswa baru.

Ilustrasi Mahasiswa. (DOK. KALBIS INSTITUTE via kompas.com) 
Ilustrasi Mahasiswa. (DOK. KALBIS INSTITUTE via kompas.com) 

Tentunya terdapat perbedaan antara mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa dengan mahasiswa. Di tingkat perguruan tinggi, mata kuliah ini lebih berfokus pada penulisan karya ilmiah. Karya ilmiah yang tidak bisa lepas dari lingkungan akademik. Menjadi makanan pokok bagi pendidik dan mahasiswa di tingkat perguruan tinggi.

Alih-alih untuk langsung memberikan penjelasan tentang karya ilmiah, mahasiswa generasi z tidak memiliki minat dalam kegiatan kepustakaan. Seperti membaca dan menulis. Berkunjung ke perpustakaan kampus hanya saat ada tugas dari dosen saja. Selebihnya, tidak ada niatan khusus untuk mengungjungi perpustakaan.

Memang faktanya, kurangnya fasilitas literasi menjadi salah satu faktor yang membuat mahasiswa masa kini tidak tertarik untuk membaca dan menulis. Tidak diberi ruang nyaman untuk bisa membuat lingkaran bersama sesama agent of change lainnya. Saling bertukar pendapat, membahas isu masa kini, dan turut menyuarakan aspirasi lewat tulisan dari hasil diskusi bersama.

Meski begitu, tidak seharusnya menjadi sebuah alasan untuk tidak membudayakan kegiatan literasi di kalangan mahasiswa. Mengingat ke depannya akan banyak sekali tugas-tugas yang mengharuskan mahasiswa memiliki keterampilan menulis. Seperti membuat laporan buku, laporan survey, laporan kunjungan, usulan penelitian, makalah, proporal bisnis, artikel ilmiah, artikel ilmiah populer, hingga tugas akhir seperti skripsi. 

Ilustrasi mahasiswa di perpustakaan. (Sumber: Kompas.com/Suhaiela Bahfein) 
Ilustrasi mahasiswa di perpustakaan. (Sumber: Kompas.com/Suhaiela Bahfein) 

Kita lihat secara luas tingkat literasi di Indonesia. Dikutip dari rri.co.id, minat membaca buku di Indonesia dinilai masih sangat rendah. UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka  0,001% . Persentase ini berarti, dari 1000 orang Indonesia, hanya ada 1 orang yang rajin membaca. 

Persentase tersebut coba kita terapkan ke dunia pendidikan yang di isi oleh kaum akademisi. Misalnya saja di sebuah perguruan tinggi saja yang terdapat 4000 mahasiswa untuk seluruh angkatan dan program studi. Artinya, ada 1000 mahasiswa dalam setiap angkatan. Di setiap angkatan, hanya ada 1 mahasiswa yang suka membaca.

Sebuah gambaran yang memprihatinkan. Mengingat mahasiswa tidak bisa lepas dari kegiatan literasi. Apalagi kini generasi Z banyak melakukan aktivitas kesehariannya secara digital. Membuat mahasiswa tidak hanya harus pintar literasi semata, tetapi juga melek literasi digital.

Kegiatan menulis tentu akan dibarengi dengan kegiatan membaca. Keduanya tidak bisa terpisahkan. Melatih keterampilan menulis pada mahasiswa sama dengan melatih keterampilan membacanya. 

Membaca tidak hanya sekadar bisa membaca huruf per huruf, kata per kata. Bukan hanya sekadar mengenal tanda baca. Membaca satu teks sampai tuntas. Namun tentang membaca makna sebuah teks yang ada. Mahasiswa harus bisa membaca teks secara keseluruhan sampai mampu mengartikan teks tersebut dan menyampaikan atau menuliskan ulang menggunakan kalimat sendiri. Itu poin pentingnya yang sampai saat ini sulit untuk diterapkan.

Kegiatan menulis, membuat mahasiswa tidak hanya sekadar membaca. Namun juga menganalisis sebuah teks. Termasuk menganalisis beberapa sumber yang dirasa sesuai dengan tulisan yang akan dibuat. Mahasiswa menganalisis sumber mana saja yang sesuai, kutipan mana yang akan diambil, dan poin penting mana saja yang harus ditonjolkan. Sampai akhirnya mahasiswa mampu menyimpulkan pada tulisannya sendiri.

Ilustrasi mahasiswa. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 
Ilustrasi mahasiswa. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Kebiasaan melakukan tindakan mudah, seperti copy paste dari internet yang membuat mahasiswa tidak memiliki keterampilan literasi yang matang. Alhasil, saat menjelang tingkat akhir, kesulitan saat harus menulis latar belakang penelitian karena ada aturan minimal plagiarisme.

Kebiasaan buruk ini semakin diperkuat dengan kemudahan AI, yaitu ChatGPT. Tanpa perlu berpikir keras untuk membuat latar belakang makalah, mahasiswa tinggal meminta ChatGPT membuat latar belakang makalah sesuai dengan judul makalahnya. Hitungan detik, latar belakang makalah yang dengen beberapa paragraf pun selesai dalam sekejap.

Memang sebagai pendidik pun tak bisa untuk membatasi kemajuan teknologi untuk kegiatan akademik. Terlebih memang sangat membantu sisi efisiensi. Pendidik harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Termasuk ketika mahasiswanya menerapkan kecanggihan AI untuk tugas perkuliahan. 

Persoalannya adalah mau atau tidak dalam membiasakan menulis. Dengan terbiasa menulis, kualitas tulisan akan akan membaik seiring dengan seringnya menulis. Sampai akhirnya dapat membuat tugas akhir yang baik dari segala sisi. Mulai dari isi, hasil, sampai hal sederhana seperti format tulisannya.

Membiasakan menulis mencoba untuk merubah mindset bahwa menulis adalah kegiatan yang membosankan. Padahal dengan menulis, banyak sekali manfaat yang dapat diambil. 

Pertama, menulis adalah media komunikasi. Dengan tulisan, seseorang bisa mengabarkan dan mengungkapkan sesuatu. Seperti informasi, fakta, data, atau pendapat pribadi tentang sesuatu. Seseorang bisa berkomunikasi lewat tulisannya dengan para pembaca.

Ilustrasi menulis. (Sumber: Unsplash via kompas.com) 
Ilustrasi menulis. (Sumber: Unsplash via kompas.com) 

Kedua, menulis adalah perekam sejarah yang membuat penulisnya terhindar dari kepikunan. Membiasakan menulis sesuatu, dari hal-hal kecil sampai yang penting, membuat semuanya tercatat dengan baik. Ada catatan sejarah yang dapat dilihat kapan saja. Penulis pun akan memiliki daya ingat yang tinggi karena secara berulang membaca dan menulis yang sama.

Terakhir adalah manfaat menulis yang paling spektakuler. The power of menulis, yaitu dapat memberikan pengaruh kepada pembacanya. Menulis dapat dijadikan media dakwah. Dakwah tidak hanya tentang keagamaan saja, tetapi nilai-nilai kebaikan lainnya dapat dijadikan teladan oleh pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun