Mengapa sebagian orang menganggap mata pelajaran Bahasa Indonesia sulit untuk dipelajari? Padahal sejak kecil, anak Indonesia pasti berkenalan dengan kata-kata Bahasa Indonesia untuk pertama kalinya saat belajar berbicara. Seperti panggilan untuk Mama, Papah, Ibu, Ayah, Kakak, Adik, Nenek, dan Kakek. Begitu pun untuk kata-kata kesehariannya, seperti makan, minum, mandi, tidur, bermain, dan lain-lain.
Tentunya banyak faktor pendorong yang membuat mata pelajaran Bahasa Indonesia terlihat sulit dipelajari di kelas. Meskipun dalam keseharian kita menggunakan Bahasa Indonesia.Â
Pertanyaan ini menjadi bahan diskusi di kelas saat saya mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia untuk mahasiswa program studi Manajemen. Jawabannya beragam. Ada yang berlasan karena gurunya membosankan, cara belajar di kelas yang bikin ngantuk, terbiasa menggunakan bahasa campuran seperti bahasa daerah dengan bahasa gaul, dan bahasa Indonesia yang memang pada dasarnya rumit. Terdapat bahasa baku dan tidak baku yang sulit dibedakan. Membuat sebagian orang beranggapan bahwa bahasa baku adalah bahasa yang paling banyak digunakan oleh semua orang.
Di satu sisi, adapula yang menganggap enteng mata pelajaran Bahasa Indonesia. Merasa mudah untuk dipelajari karena sudah menjadi makanan sehari-hari sedari kecil. Namun ternyata, ketika dihadapi dengan sebuah teks, kebingungan untuk dapat membedakan teks eksposisi dengan deskripsi.
Suka tidak suka, mau tidak mau, Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata pelajaran wajib yang akan selalu menemani sampai tingkat pendidikan manapun. Mungkin mahasiswa baru berpikir bahwa ia akan terlepas dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sayangnya tidak sama sekali. Di semester awal, meskipun bukan mahasiswa dari program studi Bahasa Indonesia, tetap saja akan bertemu kembali dengan mata kuliah Bahasa Indonesia. Menjadi mata kuliah wajib dan umum untuk seluruh mahasiswa baru.
Tentunya terdapat perbedaan antara mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa dengan mahasiswa. Di tingkat perguruan tinggi, mata kuliah ini lebih berfokus pada penulisan karya ilmiah. Karya ilmiah yang tidak bisa lepas dari lingkungan akademik. Menjadi makanan pokok bagi pendidik dan mahasiswa di tingkat perguruan tinggi.
Alih-alih untuk langsung memberikan penjelasan tentang karya ilmiah, mahasiswa generasi z tidak memiliki minat dalam kegiatan kepustakaan. Seperti membaca dan menulis. Berkunjung ke perpustakaan kampus hanya saat ada tugas dari dosen saja. Selebihnya, tidak ada niatan khusus untuk mengungjungi perpustakaan.
Memang faktanya, kurangnya fasilitas literasi menjadi salah satu faktor yang membuat mahasiswa masa kini tidak tertarik untuk membaca dan menulis. Tidak diberi ruang nyaman untuk bisa membuat lingkaran bersama sesama agent of change lainnya. Saling bertukar pendapat, membahas isu masa kini, dan turut menyuarakan aspirasi lewat tulisan dari hasil diskusi bersama.
Meski begitu, tidak seharusnya menjadi sebuah alasan untuk tidak membudayakan kegiatan literasi di kalangan mahasiswa. Mengingat ke depannya akan banyak sekali tugas-tugas yang mengharuskan mahasiswa memiliki keterampilan menulis. Seperti membuat laporan buku, laporan survey, laporan kunjungan, usulan penelitian, makalah, proporal bisnis, artikel ilmiah, artikel ilmiah populer, hingga tugas akhir seperti skripsi.Â