Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bijak Kelola Keuangan dengan Loud Budgeting

30 September 2024   21:15 Diperbarui: 1 Oktober 2024   08:06 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah ada di fase tidak enak untuk menolak ajakan teman? Misalnya teman mengajak pergi ke kafe terdekat yang sedang viral. Semua orang berbondong-bondong mengunjungi kafe itu. Tak lupa mengabadikan moment itu dan diunggah pada media sosial.

Bukannya tak mau untuk menerima ajakan teman, tapi kondisi keuangan sedang tidak baik-baik saja. Bukan berarti sedang tidak ada uang, tapi ada kebutuhan lain yang harus lebih diprioritaskan dibandingkan hangout mengikuti tren semata.

Banyak cara untuk menolaknya. Biasanya kebanyakan orang malu untuk berkata jujur bahwa ia sedang tidak ada uang atau akan mengalokasikan uangnya untuk kebutuhan lain. Alhasil, mencari alasan lain yang dibuat-buat. Misalnya sudah ada janji dengan teman, sampai ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan.

Berbeda jika yang mengajak adalah teman yang sehati. Sudah sangat dekat dan sering berbagi cerita. Meski tak tega untuk menolak, tetapi satu sama lain sudah saling tahu kondisi masing-masing. Tidak masalah untuk menjawab jujur bahwa isi dompet sedang menipis. 

Untuk menolak ajakan, sebenarnya kita bisa mulai membiasakan menerapkan prinsip loud budgeting. Konsep loud budgeting banyak diterapkan oleh generasi Z. Sebagai salah satu upaya untuk bisa menghindari pembelian berlebihan dan doom spending.

Loud budgeting adalah pendekatan pengelolaan keuangan yang menekankan komunikasi terbuka dan percaya diri tentang anggaran seseorang. Dengan menerapkan konsep loud budgeting, seseorang akan secara jelas dan berani untuk menyatakan kondisi finansialnya. Baik itu di media sosial maupun dalam interaksi sehari-hari. Mulai dari pendapatan, pengeluaran, sampai tujuan keuangan ke depannya akan seperti apa.

Dengan berpegang teguh pada loud budgeting, seseorang tidak perlu malu untuk menolak ajakan nongkrong atau liburan. Secara tegas menolak dan mengungkapkan alasan yang sebenarnya berkaitan dengan kondisi finansial. Misalnya berkata jujur bahwa sedang berhemat karena ada kebutuhan yang harus dibayar dalam waktu dekat.

Pengelolaan keuangan dengan loud budgeting mengarah pada keputusan keuangan yang bijak. Mempertimbangkan berkali-kali untuk mengeluarkan uang hanya untuk memenuhi kepuasan sesaat yang sifatnya sementara. 

Mulai dari trend yang dipengaruhi oleh idola favorit atau influencers. Seperti membeli barang yang viral, nongkrong di tempat viral, FOMO ke acara konser musik atau nonton bola di stadion, dan lain-lain. 

Ilustrasi menolak. (Sumber: Freepik/Seva Levitsky via kompas.com) 
Ilustrasi menolak. (Sumber: Freepik/Seva Levitsky via kompas.com) 

Mayoritas yang menerapkan loud budgeting adalah generasi Z. Hal tersebut karena karakteristik dari generasi Z yang cenderung terbuka dalam membahas keuangan dibandingkan generasi sebelumnya.

Seperti tidak ada batasan untuk memulai perbincangan keuangan. Bahkan dengan membuka pembicaraan keuangan, generasi Z bisa secara bersama-sama mendapatkan solusi dari tantangan ekonomi yang selama ini mereka hadapi. Sama-sama salin mendukung satu sama lain.

Tentu kita sadari bahwa kondisi ekonomi saat ini dengan dulu nampak berbeda. Banyak faktor internal ataupun eksternal yang mendukung. Kondisi ini yang membuat generasi Z sadar akan pentingnya literasi keuangan. Biaya hidup yang meningkatkan, tetapi kondisi keuangan yang tidak ikut meningkat. Hal itu menorong generasi Z untuk lebih peka terhadap kemampuan keuangannya. 

Apalagi mengingat ancaman doom spending yang menghantui generasi Z di mana saja. Generasi Z jauh lebih rentan terkena stres karena khawatir akan keuangannya di masa yang akan datang. 

Realitanya, banyak generasi Z yang memilih meluapkan kekhawatirannya dengan pembelian implusif tanpa pertimbangan yang matang. Pengambilan keputusan pembelian yang tanpa didasari dengan kebijasanaan dan tanggung jawab.

Namun sebenarnya, semua generasi pun bisa memegang prinsip loud budgeting dalam pengelolaan keuangannya. Tidak ada syarat khusus ataupun batasan usia. Selama gerakan finansial ini dinilai positif, tidak ada salahnya untuk diterapkan nilai-nilai positifnya. 

Membiasakan menolak ajakan teman dengan alasan yang sebenar-benarnya tentang keuangan tanpa ada rasa malu. Dengan begitu, seseorang yang mendapatkan penolakan pun akan lebih mudah dalam memahami dan menghargai keputusan seseorang.

Selain itu, loud budgeting memudahkan seseorang untuk mencapai goals atau tujuan finansial. Pola pikir seseorang dalam memangdang keuangan menjadi berubah. Jauh lebih bijak dari sebelumnya. Terutama dalam membuat keputusan finansial. Skala prioritas jelas terarah berkat konsep loud budgeting. Termasuk perkara melunasi hutang pun bisa dengan konsep loud budgeting.

Bagi pemula yang ingin belajar menerapkan konsep loud budgeting, dapat dimulai dengan melakukan penganggaran secara matang. Mulai dari mencatat secara rinci pemasukan, pengeluaran, tabungan, dana darurat, dan tujuan finansial yang akan datang. Bermodal catatan ini, skala prioritas akan mudah untuk ditentukan. Mendahulukan pemenuhan kebutuhan primer dibandingkan kebutuhan tersier.

Ilustrasi anak muda mengatur keuangan. (Sumber: Shutterstock/kmpzzz via kompas.com) 
Ilustrasi anak muda mengatur keuangan. (Sumber: Shutterstock/kmpzzz via kompas.com) 

Setelah mengetahui secara rinci kondisi keuangan pribadi, selanjutnya adalah berani untuk menolak ajakan orang lain yang sifatnya hanya menghambur-hamburkan uang semata. Misalnya ajak nongkrong dan ngopi tanpa ada pembicaraan atau tujuan yang bermanfaat. 

Mulanya mungkin terasa canggung. Apalagi terlalu sering menolak ajakan teman. Namun keberanian untuk mengucapkan alasan yang sebenarnya adalah kuncinya. Meski sepintas terbesit akan dikatakan pelit atau tidak menikmati hidup. 

Praduga negatif ini diubah dengan praduga positif. Di mana seseorang akan mudah untuk menerima pendapat yang menolak ajakannya. Lambat laun akan terbiasa untuk mengerti, memhami, dan menghargai kondisi keuangan temannya yang sebenarnya.

Cara selanjutnya adalah dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Misalnya daripada membeli air minum kemasan di luar, lebih baik membawa botol dari rumah yang diisi dengan air mineral. Bahkan membawa bekal dari rumah untuk dimakan pada jam makan siang jeda istirahat di kantor. 

Ilustrasi bekal makanan di kotak makan. (Dok. Shutterstock/New Africa via kompas.com) 
Ilustrasi bekal makanan di kotak makan. (Dok. Shutterstock/New Africa via kompas.com) 

Tanpa sadar, dengan menerapkan loud budgeting membuat seseorang terhindari dari rasa iri hati dan gengsi. Merasa tidak perlu untuk mengikuti tren tanpa ada bayang-bayang akan dicap kampungan atau tidak gaul. 

Rasanya, jika hidup tanpa ada iri hati dan dengki akan berjalan dengan bahagia dan penuh rasa syukur. Hati tenang. Hidup pun damai.

Keterbukaan keuangan dengan lingkungan sekitar dapat menciptakan hubungan yang lebih sehat. Orang-orang disekitar akan belajar untuk memahami kondisi keuangan orang lain. Sehingga tak ada lagi prasangka buruk kenapa temannya selalu menolak ajakannya. 

Mungkin mulanya berprasangka sombong atau tidak suka kepadanya. Lain halnya jika penolakan itu didasari dengan alasan yang diucapakan secara jujur. Transparan dalam hal keuangan dengan sekeliling.

Ilustrasi membawa minum dari rumah untuk di kantor. (Dok Thermos via kompas.com) 
Ilustrasi membawa minum dari rumah untuk di kantor. (Dok Thermos via kompas.com) 

Terkesan tidak menikmati hidup, tetapi konsep loud budgeting sama sekali tidak menghalangi seseorang untuk menghabiskan uangnya. Loud budgeting berfokus pada cara mengatur keuangan agar bisa mempriortitaskan yang menjadi tujuan utama dalam keuangan. 

Jika tidak nyaman harus terbuka dengan orang lain tentang keuangan, memang tak cocok untuk menerapkan konsep ini. Namun setidaknya, konsep loud budgeting bisa menjadi acuan untuk menjaga batasan finansial tanpa perlu transparan sepenuhnya. 

Toh memang dalam hidup ada hal yang boleh diketahui publik, tetapi adapula yang hanya boleh diketahui oleh diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun