Mulanya mungkin terasa canggung. Apalagi terlalu sering menolak ajakan teman. Namun keberanian untuk mengucapkan alasan yang sebenarnya adalah kuncinya. Meski sepintas terbesit akan dikatakan pelit atau tidak menikmati hidup.Â
Praduga negatif ini diubah dengan praduga positif. Di mana seseorang akan mudah untuk menerima pendapat yang menolak ajakannya. Lambat laun akan terbiasa untuk mengerti, memhami, dan menghargai kondisi keuangan temannya yang sebenarnya.
Cara selanjutnya adalah dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Misalnya daripada membeli air minum kemasan di luar, lebih baik membawa botol dari rumah yang diisi dengan air mineral. Bahkan membawa bekal dari rumah untuk dimakan pada jam makan siang jeda istirahat di kantor.Â
Tanpa sadar, dengan menerapkan loud budgeting membuat seseorang terhindari dari rasa iri hati dan gengsi. Merasa tidak perlu untuk mengikuti tren tanpa ada bayang-bayang akan dicap kampungan atau tidak gaul.Â
Rasanya, jika hidup tanpa ada iri hati dan dengki akan berjalan dengan bahagia dan penuh rasa syukur. Hati tenang. Hidup pun damai.
Keterbukaan keuangan dengan lingkungan sekitar dapat menciptakan hubungan yang lebih sehat. Orang-orang disekitar akan belajar untuk memahami kondisi keuangan orang lain. Sehingga tak ada lagi prasangka buruk kenapa temannya selalu menolak ajakannya.Â
Mungkin mulanya berprasangka sombong atau tidak suka kepadanya. Lain halnya jika penolakan itu didasari dengan alasan yang diucapakan secara jujur. Transparan dalam hal keuangan dengan sekeliling.
Terkesan tidak menikmati hidup, tetapi konsep loud budgeting sama sekali tidak menghalangi seseorang untuk menghabiskan uangnya. Loud budgeting berfokus pada cara mengatur keuangan agar bisa mempriortitaskan yang menjadi tujuan utama dalam keuangan.Â
Jika tidak nyaman harus terbuka dengan orang lain tentang keuangan, memang tak cocok untuk menerapkan konsep ini. Namun setidaknya, konsep loud budgeting bisa menjadi acuan untuk menjaga batasan finansial tanpa perlu transparan sepenuhnya.Â