Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menghadapi Fenomena Doom Spending yang Mengancam Stabilitas Keuangan

29 September 2024   18:00 Diperbarui: 29 September 2024   18:02 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi impulse buying. (Sumber: freepik via kompas.com) 

Ayo ngaku!!! Siapa yang overthingking sama masa depan, tapi terus-terusan belanja? Dalihnya biar gak stres soal masa depan yang akan datang. Gak apa-apa deh, kali-kali membahagiakan diri dengan belanja yang diinginkan. Lama kelamaan, kok jadi keterusan? Sampai-sampai tak sadar tabungan semakin menipis karena perilaku membelanjakan secara berlebihan.

Banyak generasi Z sampai Milenial yang terjerat dengan fenomena seperti ini. Frustasi tidak bisa mencapai kebebasan finansial di masa yang akan datang, mencoba dialihkan dengan biaya hidup yang terus meningkat. Biaya-biaya yang dikeluarkan tak masuk akal karena hanya memenuhi keinginan dan kepuasan sesaat saja. 

Memilih membelanjakan uang yang ada daripada untuk menabung rumah masa depan. Padahal sangat ingin memiliki rumah. Sampai stres sendiri karena di usia produktif dan sudah bekerja bertahun-tahun, tak kunjung membeli rumah. Bukannya menabung demi masa depan, justru malah memutuskan membelanjakan uang yang harusnya bisa ditabung. Katanya, menabung membeli rumah pun rasanya tak masuk akal. Terlalu bermimpi tinggi karena harga tanah dan bangunan yang fantastis setiap tahunnya. 

Fenomena ini dinamakan dengan doom spending. Akhir-akhir ini banyak pakar yang meyebutkan bahwa fenomena doom spending dapat menjerat Generasi Z dan Milenial ke garis kemiskinan. Wah, mendengar prediksi ini saja sudah ngeri. Apalagi kalau benar-benar terjadi.

Tantangan finansial memang tak mudah dilewati di zaman sekarang. Mengingat biaya hidup yang terus meningkat, bahkan sulit untuk diprediksi. Ketidakpastian ekonomi membuat banyak orang begitu sulit untuk dapat mengatur finansialnya. Apalagi untuk merencanakan keuangan di masa depan.

Stres memikirkan keuangan di masa depan, membuat seseorang memilih untuk mengalihkan uangnya guna kepuasan diri sendiri. Mulanya mungkin hanya satu atau dua kali saja. Lama-lama jadi rutinitas wajib sampai jadi kebutuhan primer. Misalnya membeli tas, sepatu, baju, barang yang sedang viral atau trend, liburan, kuliner ke tempat yang sedang viral, membeli tiket konser, dan pengeluaran lainnya yang sifatnya memberikan kepuasan sesaat dan instan.

Ilustrasi belanja. (Sumber: PEXELS/SAM LION via kompas.com) 
Ilustrasi belanja. (Sumber: PEXELS/SAM LION via kompas.com) 

Stres akan keuangan di masa depan seketika hilang begitu saja. Namun setelah itu, tetap saja akan kembali memikirkan keuangan di masa depan. Memikirkan belum ada tabungan masa depan, rumah idaman, kendaraan untuk beraktivitas, dan instrumen lainnya yang menunjang masa depan. Fenomena doom spending ini, justru memperburuk kondisi keuangan. Biaya hidup semakin meningkat, tapi penghasilan nominalnya tetap saja. Uang tabungan pun semakin menipis. Dana darurat pun sampai terpakai.

Sebenarnya hal yang wajar merasa khawatir dan cemas akan keuangan di masa depan. Namun kecemasan itu akan diperparah apabila tidak bijak dalam bertindak. Untuk menyiapkan keuangan di masa depan, langkah yang seharusnya diambil adalan dengan menabung atau berinvestasi. Bukan malah membelalanjakan uang secara berlebihan agar kecemasan hilang sementara.

Sayangnya banyak orang yang tidak sadar bahwa ia sudah terjerat fenomena doom spending. Merasa pengeluaran untuk kepuasan sesaat tidak terlalu berlebihan dan hanya sesekali saja. 

Ilustrasi belanja online. (Sumber: grinvalds via kompas.com) 
Ilustrasi belanja online. (Sumber: grinvalds via kompas.com) 

Ada ciri-ciri untuk mendeteksi diri apakah sudah masuk pada permainan fenomena doom spending atau tidak. Pertama, sering melakukan pembelian tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Membeli barang hanya karena lucu, membutuhkan validasi dari orang lain, ikut-ikutan trend, dan hanya untuk memenuhi kepuasan pribadi saja. Tanpa memikirkan apakah pembelian itu ada manfaatnya atau tidak. Apakah pembelian itu dipakai dalam jangka waktu panjang atau tidak. Dan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang seharusnya dipikirkan sebelum mengambil keputusan pembelian.

Kedua, melakukan pembelian untuk mengatasi stres. Ada orang yang kepala pusing akan reda seketika kalau berbelanja. Stres dikit, langsung belanja. Mengabaikan tabungan masa depan. Mengabaikan kebutuhan lainnya yang harusnya diprioritaskan.

Bagi, generasi Z dan Milenial yang memegang prinsip YOLO atau prinsip bahwa hidup hanya sekali, biasanya lebih mudah terjerat doom spending. Membenarkan pengeluaran berlebihan dengan alasan bahwa hidup harus dinikmati. Maka tak apa melakukan pembelian berlebihan. Tanpa melakukan banyak pertimbangan.

Ilustrasi impulse buying. (Sumber: freepik via kompas.com) 
Ilustrasi impulse buying. (Sumber: freepik via kompas.com) 

Dikutip dari cnnindonesia, Dosen senior keuangan di King's Business School Ylva Baeckstrm mengatakan, tren doom spending terjadi karena generasi Z terus-menerus menerima berita buruk dan merasa seperti kiamat. Membuat generasi muda merasa stres dengan kondisi keuangannya di masa depan sehingga mencari pengalihan agar tidak stres. Imbas dari doom spending, Baeckstrm menduga, generasi Z dan milenial akan menjadi lebih miskin dibanding generasi sebelumnya.

Jika kita analisis, dampak dari doom spending bisa kita lihat dari banyaknya generasi muda yang terlilit utang. Ingin menghindari stres keuangan di masa depan dengan belanjar berlebihan sampai abai dengan limit kartu kredit. Apalagi kini begitu mudahnya meminjam uang dari pinjaman online. Hanya modal foto selfie dengan KTP saja, seseorang bisa meminjam uang secara instan. 

Tabungan darurat pun habis. Membuat masalah baru ketika benar-benar membutuhkan tabungan darurat untuk hal yang sangat penting. Misalnya mengalami kecelakaan atau musibah yang tidak dapat diprediksi. Sayangnya sudah tidak memiliki tabungan darurat karena asyik dengan fenomena doom spending.

Ironisnya, fenomena doom spending yang dimaksudkan untuk mengurangi stres keuangan, malah menambah stres keuangan di masa depan. Pengeluaran tak terkontrol. Perencanaan keuangan semakin berantakan. Bukannya mengurangi masalah, justru malah menambah masalah baru. Alhasil, stres yang sebenarnya tidak benar-benar hilang. Justru semakin parah.

Ilustrasi stres karena masalah finansial. (Sumber: OcusFocus via kompas.com) 
Ilustrasi stres karena masalah finansial. (Sumber: OcusFocus via kompas.com) 

Tantangan terberat untuk bisa terhindar atau terlepas dari doom spending adalah tekanan dari media sosial. Adanya digital marketing memperkuat seseorang untuk untuk hidup mewah dan mengikuti tren. Tergoda dengan promo yang ditemui di media sosial, terbuai dengan trend yang sedang viral, dan tentunya mengharapkan validasi di media sosial.

Pertama, yang harus dilakukan oleh generas Z dan milenial adalah dengan meningkatkan literasi keuangan. Kemudahan mendapatkan ilmu lewat internet, lebih baik dimanfaatkan dengan baik dan bijak. Mencari informasi tentang keuangam, seperti investasi, dasar-dasar penganggaran, manajemen utang, dan lain-lain. Banyak artikel atau video yang dapat dipelajari. Bahkan bisa ikut kelas literasi keuangan secara luring atau daring. Ada yang gratis, dan ada yang berbayar.

Belajar mengatur atau menetapkan anggaran. Misalnya 50% penghasilan untuk kebutuhan primer, seperti makan, minum, kebutuhan rumah, transportasi, kuota internet, dan lain-lain. Lalu 30% disisihkan untuk kebutuhan sekunder dan tersier. Sisanya, 20% untuk ditabungkan.

Ilustrasi dana darurat. (Sumber: Dok. Kredivo via kompas.com)
Ilustrasi dana darurat. (Sumber: Dok. Kredivo via kompas.com)

Tentunya penetapan pembagian anggaran ini tergantung pada kebutuhan dan penghasilan masing-masing. Tidak bisa dipukul rata. Tinggal disesuaikan saja dengan kondisi finansial yang ada.

Selanjutnya, mulai belajar mengelola stres dengan sehat dan bijak. Daripada mengatasi stres dengan belanja barang yang tidak berfaedah, lebih baik dialihkan dengan kegiatan lain yang lebih positif. Misalnya dengan membaca buku, menulis diary, melukis, menonton film,aktif di kegiatan komunitas, atau bahkan olahraga rutin. Tentu pencarian alternatif kegiatan untuk mengelola stres membutuhkan waktu yang cukup lama. Yang terpenting adalah kemauan keras untuk dapat bisa mengontrol tingkat stres agar tidak berlarut-larut dalam kecemasan keuangan di masa depan.

Ilustrasi literasi keuangan. (Sumber: SHUTTERSTOCK/TAKASU via kompas.com) 
Ilustrasi literasi keuangan. (Sumber: SHUTTERSTOCK/TAKASU via kompas.com) 

Terakhir, cobalah untuk mengurangi penggunaan media sosial. Mulai membentengi diri dari hal-hal yang dapat memicu kekhawatiran. Seperti melihat pencapain orang lain di media sosial, pamer kekayaan di media sosial, dan godaan belanja.  Batasi waktu berselancar di media sosial. Pergunakan media sosial untuk hal-hal yang bermanfaat. Menggunakan media sosial secara bijak, termasuk memfilter paparan yang didapatkan dari media sosial dengan bijak.

Secara sederhana, doom spending tampak sebagai pelarian jangka pendek dari kecemasan finansial. Namun tanpa sadar membawa dampak buruk untuk jangka panjang. Sebagai generasi Z dan Milenial yang sudah atau menuju usia produktif, sekaligus sebagai calon pemimpin di masa depan, sudah saatnya untuk peka terhadap fenomena doom spending. Sadar akan pentingnya literasi keuangan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun