Tak perlu berpikir panjang, film Home Sweet Loan menjadi film favorit yang saya tonton tahun ini! Bukan karena kemewahan yang disuguhkan. Justru karena kesederhanaan yang sampai ke hati penontonnya.
Pertama, film ini dibuka dengan berita program Tabungan Perumahan Rakyat yang disingkat dengan Tapera. Sangat relate dengan keadaan Kaluna yang sangat ingin memiliki rumah sendiri yang ia dambakan selama ini.Â
Namun, apakah benar program pemerinah ini membantu dan meringankan beban rakyat seperti Kaluna?
Kaluna menggambarkan potret nyata budak korporat di Ibu kota. Berangkat subuh dan pulang malam hari. Begitu saja setiap hari. Tidak ada uang lembur, tapi sering lembur sekalian menunggu macet di jalanan berkurang. Ia juga menghidupi kedua orangtuanya bahkan seisi rumah yang sebenarnya bukan tanggungjawabnya.
Saya rasa, di luar sana banyak Kaluna-Kaluna lain yang bernasib sama. Menjadi sandwich generation. Paling diandalkan. Paling dibutuhkan. Menopang kehidupan keluarga besar.
Rasa nyaman karena serba ada dan serba enak, membuat orang-orang disekeliling sandwich generation begitu terbuai dan tutup telinga serta mata. Bukan karena tak mampu bekerja. Bukan karena tak punya uang. Namun memilih mengalokasikan uangnya untuk kebutuhan yang menguntungkan diri sendiri daripada kebutuhan sekeluarga yang tinggal di rumah yang sama.
Jika membaca review film Home Sweet Loan di media atau website lain, banyak yang menyoroti sandwich generation yang dialami oleh Kaluna. Namun tidak dalam artikel review yang saya buat di Kompasiana.
Saya melihat sosok Kaluna sebagai anak perempuan bungsu yang berlawanan dengan stigma anak bungsu yang berlaku di masyarakat. Bukannya mendapatkan perhatin lebih apalagi dimanjakan, justru Kaluna yang memberikan perhatian kepada semua orang yang ada di rumah. Sampai-sampai ia lupa untuk memberikan perhatian kepada dirinya sendiri.
Film ini menyentil keluarga-keluarga di luar sana. Khususnya keluarga menengah ke bawah yang dalam satu rumah memiliki banyak kartu keluarga. Seolah menjadi pengingat bahwa pernikahan bukanlah hal yang mudah. Tidak bisa mengandalkan orang lain meski itu adalah saudara kandung sendiri. Orang tua yang paling bertanggung jawab akan kehidupan anak-anaknya. Suami yang memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya.
Ya, memang tidak mudah untuk memiliki rumah sendiri setelah menikah. Apalagi kini harga tanah dan rumah begitu melejit. Biaya sewa atau ngontrak pun kadang tak masuk akal. Lebih baik langsung membeli rumah. Dilemanya, uangnya yang belum cukup. Sebenarnya tak apa masih tinggal bersama orangtua, tapi bukan berarti bisa tinggal seenaknya saja. Bukannya dalam keluarga memang harus saling memahami ya? Bukan sebelah pihak yang terus menerus mengalah dan memahami.